Download App
0.53% Hanya Dia

Chapter 2: Bab 2. Gara-Gara Tali Sepatu

"Gue setuju dengan konsep seperti ini." Setelah Aga membaca kerangka proposal tersebut lelaki itu menyetujui. Untuk tugas kali ini, kelompok Cherry yang juga satu kelompok dengan Aga adalah membuat bisnis makanan. Dan makanan yang akan mereka buat adalah makanan sehat dan ringan.

Ara mengangguk, "Iya! Bisnis makanan adalah bisnis yang memiliki prospek yang bagus. Dan kebutuhan primer semua orang." Angga mengangguk-angguk dan menyetujui.

"Boleh usul nggak?" tanyanya. Ketika satu kelompoknya mengangguk, dia kembali berbicara, "Kira-kira kalau kita memasukkan coffee art ke dalam menu bisa menarik nggak?" Aga mendapatkan respon yang bagus setelah mengatakan itu.

"Lo bisa?" Ara langsung bertanya.

"Bisa, tapi nggak jago banget sih. Bisanya baru gambar daun sama yang mudah-mudah aja."

"Ide yang bagus," bukan Ara maupun Cherry yang bersuara, tapi Zea. Zea sejak tadi sibuk dengan ponselnya kini bereaksi, "Itu akan menarik customer untuk datang ke stand kita. Apalagi kalau lo buatnya di depan mereka dan menunjukkan keahlian yang lo punya."

Ara mengangguk. "Betul. Hal-hal seperti ini akan membuat jualan kita menjadi unik." Katanya dengan binar yang luar biasa terang.

"Alatnya?" Cherry bersuara.

"Gue ada di rumah. Nanti kapan-kapan kalau proposal kita udah disetujui, kita mulai praktekin semuanya." Pembahasan masalah ini sepertinya tak memiliki kendala apapun bagi mereka. Rancangan yang dibuat oleh Cherry dan teman-temannya masuk ke dalam keahlian yang dimiliki oleh Aga.

Tapi kemudian Cherry Kembali berbicara, "Menu makanan yang tercantum di sana belum fix sih karena gue masih cari menu yang mungkin bisa lebih simple dari itu, pembuatannya gak perlu waktu lama, dan mudah, nanti kalau memang udah nemu yang cocok, kita bisa meeting lagi. Pun dengan dessert nya." Ada sedikit penjelasan dari gadis itu karena sebagian dari ide yang tertulis di proposal adalah dari Cherry.

"Jadi yang masak nanti itu elo, Cher?" tanya Aga.

��Iya, tapi nanti harus ada yang bantuin. Karena gue harus gerak cepat."

"Gue aja jadi asisten lo, Cher." Zea menawarkan diri.

"Nggak masalah sih. Yang penting lo juga bisa gerak cepat. Gue nggak mau nanti kebingungan, gue minta jagung lo kasih jamur. Gue bisa marah." Zea berdecih karena mendengar kekehan dari Ara dan Aga. Cherry memang tidak sedang bercanda.

"Lo liatin orang datar aja orangnya udah segen, apalagi dimarahi? Yang denger nanti kabur semua nggak jadi beli di lapak kita." Zea masih meneruskan.

"Kita harus mempersiapkan ini matang-matang ya, biar nggak kesusahan kalau udah praktek nanti," Ara menambahkan, "Eh gue ada usul lagi lho," suara Ara tiba-tiba keras sampai Miko dan Berry yang tadinya sedang membahas hal lain saja menatap gadis itu.

"Pakai seragam, yuk!" katanya dengan mata berbinar seolah idenya itu adalah hal yang luar biasa, "Gimana?" tanyanya kepada teman-temannya itu.

"Nggak masalah sih," Zea menjawab.

"Kalaupun bukan seragam baru yang kita khususkan untuk acara ini, paling enggak warnanya aja yang sama, jadi kesan manis dan seriusnya ada."

"Gue setuju," tanggap Aga, "Kalaupun harus buat baru juga nggak masalah kalau buat gue." Lelaki itu menyetujui ucapan Cherry.

"Sekalian dibuat nama stand kita juga nggak masalah nanti. Kita buat dulu namanya, baru meeting lanjutan kita bahas masalah nama warung kita." Cherry sepertinya memang tak ingin setengah-setengah dalam melakukan suatu hal. Karenanya, dia sangat totalitas sekali mengerjakan tugas ini.

"Kalau gitu, kami balik dulu. Sebentar lagi ada kelas." Karena memang tak ada hal lagi yang dibicarakan, Cherry lebih dulu berpamitan kepada Aga dan disetujui oleh lelaki itu.

Cherry berdiri diikuti Zea dan Ara namun entah kenapa tubuhnya hampir terjerembab ke depan. Cherry hampir saja menubruk wajah Berry untungnya lelaki itu memundurkan kepalanya. Seperti gerakan slow motion, Cherry berkedip pelan karena matanya saling menatap dengan mata Berry.

Jantung Cherry benar-benar tak bisa dikendalikan. Berdiri dengan pelan, Cherry berkata, "Maaf." dalam hal semacam itu, ada orang-orang yang tak menyukainya. Apalagi lelaki yang ada di depannya itu terlihat sangat dingin.

"Hati-hati," alih-alih memberikan jawaban atas permintaan maafnya, Berry justru menjawab yang lain.

"Terima kasih." Katanya dengan wajah yang masih tegang. Tatapan lelaki di depannya benar-benar datar seolah dia tak memiliki ekspresi lain. Dan jawaban atas apa yang diucapkan oleh Cherry adalah hanya sebuah anggukan. Tatapannya terlihat tajam dan itu sama sekali tak lepas dari gadis yang ada di depannya.

Sedangkan Ara dan Zea hanya menatap saja ke arah Cherry tanpa berkomentar apapun. "Duluan, semuanya," Cherry yang berpamitan dan diikuti oleh kedua temannya, kemudian berjalan untuk segera keluar kantin, ngeri juga lama-lama bersama lelaki itu jika di pandangnya seperti itu.

"Tali sepatu lo lepas lah, Cher," Ara memberikan informasi itu ketika mereka hampir keluar dari tempat tersebut. Gadis itu kemudian mengalihkan matanya untuk menatap ke arah sepatunya dan ternyata karena itulah dia hampir terjatuh tadi. Tali sepatu itu tak terikat dengan benar dan dia menginjaknya.

"Malu gue," begitu katanya setelah mereka berjalan menuju fakultasnya. Cherry mencoba untuk menghilangkan ingatannya dari kejadian tadi.

"Ada untungnya juga sih menurut gue," Zea berkomentar, "lo bisa tatap-tatapan mata sama cowok ganteng." Katanya. Dan Cherry hanya memutar bola matanya dengan malas. Mana dia berpikir hal-hal semacam itu.

Kembali ke tempat dimana Aga berada sekarang. Lelaki itu sudah tahu kalau ini sudah waktunya masuk, tapi masih santai saja di kursinya.

"Cantik juga temen lo yang itu Ga," Miko yang berkomentar, "Pantesan lo linglung," ada ekspresi mengejek yang diberikan oleh Miko kepada Aga.

"Cantik sih, tapi kadang buat orang keki aja." Katanya menginformasi, "kadang juteknya itu nggak nguatin. Lo tahu?" Aga sepertinya akan bercerita tanpa ada dari kedua temannya yang meminta. "Gue nggak pernah interaksi sama dia sih, ini pertama kalinya karena kami memang satu kelompok."

"Pertama kali sekelas sama dia?"

"Iya." Jawab Aga.

"Kok lo tahu kalau dia jutek?"

"Dilihat dari wajahnya kan udah kelihatan, Mikooooo, gue kepret lo." Kata Aga tak santai, Miko mengangguk-angguk dan menyeringai. "Cocok juga kalau sama yang sebelah," itu adalah sebuah sindiran dilayangkan kepada Berry yang hanya diam saja.

"Kalau jutek sama jutek gimana jadinya kalau pacaran? Masa ngobrolnya pakai mata batin karena malas ngomong dua-duanya!" Aga sepertinya membayangkan dengan ngeri.

"Iya juga sih," Miko memainkan gelas berisi batu es menggunakan sedotan plastic, "Cherry aja matanya kelihatan tajam. Tapi kalau menurut gue, dia nggak sejutek itu sih."

"Gue nggak tahu juga sih. Gue kenal dia juga baru di semester ini. Tapi gue tahu dia kan udah dari semester satu. Kalau dia lewat di depan anak-anak cowok, mereka langsung bilang, 'Cherry tu, beh si jutek' gitu katanya." Aga juga menirukan temannya yang mengatakan hal tersebut.

Tak ada sahutan dari Berry padahal kedua temannya itu sedang bergunjing. Dia sibuk dengan dunianya sendiri. Bahkan sampai ketika mereka selesai mengobrol masalah lain pun dia hanya menanggapi seperlunya saja.

Memang seperti itulah Berry. Dia tak akan ikut masuk ke dalam obrolan selama obrolan itu bukan sesuatu yang menarik untuk dibahas.

*.*


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login