Download App

Chapter 26: Kejutan Di Pagi Hari

Mengenakan sepatu bersol datarnya, Bhiru masih memikirkan sesuatu yang masih mengganggu pikirannya sejak dua hari terakhir. Sejak ia menemukan sebuah anting di mobil Langit dan seharusnya tidak perlu mengganggu pikirannya lagi. Langit sudah menjelaskan bahwa itu anting milik kakak perempuannya, Mega. Mana mungkin Langit tega membohonginya? Bhiru tahu benar Langit itu seperti apa.

Tapi mengapa tetap saja ia masih memikirkan soal anting itu.

Ayolah, Bhi. Jangan berpikir yang aneh-aneh.

Bukan sekali dua kali Bhiru terus meyakinkan hatinya.

Melirik arlojinya, Bhiru menghela nafas samar. Seharusnya Langit sudah datang menjemputnya. Bhiru yang memintanya sejak semalam, meski Langit sempat merasa keberatan karena arah kantor Bhiru berlawanan dengan arah kantornya. Ditambah lagi, kaki Bhiru sudah lumayan sembuh dan sudah bisa berjalan dengan normal meski masih sedikit terasa nyeri. Seharusnya tidak jadi masalah jika Bhiru ke kantor sendiri naik MRT seperti biasanya.

Tapi Bhiru terus memaksanya. Merajuk seperti anak kecil agar Langit menurutinya. Dan cara itu tidak pernah gagal selama ini. Langit akhirnya setuju, meski akhirnya meninggalkan sedikit sesal di hati Bhiru.

Mengapa ia harus memaksanya? Tapi mengapa pula Langit tidak seperti biasanya?

Bhiru kembali menyeruput segelas susu dietnya dengan perasaan gundah.

Saat bel pintu apartemennya berbunyi dua kali, Bhiru buru-buru menuju pintu untuk membukanya. Bhiru yakin itu pasti Langit.

Dan benar.

"Maaf ya terlambat. Aku tadi beli ini dulu buat kamu." Langit tersenyum sambil mengangkat paperbag yang aroma harumnya langsung tercium di hidung Bhiru.

"Apa ini?" Kegundahan Bhiru mendadak menguap. Dengan cepat memeriksa isi di dalamnya yang ternyata dua buah cheese croissant yang masih hangat.

"Buat sarapan di mobil."

"Makasih ya Lang." Bhiru memeluk Langit dengan erat dan membuat Langit protes karena ulahnya.

"Masih pagi, Bhi. Nggak enak dilihat orang lain."

"Orang yang mana?" Bhiru dengan geli celingukan ke kanan dan ke kiri. Lorong apartemennya seperti biasa sepi. "Yang ada semut, pak."

"Tumben kamu panggil aku Pak?" Langit kembali protes membuat Bhiru tersadar. Itu adalah caranya memanggil yang biasanya ditujukan pada bosnya.

"Memangnya kamu bukan bapak-bapak?" Bhiru membalas dengan canda sambil mengunci pintu apartemennya.

"Sayang, pulang kantor nanti sepertinya aku nggak bisa jemput kamu." Langit berkata ketika mereka sudah meluncur di jalan.

"Kenapa?" Bhiru bertanya sambil menyuapi Langit dengan sepotong kecil croissant.

"Kecuali kamu mau nungguin aku jemput jam sepuluh malam," jawab Langit sambil mengunyah. "Aku harus lembur buat kejar deadline besok, sayang."

"Ya sudah, aku bisa naik MRT atau nebeng Jenar kalau dia nggak pulang malam juga." Bhiru menggigit croissant dengan sedikit kecewa.

Lalu alarm pengingat di gawainya tiba-tiba berbunyi. Bhiru memeriksanya dan bola matanya sontak berbinar-binar. Tiga hari lagi Langit akan berulangtahun! Ia harus mencari kado spesial untuk Langit.

Kalau tahun lalu ia sudah memberikan Langit kado kesukaannya, tahun ini ia pun harus melakukannya. Tapi ia belum menemukan satu pun ide tentang hadiah yang spesial untuk Langit. Tahun lalu ia telah memberikan Langit sepatu futsal idamannya. Untuk tahun ini apa yang harus ia berikan untuk Langit?

Satu set obeng? Kaos bola edisi tandatangan idolanya? Atau parfum lagi seperti dua tahun yang lalu? Tidak boleh terlalu murah juga tidak boleh terlalu mahal, mengingat ia pun harus berhemat untuk keperluan pernikahan mereka tahun depan.

Dan ia terus memikirkannya hingga tiba-tiba ia merasakan Langit tiba-tiba mengecup pipinya lalu tertawa geli menatap reaksi kaget Bhiru yang sengaja ia kagetkan karena dari tadi tampak melamun. Hingga tidak menyadari kalau mereka telah sampai di depan kantor Bhiru.

"Melamun apa dari tadi?" Langit menekan tombol pembuka sabuk pengaman yang dikenakan Bhiru.

"Ada deh." Bhiru balas memberi kecupan singkat di pipi Langit sebelum membuka pintu dan keluar dari mobil. "Makasih ya Sayang. Nggak perlu ngebut. Kamu nggak bakalan terlambat sampai kantor." Bhiru mengingatkan sebelum Langit pergi.

"Iya. Sampai ketemu besok." Langit mengatakannya sembari menjalankan mobilnya.

Sampai di kubikelnya, Bhiru menemukan sebuah kotak sepatu tergeletak di atas meja kerjanya. Celingukan mencari siapa saja yang bisa ia tanyai, Bhiru melihat Jono tak jauh dari kubikelnya.

"Jon! Jonooo…!!!" Bhiru melambaikan tangannya ke arah Jono yang baru keluar dari pantry.

"Kok sudah masuk? Memangnya sudah sembuh?" Jono bertanya dengan nada heran.

"Sudah baikan kok." Bhiru melihat Jono yang memperhatikan pergelangan kakinya yang saat ini mengenakan flat shoes berwarna hitam. Selama kakinya belum sembuh benar, Bhiru tidak akan mengenakan sepatu berhak tinggi.

"Ooh…"

"Ngomong-omong, kamu tahu nggak kotak sepatu ini punya siapa? Kenapa ada di atas mejaku?" Bhiru mengangkat kotak sepatu berwarna coklat, menunjukannya pada Jono yang sontak tertawa geli.

"Buat kamu, dari pak Ranu," jawab Jono membuat Bhiru terperangah hampir tak percaya mendengarnya dari mulut Jono. "Buka saja."

Penasaran apa yang diberikan pak Ranu padanya, Bhiru membuka kotaknya dan menemukan sepasang sepatu yang biasanya digunakan untuk trekking khusus wanita berwarna ungu dengan ukuran kakinya.

"Suka nggak?" tanya Jono dibalas dengan tatapan bengong Bhiru. "Aku lho yang pilih, pas kemarin aku sama pak Ranu pergi meeting. Tiba-tiba pak Ranu minta mampir di toko perlengkapan outdoor. Kirain dia mau cari sepatu buat dirinya sendiri, eh nggak tahunya buat kamu." Jono menerangkan tanpa diminta bersama dengan tatapan nakalnya.

"Jangan mulai deh, Jon." Bhiru menghela nafas samar. Ia tidak menduga pak Ranu akan memberinya sepasang sepatu yang sialnya langsung ia suka. "Kenapa ya tiba-tiba pak Ranu kasih aku sepatu begini? Gimana beliau bisa tahu juga ukuran sepatuku?"

"Aku yang kasih tahu," cetus Kumala yang baru saja datang. "Karena pak Ranu kemarin tanya soal ukuran sepatu kamu."

"Ooh…" Bhiru tiba-tiba ingin mencoba mengenakannya. Dan ternyata benar-benar pas dan terasa nyaman membungkus kakinya.

"Cocok ya ternyata?" Kumala senyum-senyum sambil melihat sepatu baru di kaki Bhiru.

"Aku nggak bisa terima ini. Mau aku kembalikan." Bhiru melepas sepatunya dan memasukannya kembali ke kotaknya. "Apa maksudnya coba?"

Memandang ke arah ruangan kaca pak Ranu, Bhiru melihat bosnya itu tampak sedang berdiri di dekat jendela kantor dan tiba-tiba teringat kalau ia juga belum membelikan kopi bosnya. Bhiru melupakannya karena pagi ini ia berangkat diantar oleh Langit.

Bhiru menghela nafas lalu menuju ke ruangan pak Ranu sambil tak lupa membawa serta kotak sepatunya.

"Pagi, Pak." Bhiru memberi salam pada atasannya yang tengah berdiri di samping jendela sambil memegang mug dan tangan yang satunya lagi sedang memegang gawai dengan postur seperti manekin hidup yang kerap membuat Bhiru dan banyak perempuan lain kerap menahan nafas setiap kali berhadapan dengannya.

"Pagi," sahutnya tanpa melihat ke arah Bhiru dan masih menatap gawainya.

"Sebelumnya saya mau minta maaf karena saya lupa membelikan kopi untuk bapak pagi ini," ucap Bhiru dengan nada tertekan.

Pak Ranu tampak menghela nafas singkat, lalu menunjukan mug-nya sambil berkata, "Nggak perlu." Lalu kembali menatap layar gawainya dengan serius. Mengabaikan Bhiru yang masih berdiri canggung menatapnya dengan kotak sepatu di tangannya.

Tak ingin terus-terusan diabaikan oleh bosnya, Bhiru memberanikan diri untuk berdeham cukup keras.

"Ehem…"

Dan ulahnya itu sukses membuat perhatian pak Ranu akhirnya benar-benar tertuju padanya. Menatapnya dengan sepasang mata tajamnya yang membuat Bhiru menyesal telah lancang berdeham.

"Sudah kamu coba sepatunya?" tanya pak Ranu sambil mengantongi gawainya dan menatap kedua kaki Bhiru yang pagi ini mengenakan celana panjang berwarna hitam untuk melengkapi blouse merah cabainya dan sepasang sepatu bersol datar yang sesuai dengan keinginannya sebelumnya.

"Sudah, pak."

"Cocok ukurannya?"

"Cocok pak."

"Kaki kamu sudah sembuh?"

"Sudah pak."

"Bagus. Mulai seterusnya kamu harus pakai sepatu itu setiap menemani saya pergi ke pabrik."

Bhiru terperangah. Jadi ini maksud pak Ranu memberinya sepatu outdoor? Tiba-tiba Bhiru terpaku menatap kotak sepatunya dan mulai berubah pikiran. Pak Ranu bermaksud baik memberinya sepatu demi keselamatannya saat berjalan di area pabrik. Tapi itu artinya ia bakalan sering diajak ke pabrik.

Haduuuuh….jadi menyesal!

"Kenapa diam saja?"

"Terima kasih, Pak," ucap Bhiru akhirnya meski dengan nada sangat tertekan.

"Kamu boleh kembali ke meja kamu."

Bhiru mengangguk pasrah. Niatnya mengembalikan sepatu, tapi pupus setelah berhadapan dengan pak Ranu. Tapi baru setengah bergerak ia kembali teringat soal kopi yang ia lupa belikan.

"Soal kopinya…"

"Untuk sementara kamu nggak perlu belikan sampai saya meminta kamu." Pak Ranu menjawab sambil kembali menatap keluar jendela dan menyesap tehnya perlahan.

"Baik, Pak." Bhiru memutar tumitnya.

Tapi pak Ranu kembali memanggilnya, "Bhiru."

"Ya pak?"

"Tolong siapkan bahan rapat persiapan ke Bangkok besok lusa."

"Baik, Pak."

"Siapkan juga tiket pesawat dan hotel untuk saya, Jono dan kamu."

"Saya juga?"

"Iya. Kamu dan Jono harus ikut saya ke Bangkok."

Mendadak Bhiru bengek. Besok lusa adalah hari ulang tahun Langit!


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C26
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login