Download App

Chapter 1: Festival Lembah Baliem (1)

Pada malam hari aku mengalami susah tidur. Khawatir dengan pertandingan besar besok hari di lembah Baliem—ajang kesempatan untuk memperlihatkan kemampuanku di depan para gadis suku Dani, Lani, dan suku Yali. Aku termasuk bagian dari suku Lani; walau aku bukan asli sini dan bersilsilah keturunan orang kota karena Kakekku—yang sudah meninggal—pindah dari kota bersama Nenek dan Ayah untuk alasan mendapatkan kedamaian, katanya di Kota terlalu bising, tidak cocok dengan jantungnya yang suka kaget mendengar klakson mobil.

Mereka pun menetap setelah disangka tempat ini yang mereka cari, lembah sejuk di tanah Papua. Ayah juga merasa betah walau setelah mengalami penyesuaian-penyesuaian khas anak bandel yang manja. Sebagai jawaban kemantaban hatinya, Ayah menikahi wanita cantik berkulit cokelat dari suku Lani, suku yang ahli dalam bidang bercocok tanam, itulah alasan kenapa di kamarku lengkap dengan bibit tanaman dan biji-bijian.

Ketika perayaan hari lahirku yang ke tujuh belas kemarin, ucapan "selamat ulang tahun" Ayah tidak terasa berkesan, alih-alih ia menyajikan informasi mengerikan. Dia bilang, ada seorang anak muda dari suku Dani yang harus aku waspadai saat pertandingan di lembah Baliem nanti. Namanya sangat kontras jika dibandingkan dengan kebanyakan orang di sukunya, dia dipanggil Aditya. posturnya lebih pendek dariku, kulitnya sehitam arang, sklera matanya seputih susu sapi sahiwal pun juga giginya seputih warna dasar baju 'Supreme'-ku. Kata Ayah dia tidak pernah terlihat di keramaian desa, sosoknya selalu terbenam di lebatnya jenggala rimba dekat pemukiman koloninya. Ayah pernah mendengar selentingan gosip soal Aditya yang bisa berbicara dengan alam, aku sendiri pun pernah melihat tangannya menjamahi pohon sementara netranya terkatup takzim. Kata orang lagi, Aditya mempunyai gerakan secepat kijang saat menyusuri jantung rimba, fisiknya trengginas menghindari sela-sela sempit tanaman liar. Serangannya sama jitunya dengan terkaman raja hewan. Woi ... dahsyat kali anak ini.

Rumor terakhir dari kerabatku di suku Yani yang pernah memijat pegal badan Aditya. Waktu itu kunjungan langsung setelah dia bermain di hutan selama berbulan-bulan. Kerabatku berkata sambil mengerutkan hidung, kalau badan anak itu berbau daging babi mentah, mungkin itu makanan pokok baginya selain buah-buahan saat di dalam hutan. Anak itu menguarkan aura primitif. Ayah menasehatiku untuk mengawasi manusia hitam ini dan berhati-hati padanya. Hal ini lah yang membuatku susah memasuki alam mimpi, bolak-balik ganti posisi.

Rasanya tidur ini malah membuatku merasa pusing, pikiranku melayang kemana-mana. Aku acak-acak rambut anehku yang hanya dipanjangkan bagian samping telinga; gaya khas laki-laki di suku Lani, berharap hal itu bisa menyederhanakan pikiranku yang kusut. Namun percobaan itu tidak ada guna. Aku menyerah, memutuskan bangun dari kasur sekam berlapis sarung. Aku ingin menambah kesibukan. Mungkin memastikan persiapan untuk besok membuatku mengantuk nantinya.

Aku beranjak menuju lubang tangga memutar yang berujung di permukaan tanah. Rumah adat papua bernama lain Honai dan berbentuk seperti jamur ini tidak berlantai seperti balai megah warga modern di Ibu Kota. Kerangkanya simpel, hanya dinding berbentuk silinder dari kayu dan bambu dengan balutan jerami, beratap serupa helm bundar dengan lapisan tangkai padi yang saling merajut satu sama lain. Bagian dalamnya pun sesederhana tampilan luar, ada empat sekat yang membagi empat ruang; kamar tidur orang tuaku, dapur, ruang tamu dan ruang keluarga. Tangga memutar berbentuk tabung kayu berada di tengah di antara ke-empat ruang tadi, desainnya minimalis selebar satu meter; setinggi dua setengah meter. Dan tepat di hilir tangga, yaitu bagian loteng, adalah kamar pribadiku, sangat luas, selain bibit tanaman dan biji-bijian, ada banyak rak berisi buku dan komik—harta Kakek dari Kota dulu, dan di sini juga penuh dengan gerakan hati-hati (harus melangkah pelan agar tidak mengganggu orang di bawah).

Sampai di bawah, melangkah melewati lubang persegi panjang tanpa pintu di tabung tangga; akan langsung menghampar ruang tamu. Di atas meja kubus terletak perlengkapanku besok, kostum, topi berhias bulu; ayam jantan-cendrawasih-merak, cat air dan busur lengkap dengan panahnya, senjataku masih terlihat mengkilap, hadiah hari lahirku yang ke tujuh belas. Bisa dilihat angka "17" terukir di badan busur bagian tengah bersanding dengan namaku. Bima Kaikoa.

Setiap kali aku memandang senjata jarak jauh ini terbayang anak panahnya melesat mengenai semua musuhku besok. Membawa tim suku Lani ke puncak penghargaan, dikalungkan medali dari kulit kerang emas yang langka. Mata lebar terpukau para gadis ketiga kabilah akan melihat tim muda suku Lani dengan kagum. Di lembah ini, pria berkalung kulit kerang emas lebih mudah mendapatkan jodohnya. Mantap kali, Woi!

Memikirkan ini, hatiku beranjak tenang. Kuapan pertama terbit dari mulutku. Aku tersenyum syukur, pertanda tidur nyenyak telah datang.

Aku melangkah kembali ke tangga putar setelah memastikan perlengkapan untuk perkelahian besok siap dan mengelus hadiah busur panah dengan rasa tenang yang aneh. Sepertinya aku mencintai sebuah barang untuk pertama kalinya. Sementara aku akan menuju tangga putar, suara berkeletuk di pintu Honai menyambar pendengaranku.

"Tok. Tok. Tok."

Siapa yang bertamu malam-malam begini?

Kemudian disusul suara lenguhan burung yang sampai membuatku merasa ngeri.

Pintu diketuk lagi beberapa kali.

Aku akhirnya meninggalkan keputusan tidurku, menggeser segel kayu panjang yang mengunci pintu, kepalaku melongok duluan setelah pintu terbuka sedikit. Aku mencari-cari penyebab suara tadi, tengok kanan ke arah semak-perdu di antara pohon mangga, nihil. Tidak ada bekas jejak juga. Tengok kiri melihat satu pohon tegak berdiri, sama saja. Sepi dan gelap.

Ini semacam hal mistis di buku Horror milik Kakek. Jika pintu rumah diketuk berarti ada sesuatu yang akan bertamu, tapi aku tidak menemukan siapapun di halaman rumah.

"Ku-ku-ku"

Aku terkesiap, spontan mendongak mengikuti sumber suara. Ada seekor burung terbang setinggi kisaran delapan-sepuluh meter di atas, kepakan sayap lebarnya tidak bersuara, dia punya mata bulat yang tajam melihatku, dan bulu ekornya pendek.

Ialah burung hantu. Aku mematung menyaksikannya. Jadi dia tamu itu, kah?

Ingin aku bicara, tapi orang mana yang menegur seekor hewan, e? Aku tidak segila Aditya yang kata penduduk desa dia mampu berbicara dengan "alam". Tapi tidak ada salahnya mencoba. Aku melakukan hal bodoh itu, berbicara pada burung terbang.

"Kau yang mengetuk pintuku tadi, kah?"

"Kuuu~" jawabnya sembari menjaga keseimbangan di udara, tubuhnya dihembus angin malam yang kencang. Tapi tunggu, dia merespon pertanyaanku. Ini aneh. Alamak, aku merasa menjadi Aditya sekarang. Entah aku harus senang atau khawatir, aku tidak ingin dicap aneh oleh orang lembah. Aku menelan ludah.

Dengan ragu aku mengutarakan pertanyaan lagi, "Ko ada ... perlu apa?" Sebagai jawaban, burung itu menghentikan kepakan dan merentangkan sayap, dia turun secara perlahan dihembus angin, saat tubuhnya sejajar dengan tinggi kepalaku sayapnya mengepak lagi. Benar-benar tidak terdengar bunyi kepakan. Mata tajam bulat itu semakin terasa menusuk hingga ke jiwa saat melihatku.

"Kuuu~" Mata bundar itu perlahan mengeluarkan cahaya putih seperti senter kecil milik turis luar lembah. Cahaya dari mata merambat ke bulu kepalanya, lalu menuju badan dan sayapnya yang mengepak, hingga sampai ke ujung ekor. Alamak, dia sempurna menjadi burung bercahaya.

Burung hantu itu menghentakkan kedua sayap, ia bermanuver menjauhiku. Aku hanya melongo melihat. Sejak kapan burung bisa berubah, e? Apa burung hantu itu benar-benar hantu?

"Kuuu~ Kuuu~" Kepala burung menoleh kebelakang sementara ia mempertahankan posisinya di udara. Ia melihatku kemudian mengedikkan kepalanya ke arah depan. Seakan memberi tanda supaya aku mengikuti ekornya yang bersinar. Alamak, lihatlah dia, seolah berbicara denganku. Ini ganjil. Tapi membuatku penasaran.

Aku pun mengikutinya sampai lupa menutup pintu tamu rumah jamurku. Kemana dia akan membawaku? Aku melangkah cepat membuntuti.

Setelah Burung hantu yang bersinar putih itu tahu aku mengikutinya, ia mempercepat laju kepakan sayap, aku tidak ingin kalah—aku pemanah suku Lani, pemanah harus memiliki kegesitan untuk mengatur jarak dengan targetnya, jadi aku berlari sprin. Ia membawaku menuruni bukit. Memotong jalan setapak, menerobos rumput ilalang. tangkai rumput itu halus namun juga tajam seperti pisau silet, kulitku menyerempetnya, aku mengaduh, bukan karena rumput tinggi yang menyayat lengan dan betisku, tapi coba bayangkan jika ada orang melihatku berlari malam-malam. Mereka pasti mengira aku ini maling yang sedang kabur mambawa barang hasil curian di dalam celana boxer spongebob-nya.

Bebas dari lautan rumput ilalang, terpapar badan panjang nan lebar milik sungai Baliem. Aku dan burung hantu berlari di bantaran sungai itu, kakiku meloncat-loncat dari batu besar ke batu yang lain.

"Weee! Ko mau kemana!?" Teriakku sembari berlari kencang, napasku mulai terengah-engah sedikit. Burung hantu menjawab dengan suara mendengkur.

"Jangan cepat-cepat, e! Bulannya kurang terang malam ini! Aku bisa tersandung!"

Cahaya ditubuh burung itu semakin terang. Jalurku terlihat jelas sekarang. Dia pengertian juga ternyata. Burung hantu itu lalu menghentakkan sayapnya, menukik ke atas, condong ke arah tengah sungai. Kemudian seperti batu yang habis gaya dorongannya ke udara, ia terjun ke bawah, tenggelam ke dalam arus sungai Baliem.

Dadaku mendengap kembang-kempis setelah berhenti loncat dan mendarat di batu kapur besar. Aku tidak percaya dengan yang barusan mataku tangkap. Burung menyelam ke dasar sungai adalah hal baru di seumur hidupku. Apalagi dia burung hantu, dan bersinar. Itu tidak mungkin terjadi!

Lima detik kemudian, cahayanya di dalam sungai menghilang. Sepuluh detik, gelembung udara mulai jarang bermunculan, aku khawatir dia kehabisan napas. Lima belas detik, aliran sungai Baliem kembali tenang seperti sedia kala.

Sudah satu menit. Belum ada tanda-tanda kemunculannya. Aku menunggu burung itu dengan keyakinan dia pasti keluar, tidak mungkin ada hewan yang bisa menjawab pertanyaan manusia, mengajaknya jauh-jauh menuju aliran sungai untuk melihatnya mati bunuh diri. Itu sama tidak masuk akalnya dengan kemampuan dia merespon bahasa manusia dengan lenguhan.

Tubuhku bergetar saat angin malam yang dingin menerpa. Membuatku tidak sabar ingin pulang ke rumah Honaiku yang hangat. Kuputuskan mengumpulkan batu seukuran genggaman tangan, aku tadah dengan lengan kiri, kemudian aku lempar batu itu satu-satu ke sekitaran tempat burung hantu itu menyelam. Pluk—Pluk—Blung!. Air sungai membumbung tinggi ketika lambungan batu besar yang terakhir menerobos permukaannya. Sama saja. Tidak terjadi apapun. Keadaan lengang sekali dengan desiran angin malam yang dingin tertiup entah dari mana.

"Wooii! Kalau kau tidak muncul juga. Aku pergi, e!" Teriakku dengan serak, hawa dingin malam hari membuat kerongkonganku mengering.

Sepuluh menit. Masih lengang. Aku berkacak pingang. Malam semakin dingin, aku mendengkus tidak tahan. Aku menjumpai batu sebesar kepala bayi ketika menunduk kelelahan menunggu. Lantas melirik kedua lengan dengan otot kencang ukuran sedang di kanan-kiri bergantian, memperhitungkan apakah aku kuat melempar batu besar ini ke tengah sungai. Aku mengangguk untuk meyakinkan diri. Aku bisa. Pemanah utama suku Lani punya lengan kuat untuk menarik anak panahnya yang kemudian diluncurkan bak cemeti petir malaikat langit.

Membawa batu itu di atas bahu kanan, melangkah hati-hati di antara batu dan kerikil pinggiran sungai Baliem. Burung hantu itu terlalu lama berada di bawah sungai, tidak kunjung menampakkan mata bulatnya yang bersinar.

Aku mengangkat batu besar dengan kedua lengan, otot-otot tanganku menegang, rahangku menekan gigi sambil mengejan. Aku mengambil ancang-ancang untuk menyemburkan bongkahan berat ini tepat ke area sentral.

Namun, ketika hampir batu itu terlempar. Siluet gundukan bukit hitam pekat muncul dari arah si burung menyelam. Aku perhatikan lebih jeli lagi. Ketika wajahnya mendongak dan matanya tidak lagi terpejam, aku baru sadar. Itu bukan gundukan, melainkan kepala burung hantu yang besar! Seukuran atap helm rumah Honaiku! Burung hantu itu mengembang seperti super hero Hulk di komik milik Kakek, matanya semakin besar—lebih besar dari mata buto di topeng yang terpajang di rumah kerabat tukang pijitku. Kini mata dan tubuhnya tidak bersinar, bulunya berwarna cokelat resin. Akan tetapi ada cahaya berwarna biru yang muncul dari sela-sela paruhnya.

Kepala burung itu menjengit maju-mundur ketika kakinya berjalan dari dasar sungai Baliem. Tubuhya semakin tinggi seiring dia mendekati bantaran sungai, seperti roket yang keluar dari ruang bawah tanah.

Kini sosok raksasa burung hantu berdiri tepat di hadapanku, tingginya sama dengan pohon mangga di halaman rumah, kepalanya menekur ke bawah. Burung itu membuka paruhnya dan kemudian kerikil kecil bercahaya biru jatuh dari dalam mulutnya. Aku gelagapan menangkap.

"Ini apa?" tanyaku.

Aku melihat "kerikil bercahaya biru" itu di telapak tangan, jika ditelisik lebih teliti, bentuknya tidak bulat, melainkan sangat mirip kapsul obat di kedai suku Yani—suku yang ahli dalam pengobatan.

Aku menengadah melihat kepalanya. Dia sekarang tidak membutuhkan kepakan sayapnya untuk membuatku mendongak. Tubuhnya seperti menara mercusuar pantai, matanya yang bercahaya redup adalah lampunya. Burung itu menggerakkan kepala ke atas, lalu dari sana terdengar suara cegukan. Aku tidak paham apa maksudnya, tapi aku tahu ia mencoba "berkomunikasi" denganku. Ia mengulangi gerakan itu lagi.

"Menelan ini, kah?" tanyaku ragu sembari menunjuk dengan tangan lain, mencoba menebak bahasa tubuhnya.

"Kuuu~" kukurnya

"Serius ko?" Alisku terangkat sebelah. Untuk apa aku memakan "pil" silau ini? Agar tubuhku bercahaya sepertinya tadi? Aduh, Jujur, aku tidak mau.

Burung hantu itu merukukkan tubuhnya, kepalanya tepat di depan tubuhku berdiri—terpisah setengah meter. Bukan hanya bisa berputar seratus delapan puluh derajat, burung ini semakin aneh ketika ia bisa mendongak sembilan puluh derajat. Matanya mendelik besar dan juga bulat. Tubuhku terasa seperti tenggelam dalam tatapan burung raksasa ini. Burung itu mengukukur lagi, kini kukurannya berkesan tegas.

Aku menelan ludah sebelum akhirnya pil bercahaya biru itu berselancar menuruni kerongkongan. Kedua mataku terpejam saat menelan. Tiga detik berlalu. Aku mengunggu apa yang terjadi selanjutnya. Mataku terbuka karena menyadari tidak terjadi apa-apa, dan aku masih kaget ketika melihat kepala burung itu masih dalam posisi yang sama.

Burung hantu perlahan kembali tegak berdiri. Dari bawah, badannya berkesan seperti gunung yang menghalangi sinar rembulan.

"Aaah~"

Apa? Itu suara helaan napas yang lega, dan itu terdengar seperti suara orang tua yang lelah—yang istirahat sehabis letih mencangkul ladang sepanjang siang.

Desiran angin semakin dingin menusuk tulang.

"Akhirnya aku bisa berbicara denganmu, wahai, bocah yang ditakdirkan!" Suara menggema itu berasal dari raksasa di hadapanku.

Mulutku sempurna membulat.

"Hai, Nak, apa kabarmu?"

Aku tercengang. "K-Kau ... Bisa bicara?" Kaki pemanah suku Lani ini sedang bergetar dengan balutan boxer spongebobnya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login