Download App

Chapter 15: Stok sabar

"Kenapa tak ada satupun yang mendengarku.." lirih Lia dengan sisa perjuangannya. Dia terduduk lemas dengan kemeja basah. Beberapa kali Lia berusaha melompat yang ada dia menimpa keran dan air keran membasahi dirinya.

Lia sudah putus asa, dia mengacak ngacak rambutnya yang basah. Basah karena keringat dan air bercampur jadi satu, sudah tak jelas seperti apa penampilannya. Dia hanya ingin keluar dari sini. Tapi bagaimana caranya. Tak ada yang berubah, kawat penutup ventilasi seakan tak bergerak meski Lia sudah memukul berkali kali.

Klik!!

Lampu menyala, membuat Lia melonjak bangun.

Paaakk!! PAKK!!

Lia menggedor pintu sekuat tenaga.

"Siapapun di sana!! Tolong buka pintunya!!" Teriak Lia lirih. 

"TOLOOONG BUKA PINTUU INII!!" Teriak Lia lirih sekali lagi.

----

Max melirik jam tangan sudah pukul sembilan malam. Max melirik layar ponselnya. Tak ada pembahasan di grup kelasnya, tak ada yang membahas perihal pesta cafe, dan tak ada yang menanyakan perihal kunci mini market. Max merasa heran sendiri.

Dia meraih resleting jaket dan menutup hingga ke ujung leher. Cuaca malam ini cukup dingin. Max memainkan kunci mobilnya. Dia meninggalkan kelas dan mematikan lampu. Pria itu paling terakhir meninggalkan tempat les malam ini. Dia rasanya malas sekali untuk pulang. 

"Aku rasa ada yang salah di sini." Max bergegas memasuki mobil, dia memutar kontak dan memutar balik.

Tak ada kata sepi untuk kawasan kampus. Beberapa anak seni dan jurusan lainnya masih asyik bercengkrama bersama, sekedar mengobrol bercanda atau nongkrong dengan gadget di tangan mereka. 

Melihat mobil mewah Max masuk pelataran parkir, beberapa siswa bangkit dan menyapa pria itu.

"Hay, Max! Tumben kau ke kampus jam segini!" Max membuka kaca mobil. Dia melambaikan tangan.

"Kalian sedang ada acara?" Tanya max turun dari mobil.

"Sekedar nongkrong dan menikmati malam!" Ujar yang lainnya menyambut uluran tangan Max.

"Apa ada jurusan mengadakan pesta malam ini?" Yang lain tak menjawab pertanyaan Max, hanya menjawab dengan raut wajah heran.

"Tidak ada pesta atau apapun itu. Tapi itu ide bagus Max, bagaimana kalau kita rencanakan untuk pekan depan?" Max tertawa kecil mendengar jawaban dari rekan kampusnya. Pemuda itu bertambah heran. Lalu harus diapakan kunci dari tuan Bellen. Pemuda itu memainkan kunci toko milik tuan Bellen.

"Apa kau memegang kunci mini market?" Seorang rekan menyadari kunci di tangan Max, pemuda itu mengangguk dengan senyuman kecil.

"Kalau begitu bisakah aku mengambil beberapa kaleng bir?" Max berpikir sejenak, lalu mengangguk.

"Kalau begitu, hayoo.."

Rekannya, dua orang mengikuti langkah Max. Mereka menuju mini market Bellen.

"Kenapa Bellen memberikan kunci tokonya padamu?"

"Aku justru ingin bertanya kalimat yang sama pada pak Bellen" heran Max

"Pantas saja tokonya tutup, mungkin ada sesuatu yang terjadi"

"Entahlah" ujar Max tak begitu paham.

Mereka bertiga masuk ke toko yang gelap gulita.

"Kenapa dia tak menyetel penerangan di tokonya, semua sudah serba otomatis dengan timer, tapi dia masih menggunakan cara lama." Seorang rekan Max mengoceh dan mencari stop kontak lampu. Dia menyalakan lampu, sehingga seluruh ruangan tampak jelas.

"Siapapun disana! Tolong aku!!"

Ketiganya terhenyak dan saling bertukar tatap dengan wajah bingung.

"Apa kau dengar itu?" Tanya salah satu, keduanya mengangguk termasuk Max.

"Apa kalian pernah dengar tragedi kampus?" ujar salah seorang lagi dengan mendekap pangkal lengannya, wajahnya seketika pucat dan suaranya terdengar gemetar. Rekan yang lebih berani menepuk pundak temannya. Membuat dia menjerit takut.

"Akkh! Kau mengejutkan saja!" Dengusnya kesal, merapatkan jaket.

"Dasar penakut, mana ada yang seperti itu!" Kesal yang lainnya tapi Max hanya menyimak dan menggelengkan kepala. Daripada takut dia malah penasaran. Dimana arah suara itu.

"TOLOOONGG!!"

"Apa kau dengar itu?" Tanya si penakut dengan wajah kian pias. Dia menoleh pada si pemberani, tepatnya si sok berani, keduanya bertukar tatap dengan wajah takut.

"Apa kau pernah dengar kisah mahasiswi yang bunuh diri saat hamil, dengan meneguk racun di kamar mandi?" Si penakut kian gemetar dengan ucapannya sendiri. Dia tak mau berpikir lagi. Pemuda itu segera melarikan diri mengambil langkah seribu. 

"Max! Bisakah kau mengambilkan bir untuk kami. Aku sebetulnya tak percaya hal aneh seperti itu" Max mengangguk setuju. Kalimat barusan malah membuat rekannya itu terlihat pengecut.

"Ya, bagus kalau begitu" ujar Max menyunggingkan senyuman.

"Tapi aku hanya sedikit cemas dengan Theo, dia, dia-- ya, kau tahu dia cukup penakut" Max berusaha menelaah kalimat temannya, suara berani itu sudah berubah gemetar kini. Belum lagi bulir keringat dingin mulai tampak di dahinya. Max menggelengkan kepala menahan tawa geli.

"Baiklah!" Ujar Max mengangkat tangan dengan enteng. Dia seakan paham.

"Aku akan mengantar ke tongkrongan kalian tadi" ya, dia malas pulang, mungkin ini salah satu alasan tepat baginya untuk mengulur waktu. Max berharap Pauline akan menerima alasannya malam ini.

Max sendirian di dalam toko, oke. Dia adalah pemuda yang realistis dan berpikir maju. Tapi suara mendayu dari dalam tadi membuat Max gentar juga. Pria itu melangkah hati hati dengan wajah siaga.

"Halloooww.." ujar Max mencoba menyusuri lorong menuju ruang belakang.

"SIAPAPUUNN!! AKU MOHON TOLONG BUKA PINTUNYAA!!" Suara perempuan kian jelas berteriak. Dan suara gedoran daun pintu membuat Max terhenyak kaget.

Max mencoba memberanikan diri. Dia berdehem dan mengatur suara.

"Ehem! Halloo.." suara Max terdengar berat meski dia berusaha menutupi rasa takutnya.

"Kau!! Kau yang di depan, bisa tolong aku!!"

Max mencoba memberanikan diri, dia berusaha yakin jika suara itu tidak seperti dugaan kedua rekannya tadi. Itu manusiakan?

"A,apa, kau di dalam?"

"Yaaa!! Tolong buka!! Aku terkunci!!" Tunggu, sepertinya suara lirih di dalam sana tak asing. Max mencoba mengingat.

"Apa kau, kau--"

"Apa kau Max?" Tanya Lia, "Ah, siapapun dirimu, aku harap kau membantuku. Aku terlalu berhalusinasi hingga berharap pria itu yang menolongku!" Lia berceloteh sendiri, entah sadar atau tidak, dia sudah lelah dan putus asa.

Max melebarkan sudut bibir. Dia jelas mendengar semuanya tadi. Seketika rasa takutnya hilang. Max menahan tawa kecil. Entah kenapa rasa takutnya seketika berubah senang.

Tunggu, ini bukan waktunya tersenyum apalagi tertawa. Pasti Lia akan kesal jika dia melihat raut wajah Max saat ini. Tapi yakinlah dia bukan mentertawakan takdir Lia. Oke, takdir hingga mereka bertemu.

"Ehem, apa kau Lia?" 

"Ya, yaaa!! Aku Lia!!" Sambarnya cepat dengan suara parau. Bibir Max seketika tersenyum lagi.

"Kau!! Siapapun kau, tolong aku.." lirih Lia, seketika semangatnya hadir kembali.

"Apa kau tahu kunci yang mana yang harus aku gunakan?" Max mengangkat kunci di tangannya, ada banyak pilihan di tangannya.

"Aku juga tak tahu persis, bisakah kau mencobanya?" Pinta Lia.

"Satu persatu?" Max merasa ragu melihat ada banyak sekali anak kunci yang harus dia coba. Ini akan memakan banyak waktu.

"Aku harap kau masih menyimpan stok sabar.." ujar Max, Lia hanya bisa pasrah, mau bagaimana lagi. Daripada dia menginap semalaman di kamar mandi.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C15
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login