Download App
Village Punk (Brandal Kampung) Village Punk (Brandal Kampung) original

Village Punk (Brandal Kampung)

Author: Yuwen_Aqsa11

© WebNovel

Chapter 1: ?1

Wajib like sebelum baca yak!!!!

"Buk minta duit!" Bentakku pada Ibuku yang rambutnya mulai memutih. Dia masih sibuk dengan cetakan apem didepannya.

"Kemarin kan sudah Ibu kasih to Git. Masa' sudah habis?" Jawab Ibuk sambil terus menuangkan adonan apem ke dalam cetakan. Sesekali dia membenarkan kayu bakar yang apinya mulai keluar dari dalam lubang keren (sejenis tungku tapi pakai kayu).

"Yaela Buk, cuma sepuluh ribu buat apaan coba?" Aku ikutan duduk jongkok disebelah ibuk. Kuambil apem yang sudah matang, lalu aku memakannya. Memang enak apem buatan ibuk ini.

"Git, sehari ibuk cuma dapat uang duapuluh ribu. Itu yang sepuluh ribu buat kamu. Yang sepuluh ribu buat bayar air yang nunggak 3 bulan. Itu masih kurang lo Git." Jelas ibuk sambil melihatku menikmati apemnya. "Kamu kan sudah lulus SMA, mbok yo cari kerja to Le. Biar ndag minta ibuk terus."

"Lha itu ada duit." Ucapku saat melihat duit selembar berwarna biru di selipan jarik ibuk.

"Ini buat beli bahan apem besok Le. Tadi bu RT kesini, pesan apem buat besok acara arisan dirumahnya."

Langsung aku comot duit itu dan aku berlari keluar rumah.

"Sigit! Sigit! Jangan diambil Le!" Teriak ibuk dari dalam.

Tak aku hiraukan teriakan ibuk. Langsung aku stater motor kingku. Aku bleyer-bleyer motor kesayanganku dengan sangat keras. Agar suara ibuk tidak terdengar. Aku tersenyum dengan sangat puas. Akhirnya aku dapat uang. Aku lajukan motorku dengan kecepatan 100km/jam. Aku memasuki warung favoritku di pojok gang.

"Bang! Biasanya 2 botol ya." Ucapku kepada pemilik warung.

Bang Hadi menyerahkan 2 botol minuman oplosan yang setiap minggu rutin aku beli. Aku serahkan duit limapuluh ribuan yang aku ambil dari ibuk tadi.

Kenalkan guys, namaku Sigit Santosa. Aku anak lelaki satu-satunya dari sepasang suami istri yang sangat miskin. Ibukku sekarang sudah tua, namanya Juminten dan bapakku sudah meninggal saat aku memasuki kelas I SMA. Beliau meninggal sehabis berantem dengan aku. Soalnya aku minta motor tapi tidak dibelikan. Aku marah-marah sampai bapak kena serangan jantung dan meninggal. Saat itu aku tidak hadir kepemakaman bapak karna aku ikut balapan yang kebetulan taruhannya adalah motor king. Berkat aku yang jago naik motor, akhirnya aku memenangkan balapan dan motor king jadi milikku. Aku sangat bangga. Aku sudah lulus sekolah satu tahun yang lalu. Aku sengaja tidak bekerja. Bahkan aku tidak kepikiran untuk kerja. Minta ibuk saja dikasih. Walau kadang suka ngambil paksa. Kerjaanku nongkrong, kadang nyopet, duitnya buat mabuk-mabukan. Rasanya hidup sangat bahagia. Bebas. Itu yang aku suka.

Setelah mendapatkan minuman itu, aku menyalakan motorku dan berjalan menuju ke kampung seberang. Tepatnya di samping sawah-sawah yang waktu itu dipenuhi tanaman jagung. Aku hentikan motor tepat didepan sebuah ruko yang sudah lama dibiarkan kosong. Kulihat kedua temanku Zean dan Erik sedang menghirup rokoknya. Kulemparkan dua botol oplosan yang baru saja ku beli tadi. Dengan sigap Erik menangkap kedua botol itu.

"Waah, punya duit lo?" Ucap Zean.

"Habis nyopet ya?"

Aku tersenyum. "Belum. Tadi dari rumah. Ngambil duitnya ibuk."

Erik langsung membukan botol itu. Diminumnya hingga tinggal seper empat nya. Dia langsung menggeleng-gelengkan kepalanya dan memukul-mukul kepalanya. Tak berapa lama dia langsung jatuh tersungkur. Aku kembali tersenyum melihatnya.

"Gila ni bocah. Masa' hampir habis sebotol?" Zean mengambil minuman sisa Erik. Hendak meminumnya, tapi nalah tumpah kesangkut tangannya Erik. Tiba-tiba gawai Zean berbunyi.

"Hallo."

Entah siapa yang sedang berbicara pada Zean. Dia terlihat serius mendengarkannya.

"Ok. Zean pulang." Zean memasukkan gawainya kesaku celana. "Antar gue pulang bentar ya Git."

"Mau ngapain? Baru juga gue sampai. Udah mau pergi."

"Ini ibuk gue mau pergi ke Bandung dua hari. Gue disuruh ikutan."

"Yaudah, yuk. Itu Erik gimana?"

"Kita masukin aja motornya Erik, terus kita tutup pintunya. Biar dia juga aman."

Aku dan Zean bergotong royong memasukkan motor Erik kedalam ruko dan menutup pintu ruko.

Sesudah mengantar Zean pulang, tiba-tiba perutku terasa mules. Rencana untuk menemani Erik sahabatku aku tunda. Aku pulang kerumah. Langsung masuk wc. Kebetulan ibuk tidak ada dirumah. Mungkin dia pergi mengantar apem pesanan orang. Selesai BAB aku berniat lagi untuk pergi menemui Erik, tapi melihat nasi box di atas meja, perutku berkata lain. Segera aku buka nasi itu. Aku makan semua isi box itu tanpa terkecuali. Setelah kenyang, rasa ngantuk mulai aku rasakan. Aku langsung merebahkan tubuhku di kursi panjang yang ada didapur dan tertidur.

Lama aku tertidur, sayup-sayup aku mendengar seseorang memanggilku.

"Sigiiiiit, Sigiiiiit, Sigiiiiit.... Bawa aku pulang."

Aku terbangun. Aku celikukan mencari arah datangnya suara itu. Tidak ada siapapun. Hanya terdengar suara jangkrik. Aku merogoh gawaiku didalam saku jaketku. Baru jam 2 dini hari. Lalu aku kembali merebahkan tubuhku. Mulai memejamkan mataku.

"Sigiittt..."

Suara itu terdengar lagi. Seperti suara yang sangat aku kenal. Suaranya dari luar rumah. Entah ada apa, tiba-tiba jantungku berdebar sangat kencang, rasa dingin seperti didepan kipas angin, ditambah suara jangkrik itu. Membuatku merasa sangat takut. Aku berjalan menuju pintu depan. Pintu rumahku terbuat dari kayu yang sudah usang. Jadi banyak celah untuk mengintip. Aku pun mengintip suasana diluar rumah.

Diluar aku melihat Erik yang berdiri mematung menatapku dengan wajah yang sangat pucat. Ada apa dengan dia? Kenapa dia kesini? Kenapa wajahnya begitu pucat? Tak terlihat ada aliran darah diwajahnya.

"Sigiitt...."

Lagi-lagi dia memanggilku. Kali ini suaranya terdengar parau, serak, berat.

"Bawa aku pulang."

Mungkin dia minta aku untuk mengantarnya pulang. Batinku. Aku hendak membuka pintu.

"Sudah malam. Mau kemana to Le?" Ibuk mengagetkanku.

"Itu ngantar Erik pulang buk."

"Mbok jangan ngaco Le!" Larang ibuk sambil menepuk tanganku. "Erik temanmu tadi sudah di makamkan."

"APA!!!!??" Sontan kata-kata ibuk sangat membuat aku terkejut. "Tadi siang Erik sama Sigit buk. Dia cuma mabuk. Terus aku tinggal diruko. Dan sekarang dia didepan minta aku untuk antar pulang buk." Aku kembali mengintip luar. Erik tak lagi ada diluar sana.

"Pak Robi yang menemukan Erik Le. Sore jam 5 tadi. Dia dibangunin nggak bangun-bangun. Ternyata sudah tidak bernafas."

Seketika tubuhku lemas. Aku jatuh dilantai. Sungguh tak percaya sahabatku pergi begitu cepat. Berarti yang tadi kulihat itu, bukan lagi manusia.

Ibuk mengandeng tanganku untuk berjalan menuju kursi. Aku duduk dipojok kursi bersandar dinding yang terbuat dari anyaman bambu. Seluruh tubuhku terasa lemas. Mataku mulai memerah. Bulir-bulir air mata mulai keluar. Sungguh tak percaya sahabatku Erik pergi meninggalkan aku, tanpa pamit. Akupun tak sempat meminta maaf padanya. Erik sahabat terdekatku sejak SMP. Teman paling baik untukku. Dia yang mengajariku bagaimana cara hidup dengan bebas tanpa beban. Hampir setiap hari aku selalu bersamanya. Aku sangat menyesal, kenapa tadi siang aku tidak menyusulnya?

Aku terperanjat. Dia mati karena apa? Apa penyebab dia mati?

"Buk, Erik meninggal kenapa?"

"Ibuk kurang paham juga. Tadi ada yang bilang lehernya ada bekas talinya. Kemungkinan dibunuh." Jawab ibuk. Dia sudah sibuk membuat adonan apem untuk di jual nanti.

Dibunuh? Siapa yang berani melakukannya? Apa itu Fajar dan teman-temannya? Ini tidak bisa dibiarkan. Aku harus mencari mereka !! Batinku kesal. Hatiku penuh emosi. Aku bergegas keluar untuk mencari Fajar si pembunuh itu.

"Git, mau kemana Le? Ini masih gelap. Baru juga jam 3."

Tak ku hiraukan kata-kata ibuk. Aku langsung menstater motor dan pergi. Aku menuju ke arah pasar, melewati jembatan. Dan turun ke bawah jembatan. Disanalah markas Fajar dan teman-temannya.

Fajar adalah musuh kami. Kami sering adu tonjok dengannya untuk memperebutkan daerah kekuasaan.

Aku melihat dia tidur meringkuk di bawah jembatan. Aku tarik bahu Fajar dengan sekuat tenagaku. Hingga dia bangun. Reflek tanganku mengepal, langsung aku hantam pipi kirinya dengan kepalan tanganku. Hingga dia tersungkur. Terlihat pojok mulutnya mengeluarkan darah. Tapi aku tidak pedulikan itu, aku tetap menariknya. Aku pukuli dia sampai teman-temannya menarikku. Menghajarku habis-habisan. Hingga aku terkapar tak sadarkan diri.

Beberapa jam berlalu. Rasanya sangat sulit untuk membuka mata, perih karena luka jotos tadi. Aku sipitkan mataku karna silau terkena cahaya matahari.

"Bang Sigit! Sudah sadar Bang?"

"Emi," ucapku lirih.

Emi adalah pacar Erik. Dia masih sekolah kelas 2 SMA. Emi membantuku duduk. Aku duduk bersandar tembok gardu disebelah pasar.

"Elo kenapa disini? Lo nggak sekolah?"

Emi hanya menggelengkan kepala.

"Lalu kenapa elo disini?"

"Nyari Bang Erik." Jawabnya lirih sambil menundukkan kepala.

"Erik udah..." Aku tak sanggup meneruskan lagi. Hatiku kembali sakit. Perih rasanya.

"Iya Bang. Gue udah tau. Bang Erik dijerat pake tali sama orang-orang yang tadi buang Bang Sigit ke sungai."

"Apa?!! Gue dibuang kesungai??!!" Emi hanya menganggukan kepalanya. Terlihat matanya begitu sembam, mungkin dia menangis semalaman. "Gue akan balasin dendam Erik!" Tanganku mengepal siap untuk menghantam.

"Bang Singit!" Tiba-tiba Emi memelukku sambil menangis sesenggukan. "Gimana nasib gue Bang. Gue bingung. Hikz...hikz .hikz.."

Aku hanya diam mematung. Bingung harus gimana. Ini pertama kalinya dipeluk sama cewek. "Laki-laki banyak Em, awal-awal mungkin sulit untuk move on. Udah ya, jangan nangis lagi."

Lalu Emi melepaskan pelukannya, mengusap pipinya yang penuh dengan air mata. "Masalahnya gue sekarang hamil Bang."

"Hamil?!" Tanyaku meyakinkan. Sungguh kaget bukan main. Ternyata Erik sudah sangat jauh.

"Iya Bang. Ini anaknya Bang Erik. Gue kesini nyari Bang Erik untuk solusi ini. Nggak nyangka malah melihat Bang Erik terbunuh."

"Gimana kalau lo gugurin bayi itu?" Ucapku memberi saran.

"Abang tau tempat buat gugurin?"

Aku menggeleng. "Tapi kaya' nya ada deh di daerah P*******. Gue pernah baca orang curhat di FB. Kita coba kesana yuk."

"Tapi sekarang gue lapar Bang. Dari kemarin belum sempat makan." Kata Emi sambil memegangi perutnya yang mulai kelihatan agak buncit.

"Yaudah gue antar beli makan dulu." Aku berdiri agak kesusahan karna sakit seluruh tubuhku akibat digebukin teman-teman Fajar. Emi membantuku berdiri. Aku celikukan mencari motor kesayanganku.

"Abang cari motor?"

"Iya. Kok nggak ada?"

"Itu dibawah Bang." Emi menunjukkan motorku yang ternyata ada dibawah jalan. Pas didalam sungai. Terendam air.

"Aaahh... Brengseng si Fajar!!" Teriakku. "Pasti udah kemasukan air kan!!!" Aku langsung turun untuk ngambil motorku. Susah sih, malah tak bisa. "Em! Bantuin dong. Susah naik ini."

"Iya Bang. Gue turun dulu."

Dengan susah payah kami berdua menaikkan motor. Akhirnya sampai juga dipinggir jalan. Tapi sayang, motorku mati businya. Sudah terlalu lama didalam air. Kami berjalan cukup jauh. Aku menuntun motorku, dan Emi berjalan disampingku. Tak terasa sudah 1 jam lebih kami jalan.

"Gue capek Bang. Istirahat bentar ya." Berkali-kali Emi mengelap keningnya yang penuh dengan keringat. Nafasnya pun sesendakan. Wajahnya yang putih terlihat merah.

"Itu didepan ada warung makan Em. Kita istirahat disana aja ya. Sekalian kamu makan."

"Ok deh."

Sesampainya diwarung makan, kami memesan makanan dan minuman. Menunggu 10 menit makanan pun terjasi di meja depan kami. Kami langsung melahap habis makanan itu. Lalu kami melanjutkan perjalanan. Setengah jam berjalan, akhirnya ketemu sama bengkel motor. Menunggu antrian hingga setengah jam, baru motor kingku disentuh oleh sipemilik bengkel.

10 menit berlalu, motor pun sudah nyala kembali. Emi siap membonceng motorku dibelakang. Kami pun berangkat ke kabupaten P******* di daerah yang berbeda provinsi dari tempat kami. Untuk mencapai kabupaten P****** membutuhkan waktu kurang lebih 4 jam. Selama perjalanan Emi diam tidak mengajakku bicara. Aku pun juga hanya diam. Aku tak begitu mengenalnya. Hanya bertemu saat Erik mengajaknya ke tempat kami nongkrong dulu. Sebenarnya agak canggung juga. Tak terasa 4 jam sudah perjalanan kami. Aku menghentikan motorku di pinggir jalan depan halte bus.

"Kita dah sampai Em. Tapi gue nggak tau tempatnya. Gue cari di Fb dulu ya." Emi turun dan duduk di kursi halte. Aku masih duduk diatas motor sambil memainkan gawaiku. 15 menit berlalu, aku menemukan lokasi rumah dukun itu. Nama nya Mbok Pun.

"Yuk jalan lagi." Ajakku.

"Udah ketemu Bang?" Jawab Emi, dia langsung berdiri dan berjalan kearahku.

"Udah. Kita harus cepet. Nanti keburu malam." Kembali kustater motorku. Kami berjalan jauh lagi. Melewati tengah kota P******* hingga memasuki hutan belantara sekitar 3 km. Untung tadi udah isi bensin full. Batinku. Setelah keluar dari hutan, kami memasuki pasar tradisional. Aku menghentikan motorku dipinggir pasar. Berjalan kesana kemari mencari tau tepat rumah Mbok Pun itu. Tapi tak satu pun yang tau. Kami berjalan lagi hingga matahari sudah tak nampak lagi. Aku ambil gawaiku, jam 20.30. sudah malam, batinku. Aku berhenti di lapangan yang sangat luas. Disana banyak sekali pedagang kaki lima, angkringan yang aku tuju. Karna aku tak punya uang banyak.

"Makan dulu ya Em." Aku membuka helmku dan turun dari motor. Aku duduk didepan meja angkringan. Emi pun mengikutiku. Aku mengambil nasi kucing yang tersaji, ku tambah kepala ayam. Emi terlihat bingung, mungkin dia belum pernah makan ditempat seperti ini.

"Kalau nggak suka, lo boleh jajan yang lain. Gue tunggu disini."

Emi tersenyum dan pergi keluar. Aku tak mempedulikan itu, langsung saja aku makan makanan yang ada. Ternyata aku habis nasi kucing 7 bungkus dengan kepala ayam 2 biji. Cukup lah untuk mengganjal perutku ini. Kurogoh uang tigapuluh ribu sisa kemarin beli oplosan. Untung biaya bengkel dan makan di bayari sama Emi.

"Pak, kenal sama yang namanya Mbok Pun ? Itu dukun yang bisa pijit alternatif." Tanyaku pada pak pemilik angkringan sambil menyodorkan uang duapuluh ribuan.

Terlihat Bapak itu sedang berfikir. "Kenal mas. Tapi kalau dari sini rumahnya masih jauh. Sekitar setengah jam baru sampai. Itu pun paling juga sudah tutup mas." Jelas Bapak itu. Lalu bapak itu memberikan uang pengembalianku.

Waahh harus bermalam dong. Nggak mungkin lah kalau gue sewa kamar. Uang aja nggak punya. Bayar pakai apa? Batinku dalam hati.

Aku keluar dari angkringan menuju tempat duduk panjang di pinggir lapangan yang terbuat dari semen. Aku sandarkan tubuhku disana. Tak begitu lama Emi datang duduk disampingku.

"Gimana Bang, udah ketemu rumahnya?"

"Udah. Besok pagi aja ya Em. Malam ini kita bermalam disini aja. Ayok gue cariin penginapan."

Emi pun mengikuti jalanku. Cukup lama mencari penginapan. Karena sudah malam, jadi banyak penginapan yang sudah tutup.

"Buk, masih ada kamar buat nginep semalam nggak ya?" Tanyaku pada seorang ibu-ibu yang masih duduk di teras rumah.

"Oh ada mas, tapi tinggal satu kamar."

"Yaudah nggak papa buk." Jawabku. Kulihat Emi tersenyum. "Sana masuk Em. Besok pagi gue jemput di depan ya."

Aku kembali melajukan motorku ke lapangan tadi. Aku rebahkan tubuhku dikursi yang terbuat dari semen itu. Kupejamkan mata dan aku pun mulai terlelap.

"Erik." Bisikku lirih. Aku melihatnya didepan mataku. Dengan wajahnya yang pucat,sungguh sangat pucat.

"Bawa aku pulang. Bawa aku pulang."

Suaranya sangat berat, serak. Membuat pori-pori tubuhku berdiri semua. Aku tak mampu berkata-kata. Suaraku seperti hilang. Seketika seluruh tubuhku membeku. Tak dapat kugerakkan sama sekali. Aku hanya bisa terdiam dalam ketakutanku. Hingga bayangan Erik itu hilang. Entah kemana. Baru aku bisa bergerak. Aku bangun dan duduk sambil mengelap keringat di dahiku. Detak jantungku masih terdengar sangat cepat. Nafasku ngosngosan. Aku rogoh gawaiku disaku jaket. Masih jam 2 dini hari. Aku kembali rebahkan tubuhku. Tidak lagi bisa tidur. Hanya ketap ketip memandangi langit yang gelap dipenuhi bintang, tidak ada bulan disana. Aku kepikiran kata-kata Erik yang selalu menyuruhku membawa pulang dirinya. Apa maksudnya?

Tak terasa pagi pun tiba. Aku menyalakan motorku untuk menjemput Emi. Sesampainya dipenginapan aku melihat dia sudah berdiri didepan rumah penginapan itu.

"Ayo pulang." Kataku.

"Haa?! Pulang?" Tanya Emi memastikan. Dia terlihat sangat kaget dengan perkataanku.

"Jangan lo gugurin kandungan itu. Gue akan nikahin elo." Jawabku dengan mantap.

Aku fikir Erik menyuruhku menyimpan anaknya. Makanya dia selalu menemuiku untuk membawanya pulang.

Bersambung....


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C1
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login