Download App

Chapter 382: Berhasil

Ara belum menghubungi kedua orang tuanya. Dia masih bingung apakah harus memberitahu sekarang atau melihat kondisi Jay terlebih dahulu. Dibanding menelpon orang tuanya Ara meminta bantuan pada Riko. Jelas sudah Riko mengerti kenapa Kenan menghubunginya tadi. Mereka berdua datang secara bersamaan. Riko datang bersama Rey anaknya. Dariel berjalan lebih dulu untuk melihat keadaan di dalam rumah. Salah satu orang kepercayaan Kenan yaitu pak Diman tampak berdiri di dekat tembok pembatas antara ruang tamu dan ruang keluarga. Ara mendorong Stollernya dengan perlahan.

"Jay nya dimana pak?"

"Masih didapur non.."

"Biar aku liat dulu, Abang disini aja."

"Uncle temenin." Riko mengikuti sementara Rey dan Dariel duduk di ruang keluarga menunggu ketiga anaknya. Mata Ara kaget saat melihat lantai rumahnya yang biasa bersih kini ada terdapat noda-noda darah begitupun Riko yang gak mengerti dengan apa yang terjadi. Kini Ara dapat melihat adiknya Jay sedang menggulung-gulung kain putih ditangannya dengan santai. Dia duduk menyilang dengan bertelanjang dada sementara kaos yang dia kenakan kini tergeletak dibawah lantai dimana ada warna merah di beberapa bagian. Berbagai jenis pisau dapur berada juga tak jauh dari kaki Jay.

"Jay..." Panggil Ara. Jay kini menatapnya begitupun Riko. Dapat Ara lihat mata lelahnya. Ara mulai berjongkok didepan Jay. Kini dapat dia lihat warna merah itu dengan jelas.

"Kamu kenapa?.." Tanya Ara lembut.

"Pisau itu ganggu aku kak. Pisau itu ada dipikiran aku setiap hari."

"Pisau itu benda mati Jay. dia ga akan ngejar-ngejar kamu."

"Aku cape buat ngehindar setiap kali liat itu."

"Oke tapi ga gini caranya Jay. Jangan sendiri Jay..."

"Harus gini. Sekarang liat kak. Aku udah udah berani.." Jay menarik salah satu pisau yang tergeletak disana.

"Woo....pelan Jay itu bukan mainan." Ara menghindar takut-takut pisau itu malah melukai dirinya.

"Coba uncle liat.." Riko menarik tangan Jay.

"Jangan uncle.." Jay menolak.

"Kita harus liat supaya tahu kamu lukanya gimana. Ini Darah aja sampe segini ya Jay." Ara memaksa.

"Jangan Kak..."

"Sini liat." Ara penasaran. Dia ingin tahu seberapa parah luka yang dialami Jay. Dia menarik tangan Jay yang diperban. Melepaskannya setiap gulungan yang semakin tipis semakin terlihat darah itu bahkan aromanya kini tercium.

"Ya ampun Jay....ini harus ke dokter ga boleh dibiarin..." Ara melihat luka menganga di telapak tangan Jay yang bergaris dari ujung keujung. Belum lagi dibalik itupun ada luka-luka sayatan.

"Udah-udah, tutup lagi Ra supaya pendarahannya berhenti. Jay ikut uncle ke rumah sakit ya."

"Aku ga papa.."

"Jay, ga papa gimana?kamu perlu dijait itu. Ya Allah Jay kalo mommy tahu gimana?" Ara gemas dengan penolakan Jay.

"Udah berdiri, ambil baju lain kita kerumah sakit." Riko membantu Jay. Dia yakin keponakannya itu pasti lemas. Diakan sudah mengeluarkan banyak darah. Riko mengantar Jay ke kamarnya sementara Ara mencoba menghubungi ayahnya namun belum ada jawaban disana begitupun ketika dia menghubungi Jesica. Mereka berdua tak mengangkat teleponnya.

****

Ara benar. Jay kini menerima jahitan di tangannya. Luka yang bergaris panjang dan besar itu. Sambil menunggu selesai dia memalingkan wajahnya ke arah lain. Pikirannya mengawang-awang kemana saja. Dalam hatinya dia senang akhirnya dia berhasil menaklukan pisau itu tapi dilain hatinya juga dia sedih. Entah sudah berapa kali rasanya dia bermimpi Tiara meninggalkan dirinya bahkan di mimpi terakhirnya dia melihat Tiara menikah dengan orang lain. Seorang pria yang tak bisa Jay ingat wajahnya. Mimpi-mimpi itulah yang akhirnya memotivasi Jay untuk melakukan hal gila tadi malam. Dia harus melakukannya dan menunjukkan pada Tiara kalo dia bisa dan berubah. Tapi kalaupun itu sampai terjadi Jay tak tahu bagaimana perasaannya. Apakah mencoba menerimanya atau dia marah?atau mungkin dia tak mau melihat Tiara lagi. Jay bernafas kecil. Rasa sakit di tangannya mendadak hilang tak berasa padahal Ara yang melihatnya saja tadi tak tega dan menatap penuh kengerian. Oh iya ngomong-ngomong Jay belum melihat handphonenya sejak tadi. Ah... jangan-jangan ketinggalan juga dirumah. Kini dia melihat lukanya. Dia ingin segera selesai dan pulang.

"Duh... ada-ada deh Jay..." Ara berjalan bulak balik mencoba terus menghubungi orang tuanya.

"Yang kaya gitu jangan dimarahin yang, kasih arahan, kasih pengertian." Dariel sambil menggendong Ravin yang yang terbangun. Anak itu kini tengkurap di pundak ayahnya.

"Apa aku ga usah kasih tahu Daddy ya?mereka pasti panik."

"Kasih tahu aja tapi jelasin juga kondisi Jay sekarang."

"Kirain dia udah tenangan..."

- Halo kak..

Akhirnya suara ayahnya terdengar.

- Daddy, aku ga ganggu ga?

- Engga, kenapa sayang?

- Dad, hm..Jay. Jay main pisau tadi sampe dapur kacau balau.

- Hah?!!terus gimana anaknya sekarang?

- Dia udah dibawa ke rumah sakit sama uncle Riko, dia baik-baik aja kok.

- Apa yang luka?

- Telapak tangannya sobek, punggung tangannya ada sayatan gitu.

- Loh kenapa sih Jay?

- Ga tahu.

- Ya udah Daddy sama mommy pulang.

- Ga usah dad. Ga papa. Ada aku sama Dariel kok dirumah.

- Mommy kalo denger ini pasti pingin pulang kak.

- Ya udah gimana Daddy sama mommy aja.

- Ya udah, makasih sayang. Kakak hati-hati ya.

Kenan menutup panggilannya. Dia menghela nafas sudah pasti Jesica akan meminta pulang. Smenetara itu kini Jay dikamarnya sudah tertidur mungkin dia lelah dan baru saja tidur setelah adzan subuh berkumandang. Riko dan Rey pamit pulang sementara Ara kembali ke kamarnya melihat bayi-bayinya sedang tidur ditempat tidurnya bersama Dariel. Dia sampe lupa jika ketiga anaknya terkadang suka bangun dimalam hari untumg saja Dariel pengertian. Ara kini terduduk di sofanya. Ah...dibenar-benar lemas dan lelah. Dia memanjangkan kakinya lalu membiarkan kepala ada di bahu kursi. Ini saatnya mata terpejam. Ara benar-benar butuh tidur.

****

Dariel membantu bi Rini membersihkan dapur yang masih dikotori oleh bekas darah. Beberapa bagian bahkan sudah mengering. Ini sudah pukul 10 namun kakak beradik itu belum bangun. Jam 6 tadi Dariel baru menyadari jika Ara tertidur di sofa sehingga dia menggendongnya untuk melanjutkan tidur di kasurnya sementara dia mandi dan menjaga triplets. Jay sejak tadi juga belum keluar namun Dariel sudah mengeceknya ke kamar. Tak ada yang fatal seperti semalam. Dia sedang berbaring dengan nyaman dengan tangan yang masih diperban. Semalam Jay benar-benar membuat keributan. Selesai membantu bi Rini dia naik ke kamarnya dan melihat Davin sedang bergerak-gerak tak nyaman namun Ara terlelap.

"Uh...kasian...anak papi..." Dariel menggendong anaknya. Ternyata Davin mengompol. Dia pun segera mengganti celananya. Suara dering Handphonenya menganggu membuat Dariel segera mengangkatnya.

- Halo...

Dariel berbicara dengan kedua tangan membuka celan Davin sementara Handphonenya dia jepit dengan pundak.

- Halo...

Dariel mengulangi tapi tak ada jawaban. Dia segera menarik teleponnya. Disana ada tulisan Nayla.

- Nay?halo...

Suara Dariel kini dijawab sambungan terputus.

"Apa sih Nayla ga jelas." Dariel menggerutu sendiri dan kembali fokus pada anaknya.

****To Be Continue


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C382
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login