Download App

Chapter 2: Her Fort

Seolah tiada pedulikan dirinya yang mulai basah perlahan. Jelas ia berjalan di bawah langit yang tengah muntahkan ribuan kubik rintik air hujan. Tak sederas air bah, namun bila berjalan santai pasti akan kuyup juga.

Terobos hujan dengan langkah santai, berjalan sembari menenteng thai tea dalam cup dan menyesapnya disela dua langkah kaki jenjang menyusuri sepanjang bahu jalan. Yang berpayung bersitatap sedetik saat berpapasan, tak acuh justru memajan wajah pongahnya tatkala beberapa orang lemparkan tatap aneh. Semua tak ayal, sebab dia sendirilah gadis gila yang berjalan di bawah hujan tanpa payung.

***

Sejenak ruangan besar itu lengang, deru mesin pendingin ruangan terdengar samar dengan hening berkelindan di udara sejuk langit-langit. Tak ubahnya macam suasana yang senyap digerus kegugupan berpat-gulipat. Terdengar satu-dua hela rendah, sebab pria berjas itu tak hentinya mengedarkan pandangan. Tatap legat menikam raga itu amati satu persatu orang yang duduk memenuhi setiap kursi dalam satu meja besar, alih-alih mengintimidasi.

"Lima belas bulan mendatang bukanlah waktu yang lama, pun tak dapat disepelekan begitu saja. Tergantung pada kita yang menjalani. Persiapan seharusnya telah lebih matang, ditingkahi kinerja dinamis serta stabilitas konsisten. Aktivitas padat! Telah saya serukan berulang kali selepas Vociverouf menandatangani kontrak kerja sama. Jauh-jauh hari saya ingatkan akan jangka waktu, jadwal deadline telah ditentukan dan mereka tegaskan tak suka dengan kemangkiran perusahaan yang jauh dari kata kompeten. Lalu begitu, kita tunjukkan superioritas yang kita miliki. Dan itu seharusnya!"

Mengedarkan pandangan sekadarnya, "Saya benci katakan ini, namun Vociverouf menilai kinerja kita lambat tiga bulan terakhir. Ini bukan pertama kalinya kita menangani perusahaan kakap, semua puas hasilnya. Saya malu mendengar pertama kalinya ada perusahaan kelas kakap laporkan hal macam itu. Memalukan! Saya tak ingin kehilangan mereka. Adakah di antara kalian yang anggap mudah untuk jerat Veciverouf agar bekerja sama dengan kita?"

Punggungnya tersandar penuh pada sandaran kursi empuknya, satu tangan memegang map. Sekali lagi edarkan pandang sebelum berkutat pada kertas-kertas rumit dalam map. Hening. Sembilan orang dalam ruangan (tidak termasuk si pria berjas), semuanya bungkam tak satu pun berani ucap barangkali hanya sepatah kata.

Beberapa di antaranya menunduk, saling lirik skeptis, dan ada pula yang hanya malas memutar pena di tangan. Si pria berjas teliti merunut isi laporan dengan ujung jari, mata sipit itu bergerak pelan seirama dengan bibir tipisnya. Alisnya mengerut samar.

Kasar menutup laporan dalam map. Sekeras debam map, ia mendorong laporan itu sampai persis di dekat orang yang dituju. Seketika mampu membuat semua orang lontarkan curi pandang mereka takut-takut.

"Saya ingin laporan lebih rinci, spesifikasi jelas tak bertele. Tampak sekali lihat dengan ujung hidung, anak kuliah magang pun dapat membuat seribu laporan kacau macam itu. Besok pagi, di ruangan saya, laporan itu harus telah siap. Berapa ratuskali kau buat laporan? Ini yang terburuk."

Pria yang dimaksud--yang duduk di kursi ketiga sisi kanan--mengangguk takzim. Apalah yang dinilai buruk oleh atasannya dan apalagi yang harus dirinci lebih spesifik. Haruskah menghitung jumlah derap langkah kali para tukang bangunan setiap menitnya, deras air yang mengalir ketika mencampurkan semen dan pasir dalam penampungan truk molen. Agar lebih rinci, begitu.

Atau tambahkan spesifikasi ukuran beton yang disusun sesuai waktu peletakkannya di lapangan, barangkali butuh juga cantumkan berapa kecepatan paku bumi menghentak tanah. Pikir karyawannya. Tahulah semua bahwa atasannya sedang marah hingga yang tampak ternilai mutlak salah.

Pria berjas memijat pangkal hidungnya, alihkan pandangan pada wanita paruh baya persis di sisi kanan meja rapat. "Kemajuan terbaru?"

Wanita paruh baya mengangguk tegas, lantas mengetuk-ketuk layar tablet tipis yang dipegangnya. Tampak tengah mengobrak-abrik berkas dalam telegram-nya, mencari informasi terbarukan yang diterima melalui aplikasi.

"Sekitar lima menit lalu, kepala buruh kerja lapangan melapor telah kembali menggarap setelah sempat tertunda. Alat-alat besar yang dibutuhkan datang tepat waktu tadi pagi. Siang ini, Jun akan menengok langsung ke lapangan. Setidaknya memastikan bahwa....

Hilang sudah atensi tatkala ponselnya bergetar dalam saku. Teralih mengisap seluruh fokus telinga pada setiap lanjutan kata-kata wanita paruh baya yang menjabat sebagai supervisor. Ia mengangkat tangannya guna menghentikan si manajer yang berucap panjang lebar, membuat wanita itu terdiam, mengangguk, dan setengah rikuh.

Pria berjas itu melihat sederet nama yang tertera di layar potret ponsel tipisnya, lantas cepat melekatkan benda canggih itu ke telinga.

Diseberang sana mendeham samar. "Yoon, sudah selesai rapat?"

Hanya itu yang diucapkan. Ciri khas. Singkat. Suara merdu yang entah miliki pengaruh magis bila selepas didengar, terlalu manis rasanya, membuat daksa berfiksasi sekalipun nada itu setak acuh biasa. Gadis di seberang sana telah menutup panggilan telepon limabelas detik lalu.

Menurunkan ponsel, berdiri dari duduknya sembari sedikit melicinkan jas, kursi yang disinggahinya barusan tergelincir mundur sepelemparan batu. Gerak impulsifnya membuat serata manusia dalam ruangan menjadikannya pusat pandangan bingung.

"Rapat hari ini selesai." Ucapnya mengakhiri. "Sisanya akan dibahas hari lain. Usahakan pula untuk diskusi bersama dengan masing anggota divisi yang kalian pegang. Terima kasih."

Ia cepat melangkah keluar dari ruang rapat. Sementara itu, karyawannya hanya termangu, menghujani punggung tegap atasannya sebelum benar-benar menghilang di balik pintu dengan tatapan jengkel yang kentara. Setelahnya, hanya mampu membereskan kertas-kertas yang telah dipersiapkan, tak lupa menahan kesal masing-masing tanpa terniat.

Bagaimana tidak? Atasannya itu meminta seluruh berkas menyangkut kerja sama dengan Vociverouf diselesaikan kilat guna rapat membahas inspeksi ulang keseluruhan pada hari ini. Sebab perusahaan kakap itu mengajukan banyak keluhan, padahal masih terhitung bulan bulan awal kerja sama mereka.

Namun kini, atasannya itu menyudahi rapat dengan sepihak. Bahkan belum setengah jam rapat dimulai, baru beberapa gelintir persoalan yang dibahas. Sisanya--dibiarkan tak tersentuh. Tak tahu saja setiap orang karyawannya rela lembur demi selesaikan berkas yang diminta.

***

Diluar masih hujan, rintik riuh membukus dan belum hentinya membasuh kota Seoul sejak satu setengah jam lalu. Titik-titik air melekat di balik kaca besar, diluar tampak virtual indah. Menyenangkan saja bila terus dipandangi. Belum pernah dirinya lihat langsung hiruk-pikuk dunia dari tempat setinggi ini, tiada lelah bibirnya terus bisikkan lafal syukur akan keindahan luarbiasa lukisan Tuhan kendati sederhana. Hanya sebentang kenampakan dari eksistensi gedung-gedung pencakar langit.

Ia tersenyum kecil, melihat langsung kendaraan sebanyak itu dan bawah, sangatlah jauh beda bila menatap semuanya dari atas. Semua yang terlihat laiknya semut-semut kecil. Tak tampak sedikitpun para pejalan kaki dan turis yang acapkali akan menjumpai mereka di sepanjang bahu jalan.

"Kau kehujanan?"

Terkesiap. Ia setengah berbalik, Yoon melangkah ke meja kerjanya dengan tangan kiri menggenggam erat ponsel. Sekedipan mata saling bertumbuk pandang, secepat itu pula ia alihkan atensinya kembali menatap ke luar jendela. Rupanya ia tak dapat setak-acuh itu pada Yoon berjas biru pekat itu.

"Kantormu. Ini sungguh lantai enam puluh?"

Disana, Yoon mendongak sembari tangan sibuk menata cekatan kertas-kertas dan menumpuknya asal ke sudut meja. "Kausuka pemandangannya?"

Sedetik. Dua detik. Untuk perihal apa pula dihitung si Yoon? Gadis itu memanglah tak berniat menjawab pertanyaan pria sipit itu. Bungkam, terus menerawang keluar jendela. Namun tak kuasa, si gadis akhirnya menoleh canggung, melipat bibirnya sesaat dan tersenyum samar. Yoon melihatnya lantas hanya membeku.

Perlahan dirasai si gadis, rasa dingin menyergap kulitnya semakin menggila. Sedari tadi tak dihiraukan, namun baru disadari bahwa rasa dingin itu semakin mengusik ketenangannya. Bajunya basah dengan rambut sama rupa, bodoh anggap sepele hujan tak akan turun.

Yoon berjalan menuju lemari kecil setinggi pinggang di dekat mejanya. Tampak sibuk mencari sesuatu di dalam sana. "Kau kesini tak bersama supir?"

Ia kembali memfokuskan pandangannya pada Yoon. "Taksi yang kutumpangi, supirmu sedang tidur."

"Dan tak kau bangunkan?" kepala Yoon menyembul di balik pintu lemari kecil. Alis kapak itu terangkat samar, tersirat nada tak percaya tatkala Yoon lontarkan pertanyaan sederhana itu.

"Untuk apa?" Ichi taktis gelengkan kepala. "Kau tahu manusia butuh istirahat."

Wajah innocent Ichi sempurna buat Yoon ingin menggahar gadis itu tanpa ampun. Sembari menutup lemari kecil dan menghampiri Ichi yang kini tengah sibuk menggosok kedua belah telapak tangan, Yoon tiada henti layangkan sorot selingar, coba cari sisi pemahaman melalui perspektif gadis itu. Sayangnya nihil. Entah Ichi yang terlalu rumit, atau memang ia yang sulit selami cara pandang gadis itu hingga untuk tahu maksudnya saja ia harus berpikir ekstra keras. Jelas ada banyak persimpangan yang harus dilalui untuk dapat capai Ichi sepenuhnya. Gadis itu tak sesederhana visualnya.

Sodorkan handuk bersih, Ichi menoleh sejenak sebelum tangannya mengambil tawaran handuk dari Yoon. Sedang Yoon hanya bungkam saja menatap gadis itu yang tengah sibuk keringkan rambut panjangnya.

"Kau naik taksi dan kehujanan, itu tak masuk akal."

Ichi lirik sesaat, wajahnya tampak sengaja dibuat menyebalkan. "Aku turun di lampu merah, Yoon." sahutnya seakan-akan terlihat sesabar itu menahan kesal.

Jangan salahkan Yoon kalau tak coba pagankan hati demi intensitas pengorbanannya untuk pahami pemikiran Ichi yang semenakjubkan pulau Jeju. Ia bersih tiada ingin tutupi keterkejutan pada ekspresi wajahnya. Ichi sungguh habiskan sebentuk kecil kesabaran yang seharusnya memang biasa tak dipelihara diri Yoon. Ia bukan pria yang miliki sejuta manis ucap dan semiliar kelembutan untuk hadapi manusia lain. Maka beruntunglah siapapun yang dapat lihat langsung Yoon tak sentimen, mengingat tingkat emosional Yoon terletak di atas rata-rata super-tempramen.

"Kebodohan membuat dirimu terjebak masalah." cela Yoon apatis.

Ichi mendengus, tangannya yang sibuk kini terhenti. Alihkan atensinya pada Yoon dengan dua alis terangkat absolut. "Yoon, hujan tak punyai salah jika itu yang kau anggap sebuah masalah."

Yoon menyerah. Bersama dengan hela napas tak kentara, dilihat dari ekor matanya Ichi tersenyum dibalik tangan terangkat sibuk keringkan rambut yang menjuntai. Gadis itu tampak jelas sembunyikan wajah dari Yoon di sampingnya. Ia tak tahu, namun ini perasaannya saja, Ichi seperti sengaja buat dirinya kesal. Diluar itu, ia memang enggan coba katakan apapun lagi bila tak ingin membuat percakapan berakhir petang nanti. Daripada emosi pun ikut terbawa, Yoon pilih tutup rapat dua labiumnya tanpa celah.

Kini ia mulai sedikit mengerti, Ichi adalah gadis dengan otak dan mulut yang miliki fleksibilitas tinggi, dapat ikuti segala macam topik yang dilontarkan padanya. Reliabilitas yang terasah autodidak itu selalu dimanfaatkannya untuk menyanggah setiap ucapan orang lain bila dirasa membuat gadis itu tergelitik. Tak peduli sesulit apapun, Ichi pasti akan terus menyerang. Yoon pikir, Ichi mungkin gadis yang tak suka dipojokkan.

"Jadi pukul berapa pengantar itu tiba?"

Yoon melirik jam dipergelangan tangannya, "Mungkin sebentar lagi."

Mengangguk. Handuknya telah disampirkan di kedua bahu, bagai jaket yang membuat tubuhnya lebih hangat. Ia tatap lurus, tak hiraukan presensi Yoon di sebelahnya. Wajah Ichi sengaja dibuat setenang mungkin, sedang tangannya justru mengepal kuat di depan perut guna salurkan segala macam yang dirasakan. Sungguh pun ingin dua langkah menjauh, sebab Yoon terlalu dekat hingga bahu mereka saling bersinggungan. Namun bila diwujudkannya, Ichi tahu persis bagaimana ekspresi pria pucat di sebelahnya ini nanti.

Hening. Senyap. Hanya ada suara deru mesin pendingin. Beberapa menit dilalui. Detik pastilah terus berjalan. Kecanggungan tiada tara selimuti dua manusia egois dalam ruangan besar ini, tak ubahnya macam patung yang keduanya sama-sama menatap kosong keluar jendela kaca. Tenggelam dalam pikiran benak masing-masing yang tersusun tanpa dasar. Ichi menunduk, merekat jarinya. Berpikir panjang sebelum akhirnya menoleh ke arah Yoon.

"Mengapa kau menikahiku?"

Yoon menoleh dengan eksistensi kerumitan alis yang tak sanggup ditutupnya. Sangat tak mengerti maksud pertanyaan itu. Ichi hanya diam menatap lekat, menunggu jawabnya. Yoon tak ucapkan apapun. Tak ada yang harus dijelaskannya tentang hal rumit dari pernikahan mereka.

"Kita sama sekali tak saling kenal."

Ichi kembali menuntut kejelasan, Yoon sempurna paham posisi Ichi yang tentu akan merasa semua ini tak masuk akal.

Ichi tertawa sarkastis. "Kau bodoh, Yoon. Jelas kau bodoh. Pernikahan ini konyol."

Yoon bergeming. Matanya menyipit lurus pada Ichi. Berusaha menembus dua obsidian gadis itu. Setidaknya ia ingin tengok sedikit rupa hati gadis manis yang tampaknya miliki mati rasa dari kebekuan hati.

"Harusnya kau tak jebak dirimu bersama seorang manusia tanpa perasaan sepertiku. Mustahil rasa cinta timbul dengan mudahnya pada kita."

"Kau bicara apa?" Yoon putuskan ingin turut berintervensi atas percakapan yang mulai menyimpang ini.

"Yoon, kau tahu bahwa segalanya tak akan mudah. Sebaiknya, kita jalani hidup masing-masing tanpa ada apapun. Aku berbeda. Kau tak akan temukan rasa sempurna dan kepuasan bersamaku. Aku saja tak dapat cintai diriku sendiri, jadi mustahil dapat cintai orang lain. Diriku terlalu kelam untukmu."

Yoon memutar tubuhnya menghadap Ichi, kernyitan alisnya semakin terpajan mengenaskan di wajah pucatnya. Kepalanya meneleng sesenti, berusaha mencerna setiap kata yang diucap Ichi sebaik mungkin. Entah kata-kata sederhana itu justru terdengar sangat kompleks bagi Yoon sekarang.

"Lebih baik, mulai sekarang kita saling kosongkan segalanya sebelum semua benar-benar terlambat." Ichi menatap lekat, lolos satu hela tertahan. "Sedangkan kau punya apapun, kurasa kau dapat membeli kebahagiaan dengan mudah. Jadi, aku akan bebaskan untuk kau cari kesenanganmu diluar sana."[]


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login