Download App

Chapter 87: Bab 87

"Hai, Angel. Seharusnya kau tak perlu repot-repot datang ke mari. Aku bisa menjemputmu tadi." Erick menyambut kedatangan Soully saat ia sudah gelisah menunggu kehadiran perempuan itu di bangku taman rumah sakit.

Soully membalas dengan memeluk Erick saat lelaki itu merentangkan kedua tangannya dengan bermaksud ingin merengkuh tubuh mungil yang dicemaskannya dari tadi. Untuk sekedar melepaskan kelegaannya karena akhirnya perempuan yang ia rawat selama tiga tahun itu tepat berada di hadapannya bahkan dengan senang hati membalas pelukannya.

"Kakak sudah lama menungguku? Ini tepat pukul tujuh, bukan? Pas sekali dengan waktu yang Kakak tentukan tadi." Soully terkekeh melepas pelukan sapaannya.

"Kenapa kau memaksakan diri ke sini sendirian? Aku bisa menjemputmu tadi," sergah Erick, merasa kesal sekaligus khawatir. Ia mengajak Soully untuk duduk.

"Kenapa Kakak seperti kesal begitu? Lagi pula kan Kakak yang bilang tadi, kalau kita bertemu pukul tujuh saja, karena Kakak masih sibuk," sanggah Soully sudah mendudukan tubuhnya di bangku taman berdampingan dengan Erick.

"Iya, itu tadi. Tapi ternyata pekerjaanku sudah selesai lebih awal.(Karena aku mempercepat pekerjaanku supaya bisa bertemu denganmu segera)..." ucap Erick.

"Maaf." Soully menghardikkan bahunya menyesal dengan memasang senyuman terbaiknya. Erick menjadi salah tingkah. Kelakuan Soully selalu berhasil membuat hatinya luluh.

"Aku yang seharusnya minta maaf," tukas Erick. "Oh ya, ada perlu apa kau ingin bertemu denganku? Apa kau merindukanku sekarang?" goda Erick.

Soully mengerlingkan bola matanya. "Menyebalkan. Aku hanya ingin membawa barang-barangku."

"Membawa barang-barangmu?" beo Erick. "Apa...kau berencana tinggal bersama Yafizan? Apa dia sekarang mengakuimu?"

Soully terdiam, tak mungkin jika ia bilang kalau suaminya mengusirnya lagi. Lebih tepatnya Tamara yang mengusirnya tapi suaminya tak menahannya. Soully tak ingin merepotkan Erick lagi, apalagi jika ia tahu Yafizan tak mengingat dirinya bahkan sedikitpun. Mungkin seperti itu...

"Angel?" Lamunan Soully buyar ketika telapak tangan Erick memurus bahunya.

"Eh? Ya, aku akan tinggal bersama suamiku lagi," bohong Soully.

"Sungguh?"

"Heem."

"Baiklah, tunggu di sini. Aku akan mengambil mobilku terlebih dahulu. Jangan ke mana-mana, kau mengerti?" Erick memerintah seperti ibu yang mengingatkan anaknya supaya patuh.

"Iya..." Soully tersenyum melihat tingkah Erick yang bayangannya semakin lama menjauhinya.

***

Sudah hampir jam sembilan malam. Dirinya terus mengurung diri dalam kamarnya. Kondisi isi kamarnya masih sama. Bahkan tak ada penerangan dalam kamarnya. Hanya cahaya dari rembulan serta lampu-lampu luar malam yang menembus kaca jendela yang terlihat remang dalam kamarnya. Pun, dengan pakaian santai yang ia kenakan setelah pembersihan diri tadi siang. Sejak Tamara dan Rona meninggalkannya siang tadi, ia hanya tetap duduk terdiam di tempat tidurnya. Sesekali ia merebahkan dirinya dengan memeluk kedua lututnya bak janin dalam kandungan. Tangannya mengusap-usap ruang kosong sisi tempat tidurnya. Tempat di mana Soully menemani tidurnya semalam.

Yafizan tak mengerti, dia memang tak mengingat sosok perempuan yang menemaninya kemarin. Namun, ada rasa possesif yang berlebihan ketika Soully hendak meninggalkannya tadi. Mengapa dengan begitu egois ia melarang Soully untuk tidak pergi meninggalkan kamarnya. Bahkan, mengancamnya?

Dan sekarang, mengapa dirinya merasa sangat kehilangan. Jauh lebih sakit menekan ulu hatinya dibandingkan saat Tamara meninggalkannya. Ia mengusap air yang mengalir di kedua sudut matanya. Entah mengapa, air matanya mengalir tanpa permisi begitu saja.

Mengapa ia tak bisa melawan ketika Tamara mengusir pergi perempuan mungil itu? Apa karena ia merasa Tamara adalah istrinya sehingga ia lebih berhak atas apa yang terjadi pada dirinya, karena ia seolah menjadi suami yang sudah mengkhianati istrinya dengan menjalin cinta satu malam bersama wanita lain, ataukah memang ia yang lemah karena dirinya sendiri pun tak bisa mengingat apa yang telah terjadi?

Tok tok tok

Untuk ke sekian kalinya, Rona mengetuk pintu kamar bosnya itu. Namun, jawabannya tetap sama. Tak ada jawaban dari dalam kamar bosnya.

Bahkan, kerap kali Tamara menggedor pintu kamar Yafizan dengan nada tak sabar sehingga Rona menarik paksa Tamara dengan kekeraskepalaannya.

***

"Terima kasih, Kak Erick. Aku selalu merepotkanmu," tutur Soully ketika mobil Erick sudah berada tepat di depan apartement yang Yafizan tempati.

Soully turun dari dalam mobil Erick dengan Erick membantu menurunkan koper besar milik Soully dalam bagasi mobilnya.

"Terima kasih." sekali lagi, Soully mengucapkan rasa syukurnya itu.

"Tak perlu sungkan padaku, Angel." Erick merengkuh tubuh perempuan yang ia sayangi itu. Rasanya ia enggan melepas kepergian Soully begitu saja. "Masuklah," perintahnya. "Jaga dirimu baik-baik. Jika suamimu yang possesif itu menyakitimu, maka jangan segan-segan kau menghubungiku. Dengan begitu, akan kupastikan suamimu itu takkan bisa bersamamu lagi!" tegasnya membuat Soully tersenyum yang seolah dipaksakan.

"Bagaimana bisa ia menyakitiku, bahkan mengingatku saja ia tak bisa," bathin Soully.

"Apa perlu aku mengantarmu ke dalam?" tawar Erick.

Soully menggelengkan kepalanya. "Tak perlu, biar aku saja."

"Baiklah, sebaiknya aku saja yang pergi terlebih dahulu supaya kau yang merasakan kehilanganku," canda Erick melepas pelukan sejangkauan tangannya. Walaupun sebenarnya hatinya terluka. "Aku pergi, jaga dirimu baik-baik." tangannya mengelus-elus rambut kepala Soully lalu melepaskan pelukannya.

Erick melambaikan tangan dalam mobilnya. Segera, ia pun berlalu meninggalkan Soully sendiri, sampai bayangan perempuan itu benar-benar tak terlihat dalam pantulan kaca spion mobilnya. Erick menekuk wajahnya, tatapan mata binar itu menjadi sendu. Hilang sudah wajah cerianya digantikan dengan wajah masam karena menahan kesedihan.

Mata binar itu sedikit berkabut, ketika ia mengingat dengan jelas jika perbuatannya dan Yafizan mengakibatkan dua orang perempuan itu meninggal. Jika saja ia bisa menahan egonya, mungkin ia takkan menanggung rasa bersalah seperti ini. Ia takkan kehilangan Mayra dan gadis kecil yang baru dikenalnya tapi membuat hari-harinya bahagia bahkan rela melindungi dirinya.

***

Seorang pria duduk di bebatuan pinggir danau sambil sesekali tangannya melempar batu kerikil ke dalam air. Sudah tak terhitung berapa banyak batu kerikil yang ia lempar tadi. Hingga suara seseorang menghentikan lemparannya untuk yang ke sekian kalinya.

"Ikan-ikan dalam danau itu enggan muncul ke permukaan kalau kau terus saja menakuti mereka dengan lemparan batu kerikilmu itu." seseorang sudah ikut terduduk di samping Erick yang sudah nyaman akan posisinya. "Hhh...kenapa pria tampan seperti kalian senang sekali ke tempat ini?" desahnya perlahan sambil menikmati pemandangan langit senja di ujung danau nan jauh dari pandangannya.

"Malika?" tanya Erick setelah ia yakin jika gadis rambut panjang yang diurai dengan riasan natural di wajahnya dan kini yang sudah duduk di sebelahnya itu adalah Malika.

"Kau fikir siapa? Kak Mayra?" Malika melengoskan wajahnya menatap Erick dengan tergelak.

"Ya...aku rasa ini memang dirimu," ledek Erick.

"Kau meledekku karena penampilanku?" Malika melotot kesal karena Erick tersenyum sarkasme. "Ya, ini aku. Kau pasti kaget kenapa malah aku yang datang ke sini dan bukan Kak Mayra?" tukasnya dan Erick hanya mengangguk pelan.

"Apa dia yang mengirimmu?" tanya Erick.

Malika menganggukkan kepalanya. "Maaf, dia harus menghadiri perjamuan makan malam bersama keluarga tunangannya." Ada sedikit rasa tak enak hati ketika Malika berucap.

"Huum. Aku sudah menduganya." Erick mendesah pelan lalu ia melemparkan kembali batu kerikil ke dalam air danau dengan sedikit keras. Kesal, mungkin itu yang saat ini pria itu tengah rasakan.

Malika menatap wajah sendu Erick. Kenapa hubungan mereka begitu rumit? Begitupun dengan dirinya. Bahkan, acara makan malam itu, tak ada satupun yang mengajak dirinya untuk ikut serta. Bukankah, para orang tua mejodohkan mereka? Lalu, kenapa calon mertuanya bahkan calon suamimya malah mengabaikan dirinya? Apakah kehadirannya sungguh tak terlihat?

Malika merasa senang ketika melihat Mayra datang menghampiri di kamarnya ketika ia sudah bersiap, berharap jika ada yang mengajaknya ke perjamuan makan malam itu dan dirinya sudah siap. Namun, bukan ajakan yang ia terima. Calon adik ipar yang umurnya lebih tua darinya itu malah memberikan perintah yang sebenarnya tak masuk di akal. Dalam hati, ingin sekali ia menolak. Urusan Mayra itu urusannya! Kenapa pula dirinya dilibatkan dalam cinta yang terlarang itu?

Dan, di sinilah ia berakhir sekarang. Duduk berdampingan di atas bebatuan besar dengan seorang pria yang sama-sama patah hati dengan dirinya. Ditemani langit senja serta suara binatang-binatang yang entah dari mana asal mereka.

"Kau...hendak pergi ke perjamuan?" Erick memulai pembicaraan, memecah suasana hening yang sebelumnya terbentang di antara mereka.

Malika menganggukkan kepalanya. "Aku fikir, aku akan berada di sana..." lirihnya pelan.

"Hei...kenapa kau menangis?" cemas Erick ketika mendapati Malika meneteskan air matanya.

Malika pun tak mengerti. Ia lalu mengusap kasar air matanya yang jatuh tanpa permisi itu. Apa hatinya begitu sakit, sehingga mata indahnya itu mewakili perasaannya yang sudah tak terbendung menahan gejolak penat dalam dadanya yang ia tahan selama beberapa bulan ini?

"Aku tak apa-apa..." Malika menatap Erick dengan senyum yang dipaksakan. Sambil tangannya berkali-kali mengusap air matanya yang terus mengalir bergantian melewati pipinya. "Hehe...kenapa air mata ini kurang ajar sekali."

Erick menatap Malika dengan tatapan sendu. Hatinya merasakan apa yang dirasakan Malika. Gadis mungil di sampingnya itu, cukup mewakili perasaannya saat ini. Tanpa bisa ditahan, entah apa yang dirasakan Erick, seketika ia mencodongkan tubuhnya, mendekat lalu merengkuh gadis yang ada disampingnya.

Malika sempat terkesiap akan sikap Erick padanya. Namun, pelukan hangat ini sungguh menenangkannya. Bukan artian dia merasakan kenyamanan pada pria lain. Tapi ia merasakan rasa aman dan nyaman dari seseorang yang mengertikan dirinya.

"Menangislah, jika kau ingin menangis," ucap mereka bersamaan. Mengundang gelak tawa yang memecah di antara mereka.

"Kau...sangat cantik hari ini," tutur Erick yang masih merengkuh tubuh Malika, mengusap punggungnya pelan seolah memberi kekuatan. "Miller sungguh bodoh jika ia tak bisa melihat betapa cantiknya calon istrinya ini."

Malika tersenyum, ingin rasanya ia dengar pujian itu dari pria yang menjadi calon suaminya, Miller. "Terima kasih. Iya, kak Miller sangat bodoh," kekehnya tegar. "Dan kak Mayra sangat beruntung mempunyai kekasih sepertimu." Rembesan air mata itu terus mengalir, namun setidaknya Malika cukup lega karena ada seseorang yang menemaninya di saat ia sedih.

Senja itu, mereka menghabiskan waktu berdua duduk di pinggir danau dengan melakukan hal-hal yang konyol. Suara ramai terjadi karena gelak tawa dan canda yang mereka lakukan setelah drama air mata mengalir tanpa permisi tadi.

Mereka baru bertemu dua kali. Tapi rasanya sudah seperti teman lama yang bertemu kembali.

Hingga hari menjelang petang, mereka menyelesaikan ritual pertemuan rahasia itu.

.

.

Erick tersenyum membalas lambaian tangan yang dilambaikan gadis itu padanya ketika gadis mungil itu pamit untuk pergi sendirian ketika Erick hendak mengantarnya pulang di setiap pertemuan rahasia mereka.

Dan, senyuman serta lambaian tangan itu, terakhir kali ia lihat sebelum pertikaian antara dirinya dan Yafizan terjadi.

Setelah berkali-kali ia menjadikan gadis itu sebagai pelindung dirinya dan Mayra ketika hendak berjumpa. Bahkan, di pinggir danau itu, Malika sudah memperingati Erick untuk segera mengambil keputusan sebelum Miller ataupun Yafizan bertindak padanya.

"Kakak, apapun yang terjadi nanti, aku akan selalu mendoakan yang terbaik untukmu. Semoga kau selalu berbahagia," ucapan Malika di setiap akhir perpisahan dengannya, selalu terngiang-ngiang dalam ingatan Erick. Senyuman ceria itu, lambaian tangan itu...

Senyuman Eick menyurut tatkala bayangan tubuh Malika sudah tak terlihat lagi. Wajah cantik serta kebaikan hatinya membuat Erick selalu merasa tak enak hati padanya.

***

Erick mengepalkan erat kedua tangannya pada kemudi mobilnya. Bayangan itu membuat cairan bening di kedua sudut matanya mengalir tanpa permisi. Bayangan yang kini selalu membuatnya teringat akan masa lalu yang sempat ia kubur lama.

Erick menepikan mobilnya di pinggir jalan raya yang sepi. Nafasnya seolah naik turun menahan isakan yang terjadi pada dirinya.

Gadis cantik itu, terkulai lemas tak bernyawa dipangkuan tunangannya. Mengorbankan dirinya ketika ia berusaha melindungi Mayra yang berakhir tragis di tangan kakaknya sendiri. Senyuman pucat itulah yang terakhir kali ia lihat. Tak ada lambaian tangan yang disertai senyum ceria dari wajah gadis cantik itu. Yang ia dengar hanyalah suara teriakan serta tangisan histeris dari kedua laki-laki yang sedang memeluk perempuan yang meninggal dalam pelukan mereka.

Maafkan aku...maafkan aku...Malika...


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C87
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login