Download App
3.57% Pendekar Lembah Damai / Chapter 4: Pembunuhan Pertama

Chapter 4: Pembunuhan Pertama

Setelah Suro menolak tawaran Yang Meng dengan halus, mereka berpisah. Suro dan keluarga pak Dawung mulai berkemas. Namun, mereka memutuskan untuk bersantai sejenak di sebuah kedai makanan sederhana yang tidak jauh dari pasar, bisa dikata, juga merupakan bagian dari lokasi pasar.

Segera setelah menghabiskan segelas teh melepaskan dahaga, dan mencicipi sepotong ubi, Suro meminta ijin kepada suami-isteri pak Dawung ingin berjalan-jalan sejenak berkeliling pasar.

Nampaknya, Suro sangat menikmati hari itu. Maklumlah, karena dalam kesehariannya, yang ia temui adalah hal-hal yang monoton. Anggaplah sebagai penghilang kejenuhan.

Ada sekitar waktu sepeminuman teh jarak Suro berjalan, tiba-tiba ia mendengar lapat-lapat satu suara seruan dibelakangnya. Ia pun menoleh.

Seorang lelaki yang sempat dilihatnya di kedai makanan, yakni salah satu pelayan yang bekerja di kedai itu berlari terengah-engah dan tampak panik sambil melambaikan tangan memintanya untuk berhenti.

Begitu sampai, Suro melihat wajah lelaki itu pucat, dadanya turun naik dengan nafas terengah-engah dan wajahnya nampak kebingungan. Dada Suro mendadak seperti tersentak, ada suatu berita buruk nampaknya yang akan ia terima.

"Ada apa, pak?" tanya Suro.

Lelaki itu belum bisa bicara, bibirnya bergetar dan gelagapan, lalu Suro memijat-mijat punggung lelaki itu sampai terlihat tenang.

"Dek!!!" katanya, namun raut wajah kepanikan masih meliputinya, sambil masih mengatur nafasnya, ia melanjutkan kalimat,"Orang....orang tuamu....dipukuli orang tidak dikenal di Kedai tadi!!"

Suro sontak terhenyak. Fikirannya sudah membayangkan hal yang macam-macam.

Ternyata benar firasatnya. Tanpa menunggu lelaki pelayan itu, ia langsung berbalik arah dan berlari sekuat tenaga ke arah kedai tempat mereka istirahat minum.

Tak butuh waktu lama, ia mendapati banyak orang berkerumun sedang menyaksikan suatu kejadian yang Suro sudah bisa menebak kejadian itu.

Ia langsung melompat tinggi lalu salto melenting berputar di atas kerumunan, kakinya menjejak ringan begitu mendarat tepat di hadapan dua sosok tubuh yang sudah tergeletak penuh luka dan darah dalam keadaan tak bernyawa.

Ia sempat menyangka kalau dia tengah bermimpi buruk. Jika benar, segeralah terbangun, apakah kejadian buruk menimpanya lagi? Tapi...

Ah, ini bukanlah mimpi!

Melihat kondisi tubuh keluarga barunya itu tewas dalam keadaan mengenaskan, darahnya langsung terasa mengalir lebih cepat dengan degup jantungnya yang kencang berdetak, raut mukanya sontak berubah merah menahan amarah yang luar biasa.

Dia sudah kehilangan gurunya, teman-temannya, kehidupan damai dipadepokannya, kini keluarga barunya juga direnggut secara paksa dari kehidupannya.

Sekelebat, matanya menangkap lima sosok tubuh agak jauh dari tempat ia berdiri sedang melarikan diri ke arah daratan menjauh dari pasar. Dan ia mengenali mereka. Merekalah yang tadi pagi bertarung dengan Tan Bu, yang akhirnya berhasil Suro usir. Rupanya mereka menyimpan dendam terhadap Suro, lalu melampiaskannya pada pak Dawung dan Istrinya yang tak mengerti bela diri.

Tanpa fikir panjang, remaja itupun lalu berlari mengejar buruannya dengan sangat cepat persis seperti seekor macan tutul yang mengejar kijang.

Sangat mudah dan tak butuh waktu lama, kelima pembunuh itu terkejar. Salah satu lelaki sangar buruannya yang paling belakang dapat ia jegal hingga jatuh terjerembab. Saking cepatnya berlari, hingga lelaki itu hilang keseimbangan dan jatuhnya pun menimpa keempat lelaki lainnya.

Kelima penjahat itu panik, hingga untuk bangun pun mereka mundur terseret-seret saking takutnya melihat Suro.

Suro memandang mereka dengan tatapan sangat marah. Raut mukanya merah, nafasnya memburu turun naik, seluruh tubuhnya terasa bergetar hebat tak tertahan.

Di raihnya sebilah golok yang terjatuh milik salah satu dari kelima penjahat itu. Lalu diarahkannya satu persatu mengancam mereka.

Sesaat ia tak bisa mengeluarkan kata-kata, seolah-olah kata-kata yang akan keluar itu tertahan dalam dadanya, menunggu sebuah ledakan dahsyat untuk dilontarkan.

"Kalian benar-benar biadab!!!" umpatnya."Jika hari ini terjadi pembunuhan, maka hari ini adalah hari pertama dalam hidupku aku membunuh manusia!!!"

Tanpa menunggu kalimat yang keluar dari mulut lima orang lelaki itu, Suro langsung mengayunkan golok ditangannya, dan disabetkannya satu persatu dengan sangat cepat ke arah mereka tanpa ampun.

Bunyi tebasan dan tusukan golok mengoyak daging terdengar beberapa kali tanpa ada perlawanan sama sekali. Bahkan, untuk bersuara pun, tak diberi kesempatan oleh Suro keluar dari mulut para pembunuh itu. Ia gelap mata.

Darah pun muncrat dan mengalir membasahi bumi, dibarengi suara teriakan kesakitan dari mulut mereka yang meregang nyawa disusul kematian mereka satu persatu dengan mengenaskan.

Tiba-tiba, Suro terhenyak, terkejut atas apa yang telah dilakukannya. Kelima orang lelaki yang membunuh pak Dawung dan Istrinya telah mati ditangannya.

"Astagfirullah...." ia berkata lirih, "Astagfirullah... Ya Allah, apa yang telah kulakukan...."

"Pembunuhan pertama" yang ia katakan akhirnya dilakukannya juga. Ia baru sadar karena kemarahan yang teramat sangat dan melewati batas telah membuatnya seperti kerasukan syetan.

Berkali-kali dipandangnya golok yang berlumuran darah digenggaman tangannya dengan tatapan tak percaya.

"Astagfirullah..." mulutnya tak berhenti mengucapkan kalimat itu. Tapi apa lacur, semua telah terjadi.

Teringat ia akan wejangan Ki Ronggo Bawu dimalam terakhir sebelum terjadinya peristiwa pembakaran Padepokan,"Tongkat pendek ini adalah simbol kita, melumpuhkan tapi tidak membunuh. Selain itu, dia membantu kita meniti jalan dalam gelap maupun ketika mengusir binatang buas...."

Ucapan itu begitu mengena dan begitu tajam menghujam batinnya. Pantas sajalah, Ki Ronggo Bawu, gurunya itu lebih senang menjauh dari kehidupan ramai, mengasingkan diri dari dunia persilatan, dan lebih mengandalkan sebuah rotan pendek sebagai senjata untuk membela diri.

Lututnya terasa lemas hingga ia jatuh tersimpuh di tanah, tak bisa ia menahan air mata penyesalan dan perasaan berdosa. "Ampuni aku ya Allah....ampuni aku....Astagfirullahal 'adzim..."

Inilah yang dirasakannya setelah menghabisi nyawa manusia meskipun ia punya alasan untuk membalas perbuatan mereka atas keluarga pak Dawung.

Sangat menyesal.... dan sungguh ia sangat menyesal. Ia berharap kalau peristiwa ini cuma mimpi buruk.

Tapi tidak! Suro, ini bukanlah mimpi buruk, tapi kenyataan yang buruk!

Remaja itu membanting golok ditangannya yang ia gunakan untuk menebas kelima orang lelaki itu dengan keras. Dia bangkit dari simpuhannya lalu berbalik perlahan dan berlari meninggalkan gelimpangan mayat para pembunuh pak Dawung dan Istrinya begitu saja.

***

Dibantu warga, Suro menaikkan mayat suami-istri itu ke dalam perahu yang cukup lapang. Remaja itu berniat untuk menguburkan mayat keduanya dikediaman mereka. Tak dinyana, sebelum dia mengayuh perahu menuju kediamannya menyusuri sungai, suara teriakan Tan Bu memanggil namanya yang membuatnya kembali menepi ke pinggir sungai.

"Suro!" katanya seraya mendekati badan perahu. Di belakangnya, Yang Meng, sang majikan rupanya juga ada.

"Suro!" kali ini yang memanggil adalah Yang Meng.

Remaja itu tak menjawab, raut wajahnya menampakkan kesedihan yang mendalam, matanya terlihat sembab.

"Bolehkah kami ikut?" pinta Tan Bu.

Sekali lagi, Suro tak menjawab, ia cuma menunduk dan berusaha menyembunyikan wajah kesedihannya.

Baik Tan Bu maupun Yang Meng, tuannya, diam sejenak menunggu jawaban dari Suro.

"Kami merasa berhutang nyawa dan merasa bersalah padamu," lanjutnya,"Karena kamilah engkau dan keluargamu jadi begini....."

Suro mengangkat kepalanya, menatap kedua orang Cina itu satu persatu, lalu melempar pandangan ke arah lain. "Tuan Yang Meng dan tuan Tan Bu tak perlu merasa bersalah. Semua ini karena kesalahan saya sendiri, yang akhirnya menyeret mereka berdua menjadi sasaran kemarahan, yang harusnya dilampiaskan kepada saya ..."

Yang Meng mengambil posisi duduk, dia menarik nafas dalam dan menghembuskannya sambil menggeleng-gelengkan kepala, nampak dari raut wajahnya rasa empati atas kejadian yang menimpa Suro.

"Tetap saja, kejadian ini buat kami berdua merasa sangat bersalah...." ujarnya, "maka dari itu, untuk mengurangi rasa bersalah, izinkan kami ikut mengantarkan dan menguburkan jasad mereka berdua."

"Bukankah tuan harus kembali ke negeri tuan?" tanya Suro.

"Tidak," menjawab Tan Bu, "Butuh waktu beberapa hari lagi untuk kami bisa berlayar, sambil menunggu datangnya angin yang tepat."

***

Sehari setelah penguburan mayat pak Dawung dan Istrinya, malam itu Suro berdiri menatap langit di halaman depan rumahnya. Kesedihan dan kedukaan yang mendalam sejak kematian guru dan rekannya belum lagi hilang, kini remaja itu harus menerima hal serupa terjadi pada dirinya.

Malam setelah Isya, ia berniat melampiaskan rasa itu dengan berlatih lebih keras lagi, berharap bisa melupakan kesedihannya barang sejenak.

Di belakangnya, Tan Bu duduk berdampingan dengan sang tuannya, Yang Meng. Memperhatikan Suro yang tengah bersiap berlatih di halaman.

"Sejak kematian keluarga ini, Suro tak pernah mengeluarkan sepatah kata pun," ucap Tan Bu pada tuannya.

"Yah," desah Yang Meng,"kita harus maklumi, dia masih remaja. Kehidupannya penuh dengan kesusahan. Beban ini pasti sangat berat untuknya."

Tan Bu cuma mengangguk.

Sejurus kemudian, Suro mulai menggerakkan seluruh anggota badannya, melakukan gerakan-gerakan jurus yang sama dengan sebelum-sebelumnya. Tapi kali ini gerakannya nampak emosional dan terlihat tidak tenang.

Tiba-tiba, ia berhenti. Nampaknya Suro menyadari jika fikirannya sangat kacau, sehingga energi yang mengalirpun berakibat jurus yang dimainkannya nampak berantakan.

Lalu ia mengulangi lagi, dan lagi. Entah sampai beberapa kali ulangan, gerakannya mulai terarah dan indah. Energi yang ditimbulkan berdampak pada tumbuhan disekitarnya yang bergoyang. Dan itu dirasakan oleh Tan Bu dan Yang Meng.

"Anak kecil ini punya tenaga dalam yang aneh, kibasan tangan dan kakinya membuat gelombang udaranya sampai ke kita dan tanaman disekelilingnya," Tan Bu berkata sambil geleng-geleng kepala, ia merasa takjub.

"Aku tidak faham Kung Fu, tapi pernah melihat dan tahu corak-corak Kung Fu. Dari yang pertama kulihat, kukira dia sedang berlatih Tai Chi Cuan, tapi tiba-tiba berubah lagi seperti Kung Fu Shaolin." Ucap Yang Meng.

Tiba-tiba, Tan Bu memandang Yang Men, "Tuan Yang, apakah menurutmu jika kita tawarkan Suro untuk ikut dengan kita, dia masih menolaknya?"

Yang Meng, menatap Tan Bu, lalu perlahan, raut wajahnya menampakkan senyum lebar.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login