Download App

Chapter 20: Paparazi

Hari ini Kirana pergi ke rumah sakit dengan gontai. Ia sama sekali tidak bersemangat berangkat bekerja. Dirinya sangat mengantuk. Sejak semalam Kirana tidak bisa tidur. Pikirannya masih melayang ke tragedi kencan yang kacau Sabtu kemarin.

Kirana begitu syok dan tidak bisa mengerti mengapa nasibnya begitu sial pada hari itu. Di sisi lain ia juga merasa bersalah dengan Vero. Meskipun sahabatnya itu terkenal cerewet dan suka mengomel, Vero sudah bersusah payah merencanakan kencan ini.

Saat mendengar cerita lengkap mengapa kencan itu gagal, Vero meradang. Vero hampir melabrak Miranda. Untung Kirana berhasil mencegah gadis itu pergi ke rumah ayahnya untuk memaki Miranda.

Sejujurnya Vero tidak masalah kalau kencannya kacau. Vero bilang itu semua bukan salah Kirana. Semua ini salah si Miranda. Namun Kirana tetap merasa bersalah pada sahabatnya satu ini.

Langkah kaki Kirana terhenti ketika sekumpulan pria dan wanita menghadangnya di depan pintu rumah sakit. Mereka membawa kamera dan alat perekam sembari terus memotret Kirana dengan sinar blitz yang menyilaukan.

"Dokter Kirana, apa hubungan Anda dengan cucu konglomerat dari keluarga Dewandra?"

"Dok, apa Anda benar-benar pacaran dengan Bastian Dewandra?"

"Sejak kapan kalian mulai pacaran?"

"Lalu apa hubungan Anda dengan Miranda Morenna, artis yang terkenal itu?"

"Tolong beri penjelasannya."

"Jadi bagaimana, Dok?"

"Tolong jawab, Dokter Kirana."

Kirana tidak bisa berkutik. Dirinya terjebak di dalam kerumuman wartawan yang sedang menghujaninya dengan ratusan pertanyaan.

Kirana hanya bisa merundukkan kepala. Dia tidak tahu harus menjawab apa pertanyaan wartawan-wartawan itu.

Lalu Mita muncul bersama tim keamanan rumah sakit dan beberapa perawat.

"Minggir, minggir," Mita berteriak pada kerumuman wartawan yang sedang menyerbu Kirana.

Mita memegang tangan Kirana dan menarik gadis itu berjalan cepat menuju lobby rumah sakit. Sementara pihak tim keamanan dan para perawat berusaha menghadang agar wartawan-wartawan itu tidak masuk ke dalam lobby.

Mita membawa Kirana masuk ke ruang UGD. Kirana yang masih syok langsung duduk di sofa.

"Astaga, nyaris aja," Kirana sangat lega. Dia benar-benar takut diserbu banyak wartawan seperti tadi.

"Para wartawan itu sudah gila. Mereka menghadangmu seolah kamu seorang maling," Mita menimpali.

Ia mengambilkan segelas air putih untuk Kirana.

"Kalau gak ada kamu, mungkin aku udah abis sama para wartawan itu, Mit," Kirana berterima kasih.

Kirana meneguk air hingga habis.

"Tapi kamu beneran pacaran sama si pasien tampan Bastian Dewandra itu?" Mita penasaran.

Rasa penasaran Mita itu wajar. Ia sangat kaget membaca artikel berita di internet kalau sahabatnya pacaran dengan cucu konglomerat. Foto Kirana dan Bastian juga terpampang jelas. Mita sampai harus mengucek-ucek matanya memastikan apakah Kirana yang ada di berita ini adalah Kirana sahabatnya.

Semua sosial media seperti Facebook, Instagram dan Twitter membicarakan berita itu. Banyak yang berkomentar soal keaslian berita yang beredar. Mita sendiri lebih percaya kalau sahabatnya tidak akan menggaet pria kaya.

Mita sangat mengenal Kirana. Kirana bukanlah gadis yang akan menggoda pria kaya demi memperoleh hidup mewah. Ia sudah melihat jerih payah Kirana sejak kuliah hingga sukses menjadi seorang dokter.

Kirana mengerjap. "Ini semua salah paham, Mit. Aku sama sekali gak pacaran sama Bastian. Kami cuman …"

Belum selesai berbicara, seorang perawat masuk.

"Dokter Kirana, Anda dicari Pak Tanjung," kata perawat itu.

Ah sial, umpat Kirana dalam hati.

Sudah ia duga, kejadian wartawan hari ini pasti akan sampai ke telinga Pak Tanjung. Entah kemarahan apa yang akan Pak Tanjung lontarkan ke Kirana setelah melihat rumah sakit diserbu wartawan seperti tadi.

….

Ruangan Pak Tanjung berada tak jauh dari UGD. Kirana melangkah masuk ke dalam ruangan.

Seorang pria botak berbadan gemuk sedang duduk santai di meja kerja. Itu adalah Pak Tanjung, manajer rumah sakit.

"Silahkan masuk, Dokter Kirana," katanya ramah.

Kirana menghela napas. Ia duduk di kursi tepat di depan meja kerja Pak Tanjung.

Jauh di dalam hatinya, Kirana sedang berusaha mempersiapkan jawaban kalau-kalau manajernya ini bertanya tentang alasan para wartawan yang berkumpul di depan rumah sakit tadi.

Kirana sangat frustasi dengan kejadian-kejadian yang menimpanya akhir-akhir ini. Dia tidak menyangka sebuah kencan buta yang kacau membawanya berhadapan dengan atasannya.

Kirana hanya bisa menggigit bibir. Dia berharap Pak Tanjung tidak akan memecatnya karena kejadian pagi ini. Ia sangat mencintai dunia kesehatan. Ia sangat bahagia menjadi seorang dokter. Kirana tidak bisa membayangkan kalau dirinya tidak bisa menjadi seorang dokter lagi.

"Saya dengar ada banyak wartawan di depan rumah sakit tadi," Pak Tanjung memulai pembicaraan.

Kirana hanya bisa mengangguk.

"Saya minta maaf, Pak," Kirana menunduk. "Gara-gara saya ada keributan di rumah sakit tadi. Saya tidak bermaksud membuat ulah."

Tiba-tiba Pak Tanjung tertawa.

"Dokter Kirana gak perlu tegang gitu," kata Pak Tanjung senang. "Justru saya senang sekali rumah sakit kita kedatangan banyak wartawan."

Apa???

Kirana tidak menyangka kata-kata seperti itu akan keluar dari mulut manajer rumah sakit tempatnya bekerja. Pak Tanjung senang?

"Kenapa, Pak?"

Senyum Pak Tanjung mengembang. "Berkat Dokter Kirana akhirnya rumah sakit kita masuk berita. Terus gara-gara Dokter Kirana pacaran sama cucu konglomerat, beritanya jadi tersebar dimana-mana. Saya sampai share ke grup WhatsApp keluarga lho, Dok."

"Saya yakin Dokter Kirana pasti akan terkenal. Bisa diundang talk show atau wawancara. Semakin Dokter Kirana terkenal, rumah sakit kita juga akan kedatangan banyak pasien. Kita bakal makin sukses. Sukses apa hayo?"

Kirana menggeleng bingung.

"Sukses karena pendapatan rumah sakit kita akan meningkat!" jawab Pak Tanjung sangat senang. Pak Tanjung membayangkan betapa kayanya rumah sakit setelah disorot media nasional.

Kirana hanya bisa menggeleng-gelengkan kepala. Ia sama sekali tidak habis pikir dengan jalan pikiran atasannya. Bagaimana mungkin Pak Tanjung malah memikirkan popularitas rumah sakit dan popularitas Kirana sementara keamanan rumah sakit dalam bahaya?!

Selama ini Kirana tahu kalau atasannya ini sangat mata duitan dan oportunis. Tetapi dia tidak menyangka sifat mata duitan Pak Tanjung separah ini.

Si botak ini benar-benar serakah, batin Kirana kesal.

"Tapi Dokter Kirana itu emang pacaran ya sama cucu keluarga Dewandra. Siapa namanya itu cowoknya?"

"Bastian," jawab Kirana dengan enggan. Dia mulai malas berbicara dengan Pak Tanjung.

"Ah, iya si Bastian Dewandra."

Buru-buru Kirana menggeleng. "Saya gak pacaran sama Bastian Dewandra kok, Pak."

"Lho kenapa enggak?" alis Pak Tanjung naik.

"Ya karena kami barusan kenal," hanya alasan inilah yang muncul di kepala Kirana.

Pak Tanjung mendecakkan lidah.

"Dokter Kirana, kenal sebentar terus pacaran itu sih gak masalah. Jangan terlalu lama mencari cowok yang tepat. Kalau udah ada di depan mata, segera digaet. Jarang-jarang seorang dokter bisa dapat jodoh pengusaha kaya. Apalagi dari keluarga Dewandra…."

Bla bla bla….

Kalimat berikut-berikutnya tidak lagi terdengar oleh Kirana. Dia sibuk berpikir mengapa perilaku Pak Tanjung mirip dengan Vero?!

Selama ini yang selalu mendorongnya berkencan dengan pria kaya adalah Vero. Dan lihat sekarang Pak Tanjung juga sudah mulai ikut-ikutan Vero.

Menghadapi Vero yang selalu berusaha mencarikannya pacar dari keluarga kaya sudah merepotkan. Sekarang Kirana juga harus menghadapi atasannya ini.

Sialnya diriku, umpat Kirana dalam hati.

"Jadi intinya saya gak dimarahi karena masalah para wartawan mengepung rumah sakit?" Kirana memotong pidato panjang Pak Tanjung soal betapa pentingnya punya pacar kaya raya.

"Enggak dong, Dok," kata Pak Tanjung pada akhirnya. "Malah saya mau jadi supporternya Dokter Kirana sama Bastian itu."

Syukurlah. Kirana bisa bernapas lega. Dia hampir mengira akan dipecat sebagai dokter dari Rumah Sakit Amerta yang sudah dianggapnya sebagai rumah.

"Oh iya, Dokter Kirana bisa gak ngajak saya ketemuan sama Bastian Dewandra?" wajah Pak Tanjung berseri-seri.

"Untuk apa ya, Pak?"

"Ya siapa tahu Bastian mau menyumbang ke rumah sakit kita. Kan dia dekat sama Dokter Kirana," kata Pak Tanjung dengan tatapan penuh harap.

Kirana hanya menghela napas. "Waduh kalau soal itu saya gak bisa janji sih, Pak."

"Tolong ya, Dokter Kirana," Pak Tanjung menggenggam tangan Kirana tiba-tiba. Ia juga memasang wajah memohon.

"Saya pamit keluar dulu, Pak. Ada banyak pasien di UGD hari ini," Kirana melepaskan genggaman Pak Tanjung dan buru-buru keluar ruangan.

Kepalanya pusing sekarang.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C20
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login