Download App

Chapter 2: 2

Sinar mentari masuk ke celah gorden, menganggu wanita yang masih meringkuk dikasur, baju yang lusuh belum ganti dari dua hari kemarin, mata lembab dengan kantung mata yang sangat terlihat, ia tak bisa tidur nyenyak. Bayangan dirinya digauli oleh kekasihnya dengan kasar dan merenggut mahkota yang selalu dijaga untuk suaminya kelak, tetapi hancur oleh Farhan yang memperkosanya. Dering ponsel yang terus berbunyi dari dua hari yang lalu membuat dirinya beranjak dan meraih menerima panggilan itu dengan suara serak.

"Kamu dari mana saja, aku meneleponmu dua hari ini!"

"A-aku di rumah."

"Kamu membuatku khawatir Nay,"

"Maaf."

"Kenapa suaramu serak, kau habis menangis!"

"Tidak kok, ini hanya sakit tenggorokan."

"Kamu tak pandai berbohong, Nayla Ramadhani!"

"...."

"Aku akan ke rumahmu, sekarang!"

"Tak perlu, kau 'kan harus memantau cafe, maaf aku tak masuk kerja."

"Tak apa, aku akan ke rumahmu dan jelaskan apa yang terjadi."

Menaruh handphone-nya lalu masuk kekamar mandi dengan tertatih, sungguh miliknya masih terasa linu sampai sekarang. Setelah melakukan ritual mandinya, segera meringkuk ia hanya mandi dan memakai pakaiannya, saat hendak memejamkan kelopak matanya suara gedoran pintu membuat dirinya beranjak dan segera ke pintu utama dengan pangkah lunglai, membuka pintu lalu mempersilahkan masuk.

"Maaf ... berantakan," tutur Nayla mempersilahkan duduk segera ke dapur membuatkan minum setelah selesai ia menaruh di meja dan ikut duduk.

"Tak apa, aku bantu bereskan nanti," tawar Sarah tanpa menerima penolakan.

Nayla tersenyum, "terimakasih sudah menyempatkan diri ke sini."

"Kau ini! seperti ke siapa saja, aku ini temanku Nayla," cecarnya sambil memukul pelan bahu Nayla.

"Nay, kau kenapa, berantakan sekali!" mendekati Nayla lalu membuka tas yang selalu ada sisir didalamnya, segera menyisiri rambut sahabatnya itu.

"Ceritakan Nay, jangan kamu pendam sendiri," tuntut Zahra.

Riak wajah Nayla berubah sendu, air mata itu perlahan menetes dari pelupuk mata, "Farhan memperkosaku." suara serak dengan sesegukan itu membuat Zahra mengerutkan kening.

"Memangnya kenapa, bukannya kalian akan menikah! baru tadi pagi aku mendapatkan undangannya," ucapnya memberikan tas ke pangguan Nayla.

"Lihat saja undangannya ada di dalam tasku."

Nayla ia bergegas mengambil selembar undangan itu dan membaca nama yang tertera disana.

Muhammad Farhan

Dan

Annisa Maharani

Tangan Nayla bergetar saat netra abu-abu itu membaca nama yang tertera di lembaran undangan, kertas itu terjatuh dari tangan Nayla, ia tengkurep di sofa sambil membenamkan wajahnya dibantal. Zahra terpaku saat melihat reaksi Nayla yang melihat surat undangan itu, segera meraih benda lalu membacanya, terpaku lalu meremas undangan itu sambil mengumpat, " Farhan kau bajingan! Merenggut mahkota sahabatku, malah menikahi wanita lain."

Zahra tersadar dari api kemarahan saat mendengar suara sesegukan Nayla yang sangat menyedihkan, segera mendekati dan mengelus surai hitam pekat itu.

"Tenanglah, pasti ada pria yang lebih pantas untukmu, Farhan itu gak pantas buat kamu dia bajingan," ucap Zahra mengebu.

Nayla segera bangkit lalu memeluk Zahra menumpahan semua tangisannya, "makasih kamu selalu ada untukku."

Zahra mengangguk lalu berujar, "teruslah menangis setelah puas jangan pernah kau tangisi pria bajingan itu lagi." Nayla mengangguk dan melepaskan pelukkannya.

"Besok aku masuk kerja," ujarnya, "aku rindu mencatat pesanan pelanggang." Mengulas senyum.

"Gitu dong senyum kan cantik, ayo aku bantu beresin." Mencubit pipi Nayla lalu segera membantu beres-beres rumah yang sangat berantakan, tentu saja dua hari tak dibersihkan bayangin aja segimana kotornya.

Mereka membersihkan dengan ceria sambil bernyanyi dan bercanda, sungguh seperti saudara. Zahra pernah menawarkan untuk tinggal bersamanya, saat melihat kontrakan yang ditempati sahabatnya tapi Nayla menolak ia ingin mandiri.

Sehabis beres-beres kedua sahabat itu berniat membeli bahan makanan yang memang sudah habis dirumah Nayla.

.

.

.

Suara gemercik air hujan membuat Afnan tersenyum ia kembali teringat kenangan saat Arga melamarnya.

Afnan sedang duduk di cafe menunggu Arga yang tiga bulan yang lalu mengajaknya ta'aruf, pertemuan pertama Afnan dengan Arga saat usianya menginjak delapan belas tahun, ketika Afnan pindah dari desa untuk melanjutkan kuliah di luar negeri awalnya mereka hanya berteman tetapi benih-benih cinta tumbuh di lerung hati.

Arga keluar dari mobil memakai payung lalu masuk cafe mencari Afnan, netra mereka bertemualu Arga segera berjalan mendekat dan duduk.

"Apa sudah menunggu lama," tanyanya mengelus kepala Afnan yang tertutup khimar.

Afnan menggeleng lalu tersenyum, "tidak kok, baru beberapa menit."

"Sudah pesan makanan?" tanya Arga basa-basi.

"Belum, baru susu coklat aja," sahut Afnan menunjukan gelas yang berisi minuman kesukaannya.

"Arga tersenyum lalu segera memesan makanan untuk mereka berdua, ia sudah sangat hafal di luar kepala kesukaan Afnan, tak lupa memesan makanan penutup.

Beberapa menit kemudian makanan darang dan mereka melahap dalam diam hanya suara dentingan sendok dan garpu yang beradu ke piring, tak lupa membaca doa sebelum makan.

Senyuman Arga merekah saat Afnan meraih dan memakan makanan penutup, tak lama Afnan melihat sendok yang ada plastik obat yang berisi kertas di dalamnya, saat ingin membuangnya ditahan oleh Arga.

"He, jangan dibuang?" ucap Arga spontan memegang lengan Afnan.

Afnan melirik tangannya yang dipebgan Arga segera menepisnya, menatap Arga tajam.

"Maaf ... refleks tadi." Menangkupkan kedua telapak tangannya, Afnan hanya menghela napas lalu menaruh plastik itu di meja, Arga menggaruk tengkuknya yang tak gatal, menatap bingung plastik obat yang ada di meja, ide terbesit dibenaknya.

"Afnan kenapa gak dibuka plastik itu, siapa tahu ada yang penting di dalamnya."

Pancing Arga agar Afnan membukanya.

Afnan melirik plastik itu lagi lalu menatapnya bingung. "apa aku harus memberikannya kepada pelayan, mungkin ini milik koki yang membuat makanan ini," celetuk Afnan hendak memanggil pelayan dicegah Arga.

Arga mengerang frustasi lalu mengacak-acak rambutnya, "baca aja! Apa susagbya sih," ucapnya meraih plastik obat itu dan mengeluarkan isinya lalu diserahkan ke Afnan, "baca."

Afnan menatap aneh Arga lalu membuka kertas itu, perlahan senyuman bahagia terbit dari bibirnya lalu menangis membuat Arga panik. "Kenapa menangis? kamu gak mau, tidak papa kok aku gak maksa kamu harus menerima lamaranku," ucap Arga memegang bahu Afnan ia ingin merengkuh tetapi bukan muhrim.

Afnan menggeleng, "aku hanya bahagia akhirnya kamu mengajakku ke jenjang lebih serius, makasih aku nerima lamaranmu."

kelebatan kenangan yang selalu menempel dibenak Afnan dan ia tak'kan melupakannya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login