Download App

Chapter 68: #068: Panik

Sarah ingin berterima kasih sebesar-besarnya pada kedua orang tua Endra yang sangat baik ini. Sudah menerima dirinya yang penuh dengan keegoisan dan mengijinkan dirinya untuk tetap berada di samping Endra. Sungguh, Sarah benar-benar merasa iri dengan kebaikan yang diberikan keluarga Endra. Jika saja dirinya memiliki keluarga sebaik dan sehangat ini, pasti kehidupannya tidak akan semenyedihkan ini.

Setelah menumpahkan tangisan yang memberatkan perasaannya, Sarah pun lebih bisa menata hatinya lagi. Dia kini duduk di ranjang samping Endra, menunggui Endra yang masih tertidur lelap.

Beberapa saat sebelumnya, Bu Mirna dan Pak Yadi meninggalkan kamar dan menitipkan Endra pada Sarah. Bu Mirna berkata dengan nada lembut, "Biarkan Endra beristirahat dulu, semoga saja setelah beristirahat kondisinya akan semakin membaik. Kalau nanti kamu butuh sesuatu atau ada apa-apa dengan Endra, kamu bisa menghubungi Ibu, atau menemui kami di gudang."

Sarah langsung mengangguk mengerti. Lantas setelah itu, Sarah ditinggal berdua saja dengan Endra. Berbagai pikiran pun mulai muncul satu persatu, tentang apa yang sudah dilaluinya selama ini bersama Endra.

Dari awal, Sarah tidak pernah sekalipun menyangka Endra akan jadi orang sepenting ini untuk dirinya. Dulu, Sarah hanya ingin memberi Endra pelajaran dan siksaan karena terlahir sebagai laki-laki, terlebih memiliki cita-cita yang sangat konyol. Dia memperlakukan Endra dengan sangat buruk, dan berharap itu akan menjadi mimpi buruk setiap laki-laki karena sudah berinteraksi dengannya yang sangat dendam pada laki-laki.

Namun hari demi hari, minggu demi minggu, Endra tetap saja menempel padanya meski sudah banyak mendapatkan siksaan mental maupun pekerjaan fisik yang melelahkan. Ditambah lagi, kekonyolan Endra berlanjut karena menjanjikan hubungan konyol pada orang tuanya. Yang mau tak mau memerangkap Sarah ke dalam hubungan yang tidak pernah dipikirkan sebelumnya. Pernikahan.

Semuanya terjadi begitu saja. Sarah tidak pernah menduga akan jadi seperti ini. Bertemu kembali dengan ayah tiri jahatnya yang sangat dia benci sewaktu bersama Endra, sekalipun Sarah tidak pernah berpikiran ke sana.

Jarak antara tempat tinggal Sarah dengan ayah tiri jahatnya itu sangatlah jauh. Meskipun masih dalam satu negara, tapi sudah berbeda pulau. Jadi Sarah menyangka kalau seumur hidup, dia tidak akan pernah bertemu dengan ayah tiri jahatnya itu. Toh, lingkup kejahatan ayah tirinya itu berada di pulau sana. Tidak mungkin bisa menyeberang ke pulau ini.

Dipenuhi dengan berbagai pikiran yang terus menerus berkelebat di dalam otaknya, membuat Sarah merasa lelah. Dia pun mulai menyelonjorkan kakinya dan berbaring ke samping menatap Endra.

Tangannya dibiarkannya menelusup ke balik selimut untuk menggenggam satu tangan Endra. Lantas, matanya terasa berat. Setelah itu, Sarah pun jatuh tertidur.

***

"Panas ... panas ... panas ..."

Sarah terjaga. Suara yang baru saja masuk ke dalam telinganya membuat Sarah langsung terduduk. Itu suara Endra.

Sarah buru-buru menyingkirkan selimut dan kain yang menutupi tubuh Endra. Ya, Endra kepanasan. Butiran peluh tampak jelas membasahi wajah Endra dan membuat Sarah tercekat kaget.

Dengan hati-hati Sarah menyentuhkan tangannya ke kepala Endra yang sedang bergerak-gerak kepanasan. Kemudian raut wajahnya berubah tegang. Kali ini, Endra malah terserang demam.

Astaga. Sarah pikir kondisi Endra akan semakin membaik setelah beristirahat. Tapi yang terjadi malah sebaliknya. Suhu tubuh Endra sangat panas, membuat kecemasan melanda Sarah dengan cepat. Dia tiba-tiba merasa bingung harus bagaimana menangani ini. Padahal dulu, Sarah sudah terbiasa menangani anak-anak di panti asuhan saat mereka terserang demam. Tapi kini rasanya berbeda. Dia merasakan ketakutan itu lagi. Takut Endra sampai tidak bisa terselamatkan.

Cepat-cepat Sarah menyambar ponsel Endra yang ditaruhnya di atas meja. Lantas kembali menghubungi ibu mertuanya.

"Hallo, Bu. Endra ... demam. Ba-badannya panas sekali. Tolong, Ibu ke sini sekarang juga," suara Sarah mendadak bergetar. Tanpa sadar matanya juga sudah berkaca-kaca.

Saat menunggu ibu mertuanya datang, Sarah berlari menuju dapur untuk mengambil air untuk mengompres Endra. Dia benar-benar dibuat panik. Perubahan suhu tubuh Endra yang sangat drastis membuat berbagai pikiran buruk yang rasanya mampu menikam jantungnya dengan sangat keras. Dia takut sesuatu yang buruk terjadi pada Endra. Meskipun ibu mertuanya bilang Sarah tidak boleh menyalahkan diri, tetap saja Sarah akan diliputi penyesalan seumur hidup jika Endra sampai tidak terselamatkan.

"Tolong ... bertahanlah..." Sarah membolak-balik kompres sembari menitikkan air mata. Sarah tahu, demam seperti ini mungkin hal biasa bagi sebagian orang. Jika ditangani dengan baik, orang yang terkena demam tinggi sekalipun akan bisa pulih dengan baik. Tapi yang Sarah tidak tahu adalah kemungkinan terburuknya. Dia sedang ketakutan, merasa bersalah, dan Endra sudah banyak menanggung kepedihan hatinya, semua hal itu membentuk sebuah kekhawatiran berlebih kalau-kalau Endra tidak bisa bertahan dari demam yang melandanya ini, kemudian kemungkinan terburuknya ... Endra bisa meninggal.

Mungkin berpikiran seperti itu memang berlebihan. Toh, kematian akibat demam memang bisa terjadi meskipun prosentasinya kecil. Tapi mengingat ada kemungkinan itu saja sudah mampu membuat perasaan Sarah kalang kabut tidak karuan.

"Aku tahu ... fisik kamu jauh lebih kuat dari ini. Kamu bahkan nggak pernah sekali pun sakit saat aku ngasih banyak tugas berat ke kamu. Jadi aku mohon, tolong ... tolong bertahanlah. Kamu pasti bisa melewati ini, kamu pasti sembuh." Sarah kemudian menggeleng pelan. "Nggak. Pokoknya kamu harus sembuh apapun yang terjadi."

Sarah kehilangan ibunya karena kesalahannya. Dan itu membentuk gumpalan mimpi buruk yang terus menerus menghantui tidurnya. Jadi Sarah tidak mau menambah kesalahannya lagi jika sampai Endra pergi dari dunia ini.

Untunglah di saat Sarah semakin merasa kalut, ibu mertuanya datang dan mengusap punggung Sarah yang bergetar akibat menangisi Endra.

"Tidak apa-apa. Endra pasti akan baik-baik saja," kata Bu Mirna berusaha menenangkan Sarah.

"Tapi sekarang kondisinya berbeda, Bu. Ibu coba sentuh saja, dia demam tinggi."

"Iya, Ibu tadi sudah dengar dari kamu. Makanya Ibu ambil obat pereda demam dulu sama termometer. Coba Ibu ukur dulu berapa suhu tubuh Endra sekarang."

Sarah memberikan ruang untuk ibu mertuanya. "Ayo Endra, buka mulut kamu sedikit." Bu Mirna menyelipkan termometer digital itu ke mulut, meletakkan ujung sensornya di bawah lidah dan membiarkan bibir Endra menahannya.

Sarah menunggu dengan perasaan cemas. Sampai akhirnya sensor termometer itu berbunyi. Bu Mirna mengambilnya dan melihat hasilnya. 39,8 derajat celcius. Astaga, demam Endra tinggi sekali.

Sarah kembali diserang kepanikan mendalam, namun Bu Mirna berhasil menenangkannya. "Tolong kamu bantu Endra duduk. Tadi pagi Endra sudah makan kan? Jadi sekarang ... dia bisa langsung minum obat pereda demam."

Dengan cepat Sarah bergerak menuruti perintah ibu mertuanya. Dia membantu Endra yang masih tetap terpejam dengan napas pendek-pendek untuk bisa duduk.

"Sekarang ... coba buka mulut kamu lagi," pinta Bu Mirna kemudian pada anaknya, setelah Endra berhasil duduk. Bu Mirna menyendokkan sirup ke mulut Endra. "Air..." gumam Endra dengan suara tertahan.

"Itu airnya ada di atas meja, tolong kamu ambilkan," kata Bu Mirna pada Sarah.

Buru-buru Sarah bergeser sedikit untuk mengambil segelas air yang sudah disiapkan ibu mertuanya. Lantas mengarahkannya ke mulut Endra. Sarah sangat bersyukur mendapatkan intruksi dari ibu mertuanya ini, sehingga dirinya tidak hanya dibuat panik tidak jelas, tapi juga mampu mengatasinya lewat tindakan.


CREATORS' THOUGHTS
AdDinaKhalim AdDinaKhalim

Sarah bener2 ngandelin ibu mertuanya nih. Untungnya sih dapet ibu mertua yang baik, nggak kebayang deh kalo mertuanya kayak mertua tetangga sebelah, wkwkwk...

Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C68
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login