Download App

Chapter 9: Bab 9. Dua Pilihan

"Malam ini, Mas ingin memilikimu."

Kedua netra mereka sudah tak lagi berjarak. Ghina mampu merasakan deru napas sang suami yang memburu. Rasa hangat yang menerpa wajah seketika membuat tubuh gadis itu bergetar. Diikuti diorama jantung yang semakin bertabuh kuat. Ia ingin bangkit, mengalihkan tubuhnya dari kunci tubuh sang suami. Tapi, keinginan itu terurungkan, ketika ia merasa sesuatu menyentuh keningnya dengan lembut.

Mata gadis itu terpejam sesaat, menikmati sensasi yang baru ia rasa sekali ini seumur hidup.

'Apakah aku telah memiliki hatimu, Mas? Hingga kau datang padaku meski tak kuminta?'

Sentuhan pertama yang diberikan Sakha, mampu membuatnya larut dalam lautan cinta yang begitu misteri. Ia ingin menyelami lautan itu tanpa hendak menepi, ia ingin bermandikan sejuknya mata air yang ia yakini, pemilik lautan itu tak sengaja memintanya untuk singgah. Ia ingin menjadi penguasa lautan hati suaminya, tanpa ingin berbagi.

Tak lagi merisaukan apapun, mereka semakin larut dalam panasnya gelora memadu hati, hingga kedua tangan pun saling menggenggam dengan erat.

Beberapa saat bertahan, hingga akhirnya Sakha menjauhkan wajahnya. Seketika kedua mata saling menatap lekat. Ada kecanggungan yang tiba-tiba mendera. Wajah ayu itupun tertunduk malu.

"Maaf, ya?" ucap Sakha ragu sambil menaikkan dagu sang istri.

"Kenapa minta maaf, Mas? Ghina 'kan istri Mas Sakha?"

Lelaki itu menyambut ucapan Ghina dengan seulas senyuman. Digerakkan tangan untuk sejenak mengusap pucuk kepala sang istri.

"Boleh Ghina bertanya sesuatu, Mas?"

"Kamu mau nanya apa?"

Sejenak, gadis itu terdiam. Tengah mengumpulkan cara untuk menanyakan hal yang sangat sensitif.

"Mas ... apakah malam ini aku akan jadi pelarianmu?"

Sakha terhenyak, pertanyaan Ghina berhasil menghunus jantungnya dengan kuat. Tubuhnya yang tadi mengunci sang istri kini rebah di atas ranjang.

"Kalau, iya?" jawabnya sambil menatap langit-langit kamar.

Mendengar itu, helaan napas panjang beserta air mata, luruh membasahi pipi Ghina. Nyatanya, ia memang sudah tahu jawaban ini yang akan keluar dari mulut suaminya, dan sudah sangat ikhlas jikapun Sakha mendekatinya hanya sebagai pelampiasan. Tapi kenapa rasa sakit itu kian menjadi.

'Apakah selamanya kau hanya akan jadi bayangan untukku Mas, menyatu tapi tak dapat kuraih.'

"Maaf ...."

Kata itu kembali terdengar dari mulut Sakha.

"Maaf untuk apa, Mas?"

"Untuk semua kekacauan dalam hidupmu. Untuk sikap Mas yang tidak gentleman sebagai lelaki. Untuk keinginan yang mungkin akan sangat menyakiti perasaanmu."

Sakha mendesah panjang. Ternyata, bukan hanya Ghina yang merasa sakitnya berada pada posisi itu, Sakha pun merasakan hal yang sama.

Ghina kembali menatap sendu wajah yang tak lekang dari memandangnya. Dengan yakin, ia berkata,

"Ghina rela, Mas dekati. Walau hanya sebagai pelarian dari wanita lain."

Sakha begitu terhenyak. Ada yang begitu membuat dadanya perih. Ia ingat akan janjinya pada Ryanti. Ia pun ingat janjinya pada diri sendiri. Bahwa tidak akan menyentuh Ghina sekalipun. Tapi, kenyataan sekarang? Ia sangat ingin menghabiskan malamnya bersama Ghina.

"Benar kamu nggak akan menyesal, Ghin?"

Gadis itu mengangguk sembari menyunggingkan senyuman.

'Dulu, aku yang kau benci. Sekarang, aku ingin menjadi yang paling kau cintai.'

Sebelum sesuatu mendarat kembali di wajahnya, Ghina hanya meminta satu hal pada Sakha. Wudhu dan shalat sunnah dua rakaat. Harapan Ghina, jika setelah ini ternyata Allah menghendaki sesuatu tertanam dalam rahimnya, maka ia ingin benih itu tumbuh sebagai anak shaleh.

Malam itu, sempurna Ghina menyerahkan raganya pada lelaki yang telah menyatu namanya dalam jiwa. Mereka tenggelam dalam samudera kebahagiaan hingga tak mampu keluar dari dasarnya.

'Jika ini pelampiasan, maka sungguh beruntung wanita yang menerima perlakuanmu tersebab cinta, Mas.'

*

"Mas sayang kamu, Ghin," ucapnya mengakhiri persatuan mereka yang melelahkan. Sebuah kecupan pun menjadi pengantar mata untuk terpejam.

***

Netra kecoklatan itu terbuka perlahan. Paras menawan yang tadi sudah membangun syurga bersamanya kini kembali membuat Ghina tersenyum. Dikecupnya pelan kening Sakha. Lalu ia beranjak untuk bersuci dan berwudhu.

Ghina membentang sajadah, kembali khusuk dalam tahajud dan larut dalam doa panjang.

"Bukakan hatinya ya Allah, beri ia petunjuk agar bisa memilih yang terbaik untuk kehidupan juga agamanya. Aamiin ya Rabbalalamin."

*

Pagi ini, Sakha kembali memimpin shalat jamaah kecil mereka. Jika dahulu usai shalat, Sakha lebih memilih kembali merebahkan diri. Pagi ini tidak, entah angin apa yang berembus. Sakha mengajak Ghina bertadarus bersama.

Mereka kompak membaca secara bergantian setiap satu kali 'ain. Sekitar tiga puluh menit kemudian, mereka menutup mushaf. Surah Yasin khatam subuh itu.

Selesai tadarus, Ghina mengulurkan tangannya meraih tangan sang suami. Sakha terus semringah mendapati lembut perlakuan Ghina padanya.

Sakha membalas kecupan lembut di punggung tangannya dengan mengelus pucuk kepala Ghina.

"Mas ...."

"Hem?"

Keduanya bertatapan sejenak. Kembali canggung jika mengingat apa yang sudah terjadi semalam.

"Pagi ini Mas ada rencana kemana?"

Sakha terlonjak. Dia teringat semalam sudah berjanji pada Ryanti, akan mengunjungi gadis itu pagi ini.

'Haruskah aku membohonginya, setelah apa yang kami lalui semalam. Demi Allah, aku tidak akan membiarkan Ghina pergi dari hidupku. Tak peduli dengan janji itu, dia milikku sekarang dan selamanya!' batin Sakha terus meracau.

Ingin rasanya ia menyudahi semua ini, tapi lelaki itu bingung harus memulai dari mana. Terlebih sekarang, ia merasa Ryanti juga sudah menjadi tanggung jawabnya.

"Sebenarnya kamu mau kemana?" tanyanya sambil menggenggam jemari tangan Ghina. Gadis itu sangat merasa nyaman dengan perilaku Sakha padanya.

"Kemana aja Mas, Ghina mau jalan-jalan pokoknya."

"Mas ada janji dengan klien pagi ini, malam gimana?"

"Boleh juga Mas."

Pancaran kebahagiaan menyeruak dari binar mata gadis itu, entah kenapa ia merasa yakin, bahwa apa yang sudah mereka lalui semalam, akan mengikat hati Sakha untuknya. Sedang di sisi lain, ada hati gundah karena terpaksa berdusta. Andai semua seperti inginnya ...

'Aku akan jujur pada Ryanti, apapun keputusannya, aku siap.'

***

"Apa? Mas pengkhianat! Tega Mas mengkhianati kesetiaan aku! Bajingan kamu, Mas! Aku benci! Aku benci kamu, Mas!"

Ryanti meronta-ronta mendengar kejujuran Sakha yang telah melepas perjakanya bersama Ghina. Ia terus memukul-mukul dada bidang lelaki itu. Sakha hanya terdiam, ia biarkan Ryanti meluapkan kekesalannya tanpa perlawanan. Berharap setelah ini, gadis itu akan tenang dan kembali bisa diajak berbicara.

Nyatanya, bukan tenang, Ryanti seperti kesetanan. Ia berlari ke dapur, Sakha kebingungan dan hendak mencegah. Tapi gerakan gadis itu begitu cepat.

Ryanti kembali dengan sebuah pisau di tangannya.

"Ryanti, kamu mau ngapain? Kasih sama Mas benda itu. Kita bicarakan semuanya baik-baik. Jangan begini ...."

"Mas sudah mengkhianatiku! Sekarang Mas harus menerima akibatnya! Mas akan menyesal seumur hidup!"

"Jangan nekad, Sayang!"

Sakha semakin mendekatkan posisinya, tangannya terjulur hendak meraih pisau dari tangan Ryanti.

"Mundur! Mas harus berjanji, tinggalkan dia! Kembali padaku!"

"Ryanti, Mas nggak bis ...."

Tak lagi menggubris, ia telah menggores pergelangan tangannya.

"Ryanti! Jangan!"

Terlambat, pergelangan tangan gadis itu seketika menyemburkan pancaran darah. Bercak kemerahan itu bahkan menodai wajah Sakha.

"Tidak! Ryanti ...."

***

Bersambung


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C9
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login