Download App

Chapter 14: 14. Kehamilan Ryanti

Ghina terperanjak menatap wajah yang kini hendak membantunya bangkit.

"Emm ... Mas Tyo bukan?"

Lelaki di hadapan Ghina tersenyum hangat.

"Iya, saya Tyo. Kebetulan saya ada perlu di dekat sini. Tadi saat mendengar suara ribut-ribut pencopet, langsung ikut nimbrung mengejar. Eh nggak taunya yang dicopet, kamu?"

Ghina mendesah panjang sambil menunduk dalam.

" Udah jangan ditangisi. Anggap aja itu rejeki mereka hari ini. Barangkali, anak sama istrinya sudah tidak makan selama berhari-hari. Lalu karena gelisah, mereka memutuskan untuk mencopet."

Ghina menoleh lalu merengut. "Apapun alasannya, yang haram tetaplah haram Mas," sahut wanita itu sambil berusaha bangkit dengan usaha sendiri.

"Eh, iya juga ya. hihi ... Mas baru mau coba-coba jadi Ustadz eh langsung salah kasih nasihat."

Tyo menggaruk-garuk kepalanya canggung. Sedang Ghina tersenyum menanggapi. Tapi detik berikutnya, ia kembali memasang wajah cemberut.

"Lho, kenapa cemberut lagi?"

"Yang ada di tas itu bukan cuma uang Mas, ada dompet yang isinya semua kartu-kartu penting, belum lagi handphone. Kok sial banget ya hari ini?" gerutunya kembali sambil memejamkan mata. Jika mengingat kejadian itu, ingin ia menjerit sekencang-kencangnya. Wanita itu belum ikhlas kehilangan barang-barang berharga dalam tasnya.

"Sudah jangan disesali gitu. Yang hilang, pasti bakalan dapat gantinya," ucap Tyo lagi membuat Ghina sedikit merasa berkurang risaunya.

"Ini sebenarnya kamu mau kemana?"

"Mau belanja ikan Mas, kebetulan yang lain sudah pada selesai."

"Lalu, masih ada sisa uang untuk melanjutkan belanjaan?"

Ghina menggeleng-gelengkan kepalanya.

"Nggak usah khawatir, kebetulan hari ini Mas sedang dalam program sepuluh hari bersedekah. Nah berhubung ini adalah hari terakhir, dan karena kamu lagi dapat musibah, maka sedekah Mas terakhir akan Mas serahkan padamu, gimana?"

Ghina hanya terdiam. Mana mungkin semudah itu dia menerima pemberian dari orang lain. Terlebih orang itu bukan siapa-siapa baginya. Dari dulu Ghina termasuk yang paling anti meletakkan tangannya di bawah. Meski hidup pas-pasan, dia selalu berusaha untuk menyedekahkan sebagian harta yang dia miliki.

Ponsel, laptop, bahkan uang sejumlah lebih lima juta yang ada di ATM-nya, semua adalah hasil keringatnya sendiri dari menulis di berbagai platfrom.

Ghina tampak menghela napas. Kini di hadapannya, Tyo sudah mengarahkan sepuluh lembar uang seratus ribuan.

"Ambil rejeki kamu, Ghin."

Ghina ragu menolak, tapi juga tak ingin menerima.

"Saya ambil satu lembar saja, Mas. Tapi saja janji, akan mengembalikan uang ini beberapa hari lagi. Kalau Mas tidak keberatan, saya boleh minta dituliskan nomor hape Mas Tyo di selembar kertas."

Lelaki itu tersenyum, tingkah polos Ghina membuat hatinya aneh. Dia mengeluarkan selembar kartu nama dari dalam dompet.

"Nggak perlu ditulis di selembar kertas kali Ghin, ambil aja kartu nama saya ini."

Ghina meraih pemberian Tyo lalu menatap lelaki itu sejenak.

"Sebenarnya saya niat kasih ikhlas kok, nggak perlu dibayar."

"Jangan Mas, saya merasa aneh diberikan sejumlah uang oleh orang yang baru saya kenal."

"Emm kalau gitu perlu kenal dekat dulu ya, baru kamu terima kalau diberi sesuatu?"

"Ya nggak juga Mas, tergantung kondisi. Diberi dalam rangka apa juga menjadi salah satu pertimbangan buat saya menerima. Bukan sombong, tapi bukankah memberi itu lebih baik dari menerima."

Tyo terdiam. Sejenak ia mulai mengagumi wanita di hadapannya.

"Yaudah, kalau gitu saya permisi ya, Mas. Terima kasih sudah hadir dan mau membantu saya."

Wanita itupun melenggang menjauh, sedang dalam berdirinya, Tyo merasa ada yang menyentuh batin.

"Benarkah Sakha mau meninggalkan wanita sepertinya demi seorang Ryanti?"

***

Setelah singgah di lapangan untuk mengecek kemajuan pembangunan hotel, Sakha segera meneruskan perjalanan menuju rumah sakit. Tak lupa segelas bubur kacang hijau menjadi buah tangannya mendatangi tempat pelayanan kesehatan tersebut.

Menuruni mobil, Sakha mengeluarkan ponsel hendak menghubungi sang istri. Seperti alarm, rindu menuntun untuk mendengar suara wanitanya.

Tiga kali menekan panggilan, namun tak satupun yang masuk. Selalu dijawab oleh call center.

"Ada apa sih, dengannya?"

Masih risau, Sakha mencoba memendam sejenak. Langkah yang sudah hampir mencapai pintu pun menjadi alasan untuk tidak lagi menghubungi Ghina untuk beberapa saat.

Dia membuka pintu ruangan lalu menjejakkan kaki kembali di sisi Ryanti.

Wanita itu menyambut sang lelaki idaman dengan senyum merekah.

"Masuk, Mas. Kenapa lama sekali, aku hampir lelah menantimu datang, Mas?"

Serangan pertanyaan bertubi-tubi datang menghujam Sakha. Dia menghela napas sambil memilih duduk di dekat ranjang.

"Mas tadi harus ke lapangan sebentar, 'kan Mas sudah memberi kabar?"

"Ya Mas tapi lama sekali, aku jadi nggak betah nungguinnya."

Ryanti kembali memasang wajah cemberut. Mendapatinya Sakha seperti terlempar untuk mengingat sosok menggemaskan yang ia tinggalkan di rumah.

"Mas mana bubur kacang hijaunya?"

Pertanyaan Ryanti mengembalikan kesadaran Sakha.

"Oh, sebentar biar Mas suapin."

Ryanti makan dengan lahap hingga isi bubur dalam cup habis tak bersisa.

Saat hendak membuang cup ke dalam kotak sampah, seseorang tampak mengetuk pintu.

Sakha dan Ryanti sama-sama menoleh ke arah sumber suara. Tak lama, seorang lelaki berpakaian seragam putih terlihat memasuki ruangan.

"Selamat siang. Maaf mengganggu waktunya, bisa ikut ke ruangan dokter sebentar, Pak."

Sakha menghentikan kegiatannya dan segera menuruti perintah perawat tersebut.

***

Sampai di ruangan dokter.

"Silahkan masuk, Pak."

Sakha masuk dan duduk di sebuah kursi yang langsung berhadapan dengan dokter muda berjilbab ungu itu.

"Apakah Bapak suami dari pasien bernama Ryanti?"

Sakha sedikit melotot, lalu menjawab, "bukan."

"Tapi kemarin, Bapak yang membawanya masuk rumah sakit ini?"

"Iya, dia sudah seperti adik angkat buat saya, Dok."

"Oh."

"Sebenarnya ada apa Dok? Apapun yang terjadi padanya, Dokter bisa memberitahu kepada saya."

Wanita di hadapan Sakha mengangguk-angguk.

"Baiklah Pak, sebenarnya berita bahagia ini harus disampaikan di depan suami dari pasien. Tapi karena suami tidak ada, jadi saya akan menyampaikannya pada sanak saudara dari pasien. Dan saya harap, Bapak bisa menyampaikan kabar bahagia ini pada beliau."

Sakha mengangguk dengan perasaan tak menentu.

"Sesuai hasil pemeriksaan yang kami lakukan tadi pagi. Ternyata Ibuk Ryanti sudah hamil, Pak. Usia kemahilannya sudah memasuki minggu ke tujuh."

Sakha terlonjak, kaget bukan main.

'Ryanti hamil? Sama siapa? Ia yakin tak pernah meniduri seorang gadis selain Ghina istrinya?

***

Sakha kembali ke ruangan dengan raut tak tenang. Ia harus mengabarkan berita duka ini pada Ryanti.

Ah, bukankah dokter itu menyebutnya berita bahagia. Batin Sakha berbisik pelan.

Lalu sisi hatinya yang lain kembali berkata, "bahagia jika kabar itu ditujukan untuk Ghina, seorang wanita yang jelas siapa suaminya. Lha ini malah Ryanti yang hamil. Padahal jelas, dia adalah wanita tanpa ikatan apapun dengan lelaki manapun termasuk dirinya."

"Arggh!"

Sakha mendesah frustasi. Terbayang akannya bagaimana jika nanti Ryanti tak terima dan kembali mencoba melakukan hal-hal tidak baik, menggugurkan semisal.

"Ya Allah, mengapa jadi begini?"

Sakha berhenti mencaci kedaaan sesaat ketika langkahnya hanya tinggal dibatasi pintu.

Dengan berat tangan menggerakkan knop hingga pintu ruangan pun terbuka. Di sana Ryanti tampak sedang asyik dengan ponselnya.

Meski ragu, Sakha tetap melangkah masuk dan berjalan ke sisi wanita itu. Ryanti yang mendapati kehadiran Sakha tampak menghentikan kegiatannya.

"Ada apa, Mas? Dokter bilang apa?"

Sakha menarik napas.

"Dokter bilang, kamu ..."

***


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C14
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login