Download App

Chapter 3: BAB 3

"Yang semua orang butuhkan adalah bukti nyata bukan hanya sekedar kata."

Langit sudah hampir menggelap. Senja sudah mulai terlihat walau baru sedikit. Jarum jam sudah menunjukan pukul 04:20 sore. Adelia baru saja pulang dari sekolah karena baru selesai kumpulan Jurnalistik. Ya, Adelia memang salah satu anggota Jurnalistik yang menduduki bidang menulis. Dia bertugas untuk mencatat setiap berita terbaru yang berasal dari sekolah, seperti halnya siswa-siswi yang memenangi lomba olimpiade atau apapun itu yang pantas untuk diberitakan lalu nanti ditempel di mading sekolah.

Sesekali matanya melirik layar ponsel untuk melihat telah sampai di mana gambar mobil yang terpampang di mapsnya. Memang, Adelia saat ini sedang menunggu taxi online di salah satu halte yang berada di dekat sekolah.

Tak lama sebuah mobil putih berhenti tepat di depannya. Setelah mencocokan plat nomer serta nama mobil dengan yang tertera di aplikasinya, Adelia berjalan mendekati mobil tersebut.

Kaca mobil depan dibuka dan otomatis Adelia langsung bertatapa dengan Sang driver.

"Mbak Adelia?" tanya driver itu.

Adelia mengangguk sopan sembari tersenyum ramah.

"Ya udah. Silahkan masuk!" titah driver itu.

Adelia menurut. Dia langsung masuk dan duduk di bangku belakang. Hari ini Adelia merasa sangat lelah dan ingin segera pulang lalu tidur. Otaknya membutuhkan refreshing dengan cara mimpi dan badannya membutuhkan istirahat dengan cara tidur.

Di saat Adelia tengah asik melamun tiba-tiba mobil berhenti tanpa ada lampu merah sama sekali. Ada dua kemungkinan ; mogok dan ada hewan atau manusia lewat.

"Kenapa, Mas?" tanya Adelia.

"Gak tahu, Mba bentar saya cek dulu," jawab driver.

Sudah sekitar sepuluh menit Adelia menunggu dan dia tidak kunjung mendapat kepastian. Karena kesal, Adelia-pun turun dengan muka yang tidak bisa dibilang santai. Adelia terlanjur marah dan kecewa.

"Kenapa sih, Mas? Lama banget!" ketus Adelia.

"Maaf, Mbak mobilnya mogok."

Muka yang tadi kusut semakin kusut. Rencana yang Adelia susun serapih mungkin langsung kandas diakibatkan mobil mogok. Kalau sudah begini Adelia selalu mempunyai keinginan mencincang orang.

"Terus gimana, Mas?"

Driver itu gelagapan. Sepertinya dia juga bingung harus bagaimana. Di satu sisi dia tidak ingin kehilangan pelanggan namun di sisi lain dia juga tidak ingin bersikap egois. Dia tidak tega kalau harus membiarkan Adelia menunggu.

"Gini aja, Mbak bayar sebagian aja, gak papa," kata driver.

"Ya udah, lain kali sebelum jemput customer cek dulu kendarannya," ujar Adelia sambil memberikan uang kepada driver.

"Maaf ya, Mba atas ketidak nyamanannya."

Adelia tidak menjawab. Dia sedang berpikir bagaimana cara dirinya pulang. Bisa saja dia memesan kembali taxi online namun uangnya tidak cukup. Bisa juga dia jalan kaki namun jaraknya cukup jauh. Sekarang Adelia luntang lantung tidak jelas.

Satu persatu air hujan mulai turun, Adelia semakin prustasi. Dia ingin pulang dan ingin cepat berpelukan dengan kasurnya. Tak jauh dari tempatnya berdiri driver taxi online yang tadi ditumpangi Adelia masih sibuk dengan mobilnya.

"Del!"

Mendengar panggilan seseorang, dengan cepat Adelia langsung menengadah dan matanya mendapati Dikta yang sedang duduk di balik kemudi.

"Dikta!"

"Ngapain masih di sini?" tanya Dikta.

"Gue mau balik tapi taxi yang gue tumpangi mogok. Tuh taxi-nya!" kata Adelia sambil menunjuk mobil yang sedang diotak-atik oleh driver tadi.

"Ya udah masuk!" titah Dikta.

Mata Adelia berbinar dan itu terlihat lucu di mata Dikta. Dikta ingin sekali mencubit gemas pipi Adelia namun dia sadar, dia bukan siapa-siapanya.

"Cepetan!" titah Dikta lagi karena Adelia tak kunjung masuk.

"Ah iya-iya," balas Adelia lalu segera masuk ke dalam mobil dan duduk di jok samping Dikta.

Selama perjalanan tak ada pembicaraan apapun. Hanya terdengar suara kendaraan dari pengendara lain. Ingin sekali Adelia menyalakan musik tapi entah kenapa suasana di antara mereka sangat canggung tanpa sebab apapun.

Di sisi lain, Dikta juga merasakan kecanggungan itu dan dia sendiripun tidak tahu apa penyebabnya. Yang jelas sekarang Dikta ingin sekali mengutarakan perasaannya namun dia tahu ujungnya selalu ditolak. Bukan sekali-dua kali dia menyatakan perasaannya dan hasilnya selalu sama, Adelia selalu menganggapnya bercanda.

"Del!" panggil Dikta.

Adelia yang saat itu tengah asyik menatap rintikan air hujan lewat jendela di sampingnya langsung menoleh ke arah Dikta yang tengah asyik mengemudi.

"Kenapa?" tanya Adelia.

"Lo mau sampai kapan nganggap perasaan gue bercanda?" tanya Dikta yang terdengar lirih di telinga Adelia.

Sebentar Adelia terpaku dengan pertanyaan yang meluncur dari mulut Dikta. Sebenarnya ini bukan sepenuhnya salah Adelia karena Dikta sendiri seolah mempermainkan perasaannya. Adelia sering melihat Dikta selalu menggoda adik kelas, seangkatan atau bahkan kakak kelas setelah dia menyatakan perasaannya pada Adelia karena itulah Adelia sering menganggap perasaan Dikta bercanda. Adelia ingin bukti nyata bukan sekedar kata-kata.

"Maksudnya?"' ujar Adelia pura-pura tidak mengerti.

"Gue suka sama lo, Del. Dari dulu," ucap Dikta.

"Gue juga suka sama lo," Adelia hanya berani menjawab di dalam hatinya. Dia hanya ingin melihat kesungguhan dari Dikta.

"Gue serius. Gak main-main," kata Dikta menambahi seolah dia tahu apa yang ada di dalam pikiran Adelia.

"Itu ... anu ..." Pikiran Adelia sekarang kosong. Dia tak tahu harus berkata apa seakan pasokan kata di dalam mulutnya habis.

"Kalau lo masih meragukan apa yang gue rasakan. Lo bisa mencoba nerima gue dan jalani semuanya nanti lo sendiri juga akan tahu."

Apa yang dikatakan Dikta memang benar. Bisa saja dia menerima Dikta yang nantinya dia akan tahu apakah Dikta serius atau hanya bermain-main. Namun Adelia hanya takut. Dia takut sakit hati kalau nantinya dia tahu bahwa Dikta hanya bermain-main.

"Kalau lo gak suka atau memang terganggu dengan kehadiran gue, lo bisa jauhin gue," ujar Dikta.

"Eh enggak ... enggak gitu. Gue masih mau mikirin jawabannya. Lo bisa kan kasih gue waktu?" ucap Adelia. Dia memang tidak ingin kehilangan Dikta tapi dia juga tidak ingin menerima Dikta. Egois memang.

"Udah nyampe. Lo istirahat sekarang dan pikirin jawabannya baik-baik."

Mata Adelia melebar, dia baru sadar kalau dia sudah sampai di depan rumahnya. Perjalanan yang seharusnya terasa jauh menjadi terasa dekat karena selama perjalanan pikiran Adelia tak tentu arah.

"Eum ... makasih," ujar Adelia lalu tangannya mulai memegang pintu mobil, berniat untuk turun namun suara seseorang menahannya.

"Del!" panggil Dikta.

"Iya?" balas Adelia sembari matanya menatap mata Dikta yang terlihat teduh di mata Adelia.

Cup!

Tiba-tiba kecupan singkat namun terasa hangat mendarat di kening Adelia. Dikta, Sang pelaku menatap ekspresi Adelia yang nampak kaget dengan perlakuannya barusan. Jujur, Dikta tak berniat mencium Adelia itu adalah gerakan refleks dan Dikta sendiripun menyesalinya. Dia tidak ingin Adelia marah lalu menjauhinya karena perbuatannya barusan.

"I'm sorry. Gue gak bermaksud," lirih Dikta.

"No problem. Gue masuk dulu," jawab Adelia lalu segera turun dan berlari menerobos hujan untuk memasuki rumahnya.

Aneh, Adelia tak merasakan marah, kesal ataupun benci karena Dikta telah menciumnya. Yang dia rasakan adalah senang dan hatinya merasa hangat. Adelia tak munafik bahwa dia sendiri menyukai atau bahkan mencintai Dikta namun hatinya belum kuat untuk merasakan sakit. Itu saja. Sekarang Adelia ingin belajar menerima Dikta dan mencoba menguatkan hatinya apabila nanti di tengah jalan ada badai menerjang hatinya.

*Bersambung*

Thanks for Reading!


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login