Download App

Chapter 16: Ikatan Janji

Hai, selamat membaca

...

Kepalaku semakin berat. Demam ku pun meninggi. Kemarin hanya 39, sekarang sudah 40. Semalam aku sudah meminum obat dan setelah itu tidur. Ketika pagi bangun, bukannya malah membaik tapi kondisiku semakin ambruk. Seluruh orang di rumah terlihat panik, tanpa terkecuali Alif. Aku segera memberi pesan kepada Ayssa bahwa aku tak akan kerja dulu saat ini. Ayssa membalas dengan cepat sambil memberiku ucapan semoga sembuh.

Di pagi hari yang masih dingin diselimuti kabut, Alif segera mengantarku ke dokter dengan meminjam mobil paman. Aku tak bisa apa-apa saat ini. Rasanya menepis keinginannya untuk membawaku ke rumah sakit saja percuma. Dia tak akan mendengar.

Beberapa menit kemudian kami sampai. Melihatku yang sulit berdiri, para suster segera membopongku menggunakan kursi roda. Samar-samar aku melihat Alif yang tampak khawatir dan mengikuti ku di belakang. Entahlah. Makin sini, kepalaku semakin pusing dan akhirnya aku tak mengingat apa pun.

...

Sinar mentari menyemburkan sorotnya. Cahayanya menembus jendela yang tertutup sedikit oleh tirai. Perlahan aku mulai membuka mata, tetapi silaunya mentari membuat mataku sedikit menyipit untuk menetralkan keadaan sekitar.

Aku mengamati posisiku saat ini. Di dalam ruangan bercat putih dengan dinding yang menghadap ke arah ranjang. Belum lagi, aku melihat banyak buah-buahan di meja dekat aku berbaring. Awalnya aku belum menyadari ke beradaanku ini, sampai akhirnya aku melihat infusan yang melekat di tanganku. Oh tidak! Apa aku berada di rumah sakit dengan ruangan yang begitu berkelas ini? Mengapa Alif membawaku ke ruangan sini? Di mana dia mendapat uang?

Aku mulai panik. Meraba-raba ponsel yang rasanya aku simpan di saku. Dan kemudian samar-samar aku mendengar seseorang berjalan menuju kamarku kemudian membuka pintu.

Orang itu membawa sebuah nampan yang berisi semangkuk bubur, air putih dan obat. Dia segera mendekatkan kursinya kemudian duduk agak jauh di sampingku.

Aku melihatnya tampak khawatir. Meskipun mulutnya tak mengatakan apa pun, tapi aku mampu menebak raut mukanya yang nampak kusut. Aku pun mulai bangun dan duduk lalu menerima nampannya.

Dia sedikit menunduk. Seperti tak ingin melihat wajahku. Dan asal kamu tahu, kalau dia ada di posisi ini, sejak dulu aku tak berani menanyakan apa pun padanya. Entah apa yang ia pikirkan, aku hanya bisa menunggunya sampai nanti ia mulai bertanya padaku. Sementara itu, aku terus memerhatikannya sambil menyuap bubur yang rasanya begitu hambar. Ya harap maklum, biasanya makanan rumah sakit memang seperti ini. Tapi tak apa, rasa laparku mengalahkan semuanya.

Aku masih memerhatikannya, menebak kira-kira apa yang ia pikirkan. Ruangan seketika terasa sepi, hingga pada satu titik, aku melihat ada butiran air mata yang tiba-tiba jatuh dari matanya.

Aku yang sedari tadi makan bubur, segera menyimpannya ke atas meja. Sejak kedatangannya kali itu, aku tak pernah lagi melihatnya menangis. Ada apa ini? Apa yang terjadi?

"Alif?" Tanyaku keheranan,"kamu kenapa?"

Aku mendengarnya menghela napas begitu berat. Kepalanya mulai mendongak ke arahku. Aku bisa melihat rautnya kali ini yang tampak berbeda dari sebelumnya. Tatkala aku menegur namanya sekali lagi, dia lantas menangis dan meminta maaf padaku sambil sesenggukan.

Aku yang semula biasa saja mulai panik. Aku bingung harus melakukan apa.

"Alif? Apa yang terjadi? Coba ceritakan baik-baik."

"Maafkan aku Reine." Suaranya terdengar parau.

"Maaf? Maaf untuk apa?" Aku sangat-sangat tak mengerti dengan apa yang ia pikirkan saat ini.

"Aku...." Suaranya tersendat,"aku tak tahu harus bagaimana untuk bisa meminta maaf padamu."

"Meminta maaf karena apa? Coba," aku segera memberikannya air putih, "minumlah. Aku tahu pikiran mu sedang kalut." Awalnya dia enggan mengambil karena air minum itu milikku, tapi aku tetap memaksanya untuk meminumnya.

Setelah semuanya mulai mereda, kuperhatikan mata Alif terlihat kosong. Dia seperti menyembunyikan suatu hal yang penting dariku. Aku yakin, aku yakin dia menyimpan sebuah rahasia yang tak pernah aku ketahui.

"Reine." Kudengar suaranya lirih.

"Iya? Apa kamu sudah tenang?"

Alif mengangguk. "Alhamdulillah."

"Sebenarnya ada apa?" Tanyaku kemudian.

"Maafkan aku."

"Maaf? Maaf untuk apa? Kamu tak pernah berbuat kesalahan padaku tapi kamu minta maaf?"

"Aku bukan teman yang baik."

"Maksudmu?"

"Maksudku... Bagaimana aku bisa menjalani janji kita dulu untuk bersama, kalau hal sekecil ini saja aku tak bisa menjagamu."

Aku diam. Masih ingin mendengar ucapannya yang terlihat akan lagi menyampaikan.

"Sejak pertama kali kita kenal, kamu selalu menjagaku. Bahkan aku masih ingat saat-saat kamu akan menolongku. Dan hal itu pula kamu tak pernah membiarkanku sakit. Kamu seperti penyelamat bagiku Reine. Tapi aku tak bisa melakukan hal yang sama sepertimu." Aku mendengarnya terisak, "buktinya... Hari ini kamu sakit. Itu artinya aku tak bisa menjagamu. Aku bukan teman yang baik untukmu."

Ujarannya membuatku terenyuh. Dia selalu merendah seakan dia bukanlah sosok yang tak bisa apa-apa, dia merendah seakan sosok yang tak berarti bagi siapapun, padahal nyatanya, keberartiannya di kehidupanku seakan sebuah hal sangat sulit aku ungkapan.

Dia istimewa. Dia begitu segalanya.

"Alif...." Aku menepuk pundaknya pelan, "kamu tak usah berpikir seperti itu. Ayo, coba angkat wajahmu dan lihat betapa lucunya raut mu ketika sedang menangis."

Mendengarku dia menyunggingkan senyum.

"Sakit atau tidaknya seseorang, itu adalah takdir yang telah ditentukan oleh Allah. Kamu sendiri yang berkata seperti itu waktu dulu. Jadi kamu jangan menyalahkan diri sendiri untuk soalan seperti ini." Lanjut ku meyakinkan.

Aku tak tahu, meskipun aku sudah melihatnya tenang dan tersenyum, tapi aku melihat seakan-akan ada hal yang ia sembunyikan dariku. Lagi dan lagi. Aku yakin, sorot matanya seperti mengatakan, 'aku ingin bercerita kepadamu Rein. Tapi aku tak bisa.'

Entahlah. Tapi semoga saja semuanya keliru.

"Rein?" dalam keadaan yang hening tiba-tiba Alif bertanya lagi kepadaku.

"Ya?" Jawabku cepat.

"Bagaimana keadaanmu?"

"Alhamdulillah. Aku sudah baik."

"Apa kamu butuh sesuatu?"

"Tidak ada. Terima kasih untuk nampan yang tadi kamu beri."

"Gimana rasanya?"

Aku terdiam.

Kemudian dia tersenyum. "Aku tahu kamu pasti rindu nasi goreng ati ampela, kan?"

"Pasti! Kapan aku dibuatkan olehmu?"

"Nanti saja, kalau kamu sudah sembuh."

Tiba-tiba aku langsung teringat dengan hal yang pertama kali aku tanyakan pada diri sendiri. Bagaimana aku bisa menempati ruangan yang bagus ini di rumah sakit. Aku yakin untuk bayarannya pun pasti mahal. Dari mana dia bisa mendapatkan uang itu?

"Semuanya sudah ada yang menanggung biaya mu Rein. Jadi jangan khawatir."

Terkejut? Pasti. Tapi lagi-lagi dia meyakinkan ku bahwa orang yang membayar semua biaya ini adalah orang baik-baik dan tidak ada niat tersirat apa pun. Sebenarnya aku penasaran siapa orangnya, tapi Alif bersikukuh tak ingin memberi tahu, katanya sudah amanah dari orang itu bahwa jangan memberitahukan identitasnya kepada siapapun, termasuk aku.

Ya sudah, aku tak bisa memaksanya lagi. Aku hanya berharap siapapun orang baik itu, selalu diberi kesehatan oleh Allah dan diberikan rezeki yang melimpah lagi untuk bisa berbuat baik pada seseorang.

"Aku sudah berjanji pada diriku sendiri untuk terus menjagamu semampuku. Ini janji aku Rein. Ingat baik-baik. Kalaupun suatu saat aku harus pergi, akanku kirimkan orang yang mampu menjagamu hingga membuatmu lupa bahwa aku setidaknya pernah hadir menemani hidupmu." Alif mengatakan itu dengan serius.

Sementara aku yang memerhatikan rautnya yang lucu, tak kuasa menahan tawa. Dia seperti orang yang tengah di wawancarai dengan ekspresi datar dan serius. Dan ternyata, gelak tawa ini membuatnya terheran.

"Kamu kenapa?"

Dia masih bertanya. "Oh tidak," kataku sambil mengatur napas.

Dia terdiam.

Sebenarnya aku masih menahan tawa. Tapi aku rasa dia sedang tidak ingin bercanda.

"Baiklah." Kataku melanjutkan.

"Baiklah apa?" Jawabnya.

"Baiklah kalau kamu berpikir seperti itu."

"Memangnya salah?"

"Tidak. Hanya pikiranmu terlalu sempit Alif. Kamu berpikir bahwa aku akan atau bisa melupakanmu?" Aku tertawa kecil. "Tak akan, itu tak akan pernah bisa aku lakukan."

"Kamu pasti bisa, Rein."

"Tak akan. Aku sudah mengikat janji pada diriku sendiri."

"Kamu jangan seperti itu. Masa depanmu masih panjang."

"Iya. Tentunya akan aku jalani bersamamu. Sampai hari tua."

"Itu tak akan pernah terjadi."

Aku terdiam. Sementara rautnya masih terlihat serius. Seketika aku memutar bola mata.

"Hayo lah Alif. Kenapa kamu jadi membosankan seperti ini. Setiap yang kamu ceritakan itu selalu saja tentang kehilangan, atau mungkin jika aku pergi, atau bla-bla-bla. Please untuk jangan katakan itu."

"Kenapa?"

"Karena kehilanganmu, adalah hal yang tak bisa aku bayangkan sebelumnya. Jadi tolong, jangan katakan itu lagi, ya."

"Kan aku katakan seandainya."

"Ya aku tak ingin ada seandainya-seandainya. Intinya jalani saja hari ini dan ikuti alurnya sampai mana. Lagi pula kamu sudah berjanji untuk terus menjagaku, kan?"

Alif mengangguk. "Kalau hari ini kita tak mampu berjalan bersama, aku akan meminta kepada Allah untuk mempertemukan kita di syurga-Nya nanti."

"Bet- eh!" Aku mengingat ucapan yang baru saja Alif lontarkan padaku, "Tidak. Aku akan meminta pada Allah agar terus bersamamu di sini, ataupun di syurga-Nya nanti."

Dia tersenyum kemudian segera merogoh saku. Aku melihatnya membawa sebuah kotak kecil berwarna putih. Setelah itu dia menyimpannya di sampingku.

"Aku sudah memberi tahu pada ibu dan ayahmu. Juga pada paman dan bibimu. Tapi beliau tidak ada di sini. Jadi aku akan mengutarakannya sendiri padamu."

"Mengutarakan apa?" Tanyaku.

"Kebersamaan kita selama ini, telah membawaku pada hiruk-pikuk kehidupan yang indah. Aku pasti tak akan melupakan semua itu. Karena kamu sudah tahu, aku bukanlah sosok pria yang mudah berbaur seperti pria lain. Aku ini berbeda. Aku memiliki pengalaman-pengalaman buruk yang membuatku seakan tak pantas berdiri dengan manusia yang lain."

"Tapi Alif saat ini, jauh berbeda dengan Alif yang pertama kali aku kenal."

"Ya. Semua itu karena mu. Dan jika boleh jujur, sebelum mengenalmu saat itu temanku hanyalah buku. Atau kalau aku sedang bosan membaca, aku merampungkan hapalan yang alhamdulilah sekarang sudah selesai. Kehidupan ku hanyalah seputar itu Reine. Tapi setelah mengenalmu, membuatku sadar bahwa dunia masih ingin memelukku juga memberi semangat padaku."

"Sudah menjadi ketentuan Allah, dan semua itu adalah tugasku untuk menjagamu semampuku."

"Reine?" Katanya lagi.

"Ya?"

Aku mendengarnya menghela napas begitu berat. Seperti ada jeda dengan apa yang ingin ia katakan. "Ini adalah sebuah keputusan yang sebenarnya sudah aku harapkan dari dulu. Maafkan bila aku terlalu lancang. Tapi pertemanan ini membawaku pada ruang kenyamanan yang selalu ingin aku pertahankan entah sampai kapan. Izinkan aku berkata jujur padamu."

Aku mengangguk pelan dengan hati  begitu kalut. Percayalah, sedari tadi jantungku berdetak tak karuan.

"Biidznillah," dia terdiam sejenak, "aku ingin menikahi mu."

Seakan ada angin lembut yang masuk ke pori-pori, hingga darah bedesir begitu cepat tanpa terasa sesak. Kalimat yang ia ucapkan, sepertinya aku sedang bermimpi.

"Menikahi ku?" Kataku memperjelas.

Lagi-lagi, kulihat matanya berkaca-kaca lalu setelah itu menunduk lumayan lama. Perlu diketahui, belakangan ini aku sering melihat Alif menangis diam-diam tapi aku bisa mengetahuinya. Ketika aku mendapatinya tengah duduk di kamar dengan mata yang kosong, selalu saja ada air mata yang jatuh. Dan belakangan ini pula aku sering mendapatinya tengah melamun seperti memikirkan sesuatu. Padahal yang aku tahu, dia adalah sosok yang tegar dan tak mudah melakukan hal seperti itu. Entah ada masalah apa yang ia miliki. Tapi sepertinya beberapa hari kemudian dia pasti akan bercerita padaku. Aku yakin.

"Cinta itu egois Reine." Katanya sambil terisak, "aku sering bertanya pada diri sendiri sebenarnya apa ini? Sebenarnya apa yang aku rasakan saat aku bisa tertawa, bercanda dan mengobrol bersamamu? Aku berusaha menepis dengan hal yang berbau cinta. Kamu juga tahu aku jarang sekali mengatakan kata itu. Tapi nyatanya, aku tak bisa mengelak. Aku tak bisa mengelak bahwa aku mencintaimu. Dan ingin benar-benar memilikimu seutuhnya. Aku tak peduli dengan hal yang akan terjadi nantinya, yang terpenting aku hanya ingin membuatmu menjadi milik ku. Karena bagiku, kamu adalah wanita pertama dan terakhir ku."

Tak terasa mataku memanas. Rasanya tiba-tiba suhu di ruangan ini begitu panas hingga membuat pipiku terasa hangat. Aku tak percaya. Aku mulai mencubit pipiku, kalau saja ini hanyalah mimpi. Tapi nyatanya terasa sakit. Ini benar-benar nyata. Mimpi yang selama ini aku gantungkan di langit, ternyata Allah mendengar semuanya.

Alif, andai kamu tahu. Ucapan inilah yang selama ini aku nanti dari mulutmu.

Dan hari ini, kamu melakukan semuanya.

"Kita seakan dua raga tetapi satu jiwa yang sulit dipisahkan." Jawabku yang melihatnya masih sedikit tertunduk. "Sejak pertama kali mengenalmu, aku merasa bahwa inilah pria yang akan menemaniku hingga nanti. Walau aku tahu kamu tak seromantis pria lain. Menyentuh jariku pun kamu tak pernah melakukan dan sama sekali tak berniat. Hal ini yang membuatku luluh. Aku menyukai hal-hal yang ada pada dirimu. Dan tentunya, aku juga ingin menikah denganmu."

Tiba-tiba Alif mengangkat wajahnya."Benarkah?"

Aku mengangguk mantap.

Ia segera mengusap air matanya lalu membuka kotak putih yang disimpan di sampingku. Aku baru menyadari, ternyata di dalam kotak itu terdapat dua cincin putih yang katanya, cincin putih ini adalah pertanda bahwa ia telah di ikat oleh seseorang.

Lantas kotak itu ia sodorkan padaku.

"Pakailah cincin itu, maaf aku belum bisa memakaikannya karena itu bukanlah kewajibanku. Sejatinya kita masih orang lain, dan masih menjadi orang asing, aku harap kamu mengerti. Dan yang satunya akan aku simpan di tempat yang aman."

Aku segera memakaikan cincin itu yang terasa pas di jari manis tangan kiri ku. "Aku mengerti Alif. Lagi pula sejak pertama kali kita kenal kapan pula kamu menyentuh tanganku. Kamu ini pandai dalam urusan agama. Sedangkan aku, masih perlu belajar banyak darimu."

"Aku takut Rein. Aku takut pada murka Allah yang begitu mengerikan dan pastinya tak pernah aku sangka seperti apa dahsyatnya. Oh iya, sebenarnya kita tidak berdua di sini, ada bibi yang sebenarnya menguping pembicaraan kita di luar. Lagipula pintunya terbuka lebar. Jadi kamu jangan khawatir."

"Tentu. Aku percaya penuh padamu. Dan semoga ikatan ini bisa berlanjut hingga hari pernikahan, juga hari-hari berikutnya."

"Aamiinn."

...

Assalamualaikum (:

Gimana lanjutannya? Semoga ga bosen ya menyelami kehidupan yang sepertinya cukup rumit ini hehe,

ohiya, kalau ada kesempatan, silakan di review ya karya saya dan jangan lupa tambahkan rating juga agar menjadi motivasi saya ke depannya. kalo mau ngasih gift juga gapapa hehe. terima kasih^^

Phir Milenge

Salam


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C16
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login