Download App

Chapter 22: 22. Egois

Lily membuka pintu mobil untuk adiknya, Aster. Desi menghampiri kedua anaknya dari dalam rumah. Membantu Lily menuntun adiknya berjalan masuk menuju kamarnya.

Lily memutar kedua bahunya yang terasa pegal karena terus menjaga adiknya seharian ini.

"Kamu tu aneh-aneh aja dek, tinggal pulang kerumah pake acara jatuh di kamar mandi." Aster menampilkan deretan giginya tak merasa berdosa saat Lily mengingatkan kejadian tadi pagi ketika masih dirumah sakit.

"Tau tuh, bikin mama jantungan aja tau gak. Udah kayak gajah aja kakinya."

"Musibah ma." Desi menonyor kepala anak keduanya. "Eh gak kena." Aster menghindar dengan lihai, membuat semua yang ada diruangan itu tertawa.

"Udahlah kamu istirahat dulu, mama mau masak makan siang."

"Untung gak disuruh nambah hari di rumah sakit." Aster mengangkat kaki kirinya yang membengkak, dengan sigap Lily membantu adiknya menaikkannya.

"Emang kenapa?"

"Minggu depan aku ada pertandingan basket." Lily mengerutkan dahinya.

"Lah, pake kaki kayak gini emang bisa?" Aster membulatkan matanya terkejut. Kaki yang digunakannya untuk berlari di lapangan ini sedang tidak bersahabat.

Aster menjatuhkan dirinya kekasur dan menarik bantal untuk menutupi wajahnya. Kemudian memukulkan tangannya ke bantal itu.

"Ceroboh." Lily mengambil tempat disamping Aster.

"Ya udah, berarti pertandingannya gak boleh ikut dulu." Aster meminggirkan bantal yang ada didepan wajahnya, menatap kakaknya kesal. "Ya biasa aja kali. Kok malah kesel ke kakak."

"Tapi Aster gak bisa melewatkan teriakkan mbak-mbak cantik pas tanding besok."

"Yeee, doyannya sama yang tua."

"Ya gak apa dong. Yang dewasa lebih menggoda." Lily memukul kaki Aster yang bengkak itu perlahan, tapi dengan dramanya, Aster meringis kesakitan.

Lily mendecakkan lidahnya. Tidak akan tertipu dan melayangkan pukulan lagi ke kaki Aster dengan lebih keras.

"Kak! Sakit beneran tau!"

"Gak tau, gak ngerasain." Lily menjulurkan lidahnya, namun tangannya tetap senantiasa mengelus lembut kepala adiknya.

"Kak, udah baikan sama kak Angkasa?" Lily hendak memukul kaki Aster yang bengkak lagi, tapi diurungkannya.

Lily menggeleng lemah. Padahal setelah mengantar Lily pulang, Angkasa sudah tidak marah lagi padanya. Kenyataannya, Angkasa menjauhinya beberapa hari ini.

Jika istirahat, beralasan belajar di perpustakaan buat lomba. Jika pulang, beralasan diminta cepat pulang. Gak masuk akal, Nyonya Ida tidak mungkin melakukan itu.

Jika malam, Angkasa tidak ada dirumah karena harus bekerja. Lily hampir lupa jika Angkasa bukanlah seorang manusia biasa melainkan super model yang super sibuk.

Ini karena mereka akhir-akhir ini selalu berkumpul bersama, membuat Lily lupa siapa Angkasa.

Hp Lily berdering, mendapat panggilan masuk dari Kak Sean.

"Ya udah istirahat dulu, pokoknya minggu depan gak boleh ikut basket dulu."

Aster mengangguk kemudian menarik selimut saat Lily sudah keluar, menutup pintu kamarnya.

*

"Halo?"  Lily menggeser tombol hijau sembari menutup pintu Aster perlahan.

"Udah pulang Ly?"

"Udah, baru aja."

"Kerumah gue dong Ly, tolongin kakak." Lily melangkahkan kakinya menuruni tangga.

"Kenapa emang?"

"Tongkat gue kelempar. Tolong ambilin." Lily bersandar santai di sofa ruang tamunya.

"Tante sama om kemana?"

"Lagi ambil obat yang ketinggalan di rumah sakit, papa yang anterin."

"Oh, lha Angkasa?"

"Angkasa kerja. Biasa model."

"Di hari minggu sore ini?"

"Iya, udah dari pagi. Cepet Ly, udah pengen berak ini."

"Ewh, jorok banget. Ya ya, ini otw."

"Ya bangun, jangan duduk aja." Lily menatap keseluruh ruang tamunya, melihat keluar pintu dan jendela. Lily merasa horor.

"Kok tau?"

"Cepet. Gak pake lama." Sambungan telfon terputus. Lily tak punya banyak waktu berfikir segera pergi kerumah sebelah.

*

Lily membuka pintu kamar Kak Sean. Terkejut mendapati Kak Sean yang terduduk di bawah, disamping ranjangnya untuk mengambil tongkat yang berada dibawah ranjang.

"Kak, ngapain disitu." Lily bergegas mengintip kolong bawah kasur, melihat tongkat, alat bantu jalan Kak Sean ada disana.

"Kok bisa sampe sana?"

"Tadi mau aku ambil pake kaki yang gak luka tapi malah tambah jauh. Hehe."

Lily hendak tengkurap untuk masuk dalam kolong ranjang, mengambil tongkat.

"Eh Ly, jangan diambilin dulu. Anter gue dulu ke kamar mandi. Udah gak tahan." Lily berdecak sebal membantu Kak Sean berdiri.

"Makanya punya kasur besarnya jangan kayak kamar aku!" Lily segera menutup pintu setelah berhasil mendudukkan Kak Sean di toilet duduk.

Lily tengkurap masuk dibawah kasur mencoba mengambil tongkat itu, tanpa diduga Lily masuk terlalu dalam membuatnya sulit untuk keluar.

Lily mencoba membelok ke kanan dan kekiri tapi ternyata lebih susah dari perkiraannya. Sialan. Kasur besar yang selalu Lily impikan ini ternyata tak seindah kenyataan.

Lily terkejut saat seseorang memegang kakinya dan tanpa aba-aba menariknya. Lily keluar dengan selamat walau tubuh penuh dengan debu. Lily menghela nafas lega saat tangannya berhasil membawa ikut serta tongkat sialan itu.

"Ehem." Dehaman itu membuat Lily menoleh menatap sesorang yang membantunya keluar.

"Angkasa kapan pulang?" Angkasa tak menghiraukan pertanyaan Lily dan beralih duduk dikasur Kak Sean, di hadapan Lily yang masih terduduk dibawah.

"Kamu ngapain disini berduaan sama Kak Sean? Gak ada om sama tante."

"Oh, disuruh Kak Sean ambilin ini." Lily menunjukkan tongkat itu pada Angkasa.

"Kenapa gak Aster aja?"

"Aster kakinya juga luka."

"Kayaknya cuma lecet aja deh." Ujar Angkasa curiga.

"Beneran, baru tadi pagi jatuh di kamar mandi rumah sakit, tanya aja Nyonya Ida kalau gak percaya." Saat kejadian itu terjadi memang ketika Nyonya Ida menjemput Kak Sean untuk pulang dan mampir ke kamar Aster.

"Kenapa gak telfon aku?"

"Gak kepikiran. Lagian Kak Sean keburu berak dicelana kalau aku telfon kamu."

"Gak boleh. Besok lagi harus telfon aku."

"Kok egois."

"Kamu juga jangan berduaan sama Kak Sean. Ayo keluar!" Tanpa aba-aba Angkasa menarik paksa tangan Lily meninggalkan kamar.

"Sa! Kak Sean lagi di kamar mandi, nanti keluarnya gimana?" Angkasa menulikan telinganya, terus menarik Lily.

"Sa! Lepas!" Lily menghentakan tangannya dengan kuat sehingga terlepas dari genggaman Angkasa. Lily memegang tangannya yang menjadi merah.

Lily bisa melihat sorot penyesalan dari mata Angkasa, tapi Angkasa masih terdiam, tak ada niatan untuk berbicara pada Lily.

"Kamu gak mau minta maaf?" Angkasa masih terdiam. Lily menarik air matanya yang hampir saja keluar dihadapan Angkasa.

"Kamu tahu? Kamu yang kasar kayak gini itu nyakitin aku." Lily masih berdiri disana, menunggu Angkasa untuk mengatakan sesuatu padanya.

"Lily! Tongkat aku mana!" Suara teriakan Kak Sean membuat Lily bergegas keatas. Lily berbalik kembali kehadapan Angkasa.

"Nyebelin!" Ya, hanya untuk mengatakan itu. Lalu kembali ke kamar Kak Sean membantunya memberikan tongkat yang tadi menjadi saksi bisu atas kejadian yang baru dialami Lily.

"Eh Ly, tadi aku denger ada suara Angkasa orangnya mana?" Lily mendengus sebal, melangkah pergi tanpa berniat membalas pertanyaan Sean.

"Humph!!" Melewati Angkasa dengan cuek. Tentu saja Lily marah, dasar Angkasa! Karena hanya hal kecil saja Angkasa jadi sampai seperti itu.

Lily ingin menendangnya ke planet yang tidak ada bunganya agar tidak perlu menyakiti Lily yang lain.

____

Jangan lupa beri power stone!

Komen yang membangun sangat terbuka

Terima kasih


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C22
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login