Download App

Chapter 5: Hunt Part 1

Sihir, konsep sihir di dunia ini adalah menggunakan sigil. Sigil sendiri merupakan suatu manifestasi dari mana seorang manusia.

Dengan mengalirkan mana ke arah telapak tangan, lalu memfokuskan pikiran seraya membaca beberapa utas mantra maka seseorang bisa memunculkan sigil mereka.

Namun, sebelum itu biasanya seseorang harus menemukan afinitas sihir mereka terlebih dahulu. Yaitu, dengan cara mengalirkan mana ke arah tangan tanpa mengucapkan mantra. Dengan begitu, mana seseorang akan mengalir ke luar tubuhnya tanpa membentuk sigil.

"Dengar, kau harus fokus dan tetap tenang saat melakukannya. Kau hanya perlu berkonsentrasi dan membiarkan tubuhmu mengalirkan mana secara natural ke arah telapakmu."

"Baiklah, aku mengerti," ujar Hikaru, dia begitu sigap memperhatikan penjelasan Alvia.

"Oke, aku akan mempraktekkannya."

Alvia membuka telapak tangan kiri, dia memejam lalu menarik nafas singkat. Mulailah gadis itu mengalirkan mana ke telapak tangannya tersebut. Samar-samar, tampak cahaya hijau yang berpendar redup di atasnya.

"Afinitas sihir adalah kecocokan mana kita kepada suatu elemen alam. Merah artinya api, biru artinya air, hijau artinya angin, jingga artinya tanah dan kuning artinya petir. Itu adalah 5 elemen yang menjadi afinitas sihir di dunia ini."

Hikaru terkesima, matanya tak henti-henti memandang gelombang hijau yang menari-nari di atas permukaan tangan Alvia.

Tarian mana, bak aurora di langit malam benua es yang anggun dan mempesona.

"Sekarang, cobalah kau alirkan manamu."

Hikaru mengangguk, "Baiklah, aku akan mencobanya."

Hikaru membuka telapak tangan kirinya– seperti Alvia. Dia memejamkan mata seraya menghela nafas dalam-dalam. Hikaru berkonsentrasi, segenap pikirannya fokus untuk mengalirkan mananya.

Terasa sedikit lama Hikaru berusaha, namun dia sama sekali belum berhasil mengalirkan mana. Hikaru sampai-sampai mengencangkan otot lengannya namun akhirnya menyerah dan menyeru tak berdaya.

"Fuhaaah! Aku gagal. Kenapa aku tidak bisa melakukannya?"

"Kau harus tenang, fokuskan pikiranmu. Mana yang mengalir dalam diri manusia berasal dari dalam Mana Core. Itu letaknya ada di jantung. Jadi, jangan gugup agar kau bisa mengalirkan mana dengan lancar," tutur Alvia.

Bibir Hikaru mengerucut lurus memahaminya, "Akan kucoba sekali lagi."

Untuk sekali lagi, Hikaru mencoba. Dia memejamkan mata dan memfokuskan diri secara penuh. Tak ada yang bisa mengganggunya, bahkan tawa bocah-bocah panti tak dapat menggoyahkan konsentrasinya.

Akan tetapi, tiba-tiba datang malapetaka kepada Hikaru. Sebuah tepukan di bahunya meruntuhkan segala konsentrasi yang telah dihimpunnya.

"Yo, apa yang kalian lakukan?" Flash menyapa.

"Argh, tuan Flash, apa yang kau lakukan?" Alis Alvia saling bertaut.

"Eh? Memangnya apa yang kulakukan?"

"Kau mengganggu konsentrasi Hikaru. Kami sedang berlatih mengalirkan mana."

"O~oh, benarkah? Fuahahaha, maafkan aku. Aku tidak tahu hal itu."

Tawa Flash begitu canggung, seakan memaksa. Hikaru dan Alvia pun hanya menghela nafas pasrah.

"Dasar tuan Flash," Alvia memurungkan wajah.

"Ahahaha, ya maafkanlah pria tua ini." Flash memegangi kepala belakangnya, "Ngomong-omong, aku akan memasang mantra penghalang di sekitar bilik rawat. Apa kalian mau membantu?"

Flash membawa beberapa batu yang telah diberi beberapa mantra sihir penghalang di tangannya.

"Memangnya pembasmiannya sudah mau mulai, tuan?" tanya Hikaru.

"Belum, sih. Tapi, sebelum itu mantra penghalangnya harus kupasang terlebih dahulu," cakap Flash, "Mau ikut?"

Alvia bersedekap dan dengan tegas menolak ajakan pria tua tersebut.

"Tidak, kami sedang berlatih. Jangan ganggu kami."

"Jangn seperti itu, Alvia," pungkas Hikaru, "Kita bantu dulu tuan Flash. Baru kita lanjutkan latihannya lagi."

"Aeh?" Alvia mengerjap beberapa kali, kemudian menjawab pasrah, "Apa boleh buat? Kalau begitu maumu."

"Hehe... Terima kasih atas bantuannya," ucap Flash dilanjutkan kekehan singkat.

Hikaru tersenyum dan membalas, "Dengan senang hati."

Mereka bertiga pun beranjak dan memasang mantra penghalang di sekitar bilik rawat. Mantra penghalang tersebut merek tanam di tanah terlebih dahulu dan kemudian diaktifkan dengan cara mengalirinya dengan mana. Tentu saja, Hikaru tidak ambil peran dalam hal ini. Dia hanya membantu menggali lubang saja.

Setelah selesai ketiganya kembali ke depan teras rumah Flash.

Mereka bertiga berbincang-bincang tentang berbagai hal. Juga, Alvia dan Flash mengajari Hikaru tentang sedikit ilmu pengetahuan sihir kepadanya.

Selain sihir yang berdasarkan elemen yang disebut Elemental Magic, di dunia ini juga ada sihir non-elemental. Contohnya adalah sihir penyembuhan, pemanggilan dan penyegelan. Serta masih banyak macam lainnya.

Satu jam pun berlalu, begitu lama mereka berbincang. Hingga akhirnya tak sadar hari telah sore. Surya perlahan tergelincir di ufuk barat, keperkasaannya kian meredup berganti semburat oranye yang anggun.

Raven pun datang membawa seekor kambing di punggungnya. Dia bertelanjang dada, menampilkan lekuk tubuh kekar berototnya.

"Kita jadi lakukan pembasmiannya atau tidak?" tanyanya malas kepada Flash.

"A-ah, iya. Aku hampir lupa. Sekarang sudah sore, ya?" Flash memandang ke angkasa.

Raven menghela nafasnya singkat lantas berpaling.

"Kita mulai saja sekarang, aku akan memancing kadal-kadal itu kemari."

"Berhati-hatilah, Raven."

"Baik, guru."

Flash berdiri dan menuruni anak tangga kecil di depan terasnya.

"Kalian berdua jagalah anak-anak. Seharusnya dengan mantra pelindung tidak akan ada Swamptail yang masuk ke bilik rawat. Tapi, untuk berjaga-jaga bawalah pedang atau senjata lainnya dari gudang bersama kalian."

"Baik, tuan Flash. Berhati-hatilah, jangan buat aku kerepotan dengan luka-luka kalian," sahut Alvia.

Flash hanya membalas dengan senyuman, lalu melenggang pergi menuju padang ilalang. Dia mengibaskan tangan kanannya, tiba-tiba muncul sebilah belati sepanjang lengan di genggamannya.

"Nah, Hikaru. Ayo kita cari anak-anak. Kita bawa mereka ke panti. Kita juga bisa berlatih mengalirkan mana di dalam sana," celetuk Alvia.

"Ehm, tentu saja."

Dua remaja itu segera mencari tiga serangkai yang berkeliaran di bilik rawat.

Tak butuh waktu lama bagi mereka untuk menemukan anak-anak itu. Tawa riang dan langkah kaki mereka begitu riuh meramaikan bilik rawat. Alvia dan Flash pun segera membawa mereka ke dalam gedung panti.

Semua pintu keduanya kunci. Terkecuali sebuah pintu di bagian belakang yang dekat dengan perapian.

Tak lupa, Hikaru juga membawa sebilah pedang bersamanya. Entah dia bisa menggunakannya atau tidak. Yang jelas, setidaknya itu bisa dia gunakan untuk melindungi diri bersama anak-anak jikalau terjadi sesuatu diluar dugaan.

"Nah, bagaimana kalau kita berlatih sihir sekarang?"

Anak-anak menyambut meriah tawaran dari Alvia tersebut.

"Bagus, kak Hikaru juga akan berlatih bersama kita."

Tanya, Hesney dan June segera mengalihkan pandangan kepada pemuda itu. Mereka menatapnya dengan polos.

"Kakak sudah tua begini tidak bisa menggunakan sihir?" celetuk Tanya tiba-tiba.

Bagai tersambar petir hati Hikaru. Pertanyaan itu menusuk masuk ke dalam perasaaannya.

"Ah, aku lupa cara menggunakannya," jawab Hikaru pelan.

"Kalau begitu kita berdua akan belajar bersama!" Hesney berujar.

"Itulah yang akan kita lakukan," belai Alvia kepada rambut anak lelaki itu, "Ayo kita mulai saja latihannya."

Anak-anak pun berseru bahagia. Mereka berlima memulai latihan yang sederhana itu. Dalam pelatigan tersebut, Hikaru menjadi peserta tertua sekaligus yang paling lambat belajar.

Setengah jam berlalu, senja semakin gelap.

Flash duduk bersila di depan jalan setapak yang dia telah pasangi sebuah mantra jebakan. Mantra tersebut dia tutupi dengan tanah dan dedaunan sehingga menyembunyikan cahayanya.

Mata pria tua itu terpejam, sekilas nampak tenang, namun sebenarnya masih ada kerisauan dalam dirinya. Tentu saja, anak-anak lah yang menjadi alasan.

"Mereka datang." Mata Flash terbuka.

Dia beranjak naik dari duduknya, sebilah belati tergenggam di tangannya.

Flash membentuk kuda-kuda; kaki kiri di depan, kaki kanan di belakang, tangan kiri sejajar dengan kepala sedang tangan kanan memegang belati berada lebih rendah dari bahu.

Flash memposisikan belatinya miring, membelah angin.

Tatapan pria tua itu tajam ke arah jalan setapak yanh perlahan menjadi hitam di ujung jauh karena lebatnya pepohonan.

Gemuruh tapak kaki mulai terdengar. Suara yang riuh itu memecah kesunyian hutan yang kekal. Burung-burung berterbangan dari sarangnya sebagai respon. Sedang Flash makin kencang menggenggam belatinya.

Nampak Raven di kejauhan, kambing sekarat itu masih ada di punggungnya.

Dia berlaru begitu kencang, lantas melompati jebakan yang dibuat oleh Flash dan berbalik seraya melepaskan kambing tadi dari punggungnya.

"Itu mereka!"

Sekumpulan kadal bipedal datang berlarian dari dalam hutan. Lidah mereka terjulur panjang. Sepasang tangan kecil dengan cakar berada di bagian depan tubuh mereka.

Kala mereka menginjak jebakan yang Flash buat, pria tua itu langsung merapal sebuah mantra.

"Terbakarlah, Fire Magic first stage: Incinerate!"

Berkobar api tiba-tiba dari jebakan yang dipijak oleh para Swamptail. Terbakarlah semua kadal yang terkena kobaran api tersebut. Raungan kesakitan mereka lengkingkan, nyawa di ujung nafas tak segera lepas menunggu api membakar habis badan.

Penyiksaan oleh api, selalu menahan nyawa untuk meregang.

Tak semua Swamptail terbakar oleh mantra sihir api milik Flash. Yang lain dibelakang yang terbakar berlari memutari jebakan dan menyerbu padang ilalang.

Raven segera merapal dan memunculkan sigil miliknya. Sigil tersebut berwarna ungu menyorok hitam. Seperti bayangan dari pribadi di tengah terik siang.

"Shadow Magic: Arm Of Abyss!"

Keluar sepasang tangan kurus kering berwarna hitam dengan cakar tajam nan panjang dari balik punggung Raven.

Gerombolan Swamptail berlarian mendekat ke arah Flash. Rahang mereka terbuka lebar, menampilkan deretan gigi tajam dan lidah yang terjulur panjang menjuntai.

Flash menarik nafasnya dalam-dalam, lantas menghimpun kekuatan dan menebas belatinya ke arah para Swamptail di depan.

Bilah Flash membelah angin, udara seakan tersayat oleh tebasannya. Dan pada saat itu juga, sebuah tiupan angin kencang berhembus ke arah para Swamptail di hadapan Flash.

Terbelahlah belasan dari mereka dalam sekali serangan. Darah bercipratan pada dedaunan ilalang.

"Matilah!"

Raven menyeru kencang, dia kerahkan dua tangan bayangannya ke arah kadal-kadal hijau tak berakal tersebut.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C5
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login