Download App

Chapter 2: 02.

Apakah sekarang April Mop?

Demi Tuhan! Bagaimana mungkin orang-orang berpikir bahwa onggokan daging ini adalah Mike? Apa buktinya?Apakah ini semacam lelucon? Jika ini lelucon, maka ini adalah lelucon yang jahat!

Jean mengedarkan pandangannya, menatap satu per satu orang dalam ruangan. Alisnya berkerut dalam, berusaha mencerna apa yang dikatakan polisi gempal itu barusan. Bom yang meledak hanya menyisakan sedikit dari jasad Mike yang dapat kami bawa kembali.

Kemarahannya memuncak, karena merasa sedang dipermainkan. Para lelaki ini—apapun pangkat yang sudah mereka sebutkan tadi dan yang tidak didengarnya—pasti sedang berbohong entah untuk tujuan apa. Setelah yang mereka lakukan padanya, menyeretnya pergi dari tugas yang mulia sebagai seorang perawat, sekarang dia diberi tahu bahwa Mike telah meninggal dalam sebuah misi?

“Kalian bohong! Ini tidak mungkin! Pinjamkan aku ponsel. Akan kubuktikan bahwa Mike saat ini juga sedang berada di kantornya,” teriak Jean dengan bibir bergetar. Suaminya tidak mungkin pergi dalam sebuah misi tanpa memberi tahu dia sebelumnya. Jadi, jelas onggokan daging di depan bukanlah Mike!

“Tenang, Bu. Ini mengapa aku meminta anak buahku untuk tidak mengatakan apapun selama mengawalmu kemari. Kami sangat mengerti kegusaranmu, tapi kami tidak berbo—”

“Tenang?” potong Jean dengan nada tinggi. Seluruh tubuhnya gemetar sekarang. Perasaan marah dan frustrasi seperti sudah meracuni aliran darahnya. Dia ingin meraih nampan metal yang berisi serpihan daging dan melemparnya ke udara. “Katakan saja, apa tujuan kalian sebenarnya? Apakah Mike yang merencanakan lelucon ini? Apa buktinya—”

“Ini.”

Dokter itu membuat gerakan seperti isyarat, kemudian seorang suster keluar membawa sebuah nampan kecil. Di atasnya terletak dompet kulit yang nyaris tidak berbentuk beserta isinya. Jean hanya melirik nampan kecil itu sekilas, dan tidak tertarik, siapapun bisa memalsukan identitas seseorang.

“Dan, ini.”

Jemari dokter dalam sarung tangan lateks mengambil sesuatu dari tumpukan daging. Sepotong jari manis bercincin kawin diletakkan persis di depan Jean.

Pandangannya terkunci pada potongan jari manis di hadapan. Tanpa perlu lagi mengecek, Jean sangat mengenali cincin yang melingkar sama di jarinya. Keinginannya untuk menyangkal lagi, membuat bibir berulas merah muda itu membuka dan menutup tanpa ada kata yang keluar.

Pikiran Jean berusaha memberi pengertian pada hatinya yang masih menyangkal. Rusuknya mulai bergerak kembang kempis dengan ekstrim dan ritme yang cepat, berjuang untuk mendapatkan oksigen, karena dadanya terasa sakit sekarang. Sebulir dua bulir air mata jatuh sebelum histeria merobek-robek dirinya.

Polisi di belakangnya bertindak cepat, mengamankan Jean dengan mengurung dirinya dalam cekalan tangan berotot, ketika dia hendak mendekat ke barang bukti yang merupakan bagian dari tubuh Mike.

Jean menjerit sekuat tenaga di tengah tangisnya. Dia meronta, menendang, dan berusaha mencakar polisi itu agar melepaskannya. Berengsek! Itu Mike! Itu suaminya! Mengapa mereka tidak membiarkan dia menyentuhnya?

Ketika kakinya tak mampu menopang tubuh lagi, polisi itu melepaskannya. Membiarkan Jean terpernyak di lantai dan menangis sejadinya. Kata-kata penghiburan yang datang dari polisi di belakang tidak terdengar, ketika pada akhirnya hati itu menyerah dan menerima kenyataan bahwa Mike telah tiada.

***

Empat jam berlalu, sejak histerianya ditenangkan oleh orang-orang dari pihak kepolisian dan rumah sakit. Mereka mendudukkannya di sebuah kursi, kemudian meminta tanda tangannya di beberapa berkas yang Jean sendiri tidak tahu apa isinya. Dia melakukan apapun yang mereka perintahkan, asalkan orang-orang dingin itu bisa cepat pergi dan meninggalkannya sendiri.

Empat jam berlalu, Jean yang masih duduk di kursi depan ruang di mana jasad Mike berada. Kepalanya tersandar ke dinding kelabu di samping, sementara tubuhnya duduk kuyu di kursi tunggu di depan ruang otopsi jenazah RSCM. Perasaan dan air mata, rasanya kering sudah. Seharusnya dia pulang dan tidur, tapi Jean masih berharap ini semua hanyalah mimpi buruk, dan seseorang akan membangunkannya sebentar lagi.

Namun, empat jam berlalu, kenyataan bahwa tidak seorang pun dari rekan tim Mike yang datang menghiburnya, membuatnya merasa terpukul.

Bau udara yang apak, tercium samar sepanjang koridor terpencil dari rumah sakit. Mungkin itu efek udara yang tercampur bau mayat diawetkan dari ruang otopsi dan ruang jenazah di sebelahnya. Jean tidak memedulikan itu. Pun, dia tidak memedulikan penerangan koridor yang mulai menyala ketika sinar matahari sore tampak redup di ujung koridor. Lorong yang dingin kini tampak suram, sama seperti suasana hatinya.

Sungguh, dia merasa tak berdaya dan bertanya-tanya, ke mana perginya kekuatan untuk menggerakkan anggota tubuh?

Jean bahkan tidak mampu untuk mengedipkan mata. Pandangannya terus mengarah ke televisi yang terpatri di dinding koridor. Alat elektronik itu berkali-kali memutarkan potongan gambar dan informasi mengenai peristiwa ledakan yang terjadi siang tadi. Perbuatan keji sekelompok orang telah memakan korban tak berdosa meninggal dan terluka parah.

Gaung keterangan polisi tambun yang berpangkat kapten di dalam membuatnya kembali berkaca-kaca. Mike Mayer dan timnya secara mendadak diperbantukan untuk menghalau dan melindungi rakyat sipil hari ini, ketika bom bunuh diri meledak di Jl. MH. Thamrin. Tidak tanggung-tanggung, empat buah bom meledak berdekatan di sekitar lokasi tersebut.

Lelaki paruh baya itu lanjut menjelaskan, bahwa suaminya sedang membopong seorang wanita yang terluka setelah tiga bom meledak di area itu. Seorang wanita yang tampak terluka karena serpihan ledakan membuat Mike kembali ke lapangan dan menolongnya. Tak seorang pun tahu bahwa wanita itu adalah istri salah satu pelaku bom bunuh diri. Bom keempat dalam gendongan wanita itu meledak dan tidak menyisakan apapun dari Mike, selain jari manisnya untuk dikenali.

Sebagai istri salah satu anggota Kepolisian Intelijen Republik Indonesia, Jean sangat sadar bahwa suaminya suatu hari akan berhadapan dengan hal yang berbahaya. Dia telah yakin dan mempersiapkan diri sebelum menerima lamaran Mike, namun tetap saja ketika hal terburuk yang ditakutinya terjadi, Jean merasa Tuhan sudah bertindak tidak adil.

Bagaimana mungkin Tuhan tega mengambil nyawa orang sebaik Mike? Ketika Jean berpikir air matanya sudah sering, sebulir air mata lolos dan meluncur dari pipinya. Bahunya terguncang saat dia mulai terisak lagi.

Suara langkah berat dan cepat yang bergema di lantai koridor menghentikan tangisan Jean. Dia menghapus air mata dengan punggung tangan dan membersit hidungnya cepat, menunggu siapa yang datang. Jean berpikir, mungkin sekuriti bangunan sebentar lagi akan mengusirnya pergi. Namun, suara langkah itu berhenti bahkan sebelum mendekat.

Merasa seseorang mengamatinya dari belakang, Jean membalikkan tubuh. Tepat saat itu, sosok lelaki tegap dan tinggi terlihat memutar tumitnya. Orang tersebut berbalik dan pergi. Jean mengenal siluet itu sangat baik, dia bisa menggambarkan lelaki itu dengan tepat meski matanya tertutup.

Devlin? Mengapa dia pergi? Mengapa dia tidak berusaha menjelaskan apa yang terjadi?

Rasa marah kembali membakar dada, Jean mendorong dirinya bangkit dari kursi. Kemudian, dengan menggunakan sisa kekuatannya, dia berlari mengejar sosok Devlin yang menghilang di ujung koridor.

Napasnya sesak. Dadanya terbakar ketika berusaha menghirup oksigen yang sepertinya sulit untuk diterima paru-paru. Bulir-bulir air mata mulai turun tak tertahankan, membuatnya tidak dapat melihat dengan jelas arah langkah kaki. Namun, bahkan dalam pandangannya yang buram, dia mampu melihat jelas lelaki itu.

Tak dipedulikan tatapan aneh dari orang-orang yang dilewatinya. Jean terus berlari, meskipun langkahnya tertatih. Tangannya terulur menggapai bayangan kabur lelaki itu di balik air mata yang menggenang.

Ingin ditumpahkannya semua perasaan marah dan sedih dalam peluk sahabat terbaik Mike dan mendapat penghiburan di sana, karena hanya Devlin yang benar-benar mengenal Mike, dan mungkin lelaki itu sama terluka dengan dirinya saat ini.

Bibir Jean terus menggumam kata-kata yang tidak terucap, ketika napas dan isakan berebut oksigen dari parunya. Berhenti … kumohon, jangan pergi! Jangan tinggalkan aku!

Jean terus mengejar hingga langkahnya mulai goyah dan pandangannya lari dari fokus. Tangannya bergerak menekan dada yang semakin sulit menghela napas. Titik-titik terang mulai mendominasi pandangan.

Menyadari sebentar lagi dia mungkin akan kehilangan kesadaran, Jean berhenti dan menatap sosok itu menjauh. Bersandar lemah pada pilar di samping, ditariknya satu napas panjang. Kemudian, dengan sisa udara dalam paru-parunya, Jean meneriakkan nama lelaki itu sekeras yang dia mampu.

“Devlin Roland, berhenti!”


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login