Download App

Chapter 2: 2. Bagaikan Bayangan

Ku biarkan mata sayu ku terlelap. Hembusan angin malam menyelundup masuk ke sela-sela jari kaki. Membuatku menarik kakiku perlahan,

dan meringkuk kedinginan.

Walau banyak nyamuk, aku tetap merasa lebih nyaman tidur dibawah jembatan yang hanya beralaskan tikar usang yang kami temukan beberapa minggu lalu di pinggir tempat pembuangan sampah.

Dibanding aku harus melihat ibu yang selalu berkelakuan demikian setiap hari. Namun bagaimanapun, beliau adalah ibu kandungku. Terbukti dari mata dan bibir kami yang sangat mirip. Namun jelas saja, aku tak ingin seperti ibu.

Hari mulai pagi. Saatnya kami bangun dari tidur lelap kami dan bersiap untuk mengamen. Teman-temanku, yaitu Rian, sang ketua dari kelompok kami. Ia sebaya denganku, yaitu 19 tahun. Namun sikapnya sudah lebih dewasa dari kami semua.

Danis dan Dania si kembar namun berbeda jenis kelamin, dan yang terakhir Bela, gadis berumur 11 tahun yang ditinggal orang tuanya saat dirinya baru menginjak umur 7 tahun karena bercerai.

Dan tak ada satu pun yang mau merawatnya. Karena sebuah alasan yaitu: kemiskinan. Akhirnya Bela pun terpaksa mencari sendiri cara untuk bertahan hidup di usianya yang masih sangat muda. Bahkan Bela sudah lebih dahulu hidup di jalanan dibandingkan aku.

"Ayo neng! Ciputat.. Ciputat.. Ciputat!"

seru seorang kenek mobil angkutan kota yang sedang berhenti menunggu penumpang di pinggir jalan raya pasar.

jauh dari jalan raya, kami memantau. Jalanan pasar sudah mulai padat kendaraan. Klakson mobil bersahut-sahutan. Adapula motor-motor yang berusaha menyalip barisan mobil yang berjejer tak beraturan.

Mengapa pagi dini hari jalanan pasar sudah mengalani kemacetan? jawabannya adalah, banyak sekolah-sekolah elit dan tempat-tempat para pekerja kantoran. Yang setiap hari diantar jemput oleh supir pribadi. Aku ingin sekali merasakan berada diposisi mereka walau hanya sehari.

Namun apa daya, aku hanya bisa bertumpu diatas kaki kurusku. Dan tujuanku bukanlah sekolah ataupun kantor, melainkan tempat khalayak ramai sambil berharap mendapat beberapa suap nasi untuk bapak dan adik.

"Dinda," panggil Rian. Aku menoleh.

"kamu sama Bela naik mobil itu, ya!" perintahnya seraya menunjuk sebuah mobil angkot yang terletak agak jauh dipandang mata. Rian menunjuk mobil tersebut karena terlihat dari jendela mobil yang memperlihatkan mobil tersebut padat penumpang.

"Oke boss!" ucap Bela sambil mengacungkan jempol. Sedangkan aku hanya mengangguk dan menarik sedikit senyum.

"nah, kalau kalian, naik mobil yang disana! ucap Rian memerintah si kembar untuk naik mobil yang terlihat agak penuh didalamnya.

"siap!" jawab danis seraya menyatukan ujung jari telunjuk dengan ujung jempolnya.

"aku akan naik bus yang sedang berhenti disana,"

ucap Rian menunjuk sebuah mobil bus ekonomi yang terlihat lumayan padat penumpang.

"ayo semuanya! kerja cepat duit lancar!" seru Rian sambil berlari kecil menuju sasarannya.

lalu diikuti kami yang menyusul menuju target masing-masing.

Aku menarik tangan Bela. Dan akhirnya ia pun berlari mendahuluiku. Dengan lincahnya ia menerobos barisan mobil-mobil yang masih menunggu kemacetan. Macet sejak pagi dini hari cukup memudahkan kami untuk mengamen dari satu mobil ke mobil yang lainnya.

"Assalamu'alaikum, pagi bapak, ibu, adek-adek, kakak- kakak semuanya, maaf mengganggu perjalanannya, ya, izinkanlah kami untuk membawakan sebuah lagu kami, sekedar untuk melepas lapar dan dahaga kami, ya, mudah-mudahan selamat sampai tujuan.."

Ucapku dengan lancarnya setelah kami memasuki mobil angkot yang kami tuju dan duduk dipinggir dekat pintu.

"Danis, biar aku saja yang main okulele nya!" seru Dania seraya menarik sebuah okulele dari bahu Danis. Mereka pun segera memasuki angkot yang mereka targetkan.

"Permisi, bapak, ibu, teteh-teteh, semuanya... izinkanlah kami menyanyikan lagu kami, demi bisa membawa sebungkus nasi untuk pulang nanti, ya, semoga selalu diberkati dan sampai tujuan dengan selamat..."

Rian segera masuk ke dalam bus ekonomi yang sudah ia targetkan sebelumnya. Tubuhnya yang tinggi, membuat kepalanya sedikit lagi menyentuh langit-langit mobil.

"Assalamu'alaikum semuanya... ya, saya minta waktunya sebentar untuk mendengarkan lagu kami, ya, seikhlasnya saja bapak, ibu... mudah-mudahan selamat sampai tujuan..."

Kami menyanyikan lagu yang sama. Lagu yang kami ciptakan dua hari yang lalu di sebuah stasiun kereta api waktu itu.

'Seratus tahun terlalu cepat,

hidup jangan dibuat lemah

abaikan saja oh abaikan saja..

'kamu tahu semua orang berkata

tak pantas bila ku bersanding dengan mereka.

bayangan hitam takkan pernah bisa hidup bersamanya...

'Jalan kami sebatas menghirup debu

takkan pernah merasakan sejuk

lihat hidup mereka, hidup tenang dalam kemakmuran...

'Satu kisah tentang kehidupan, orang kaya mati dalam harta.

kami hanya sebagai bayangan yang tak hidup dengan harta..

'Sekolah kami tak punya biaya

hidup kami pun apa ada nya

namun kami cinta oh kami cinta...

'Jalan kami sebatas menghirup debu

takkan pernah merasakan sejuk

lihat hidup mereka, hidup tenang dalam kemakmuran...

'Satu kisah tentang kehidupan, bahwa orang kaya mati dalam harta.

kami hanya sebagai bayangan yang tak hidup dengan harta..

'Semoga diberkati, para manusia di bumi tuhan, selalu diberkati oh di berkati...

"Terimakasih,"

Dari satu angkot melompat ke angkot lainnya. Begitulah seterusnya sampai menunjukan waktu Zhuhur. Panas dari terik matahari pun mulai terasa menyengat seakan berdiri tepat lurus diatas kepala kami.

Kami beristirahat, di sebuah emperan toko yang sudah ditutup sejak lama. Menghitung hasil mengamen kami dari pagi.

"Alhamdulillah, kita mendapat tiga puluh ribu hari ini," ujar Dania disusul dengan Dania yang menganggukan kepalanya senang.

"kami berpisah setelah mengamen di mobil pertama. Aku mendapatkan hasil senilai sembilan belas ribu rupiah..." ucapku menjelaskan bahwa Bela tak mengamen bersamaku kecuali di mobil yang pertama.

"aku dapat dua puluh dua ribu!" ucapnya senang seraya mengeluarkan receh-recehan dari kantong celananya.

"hah, aku dapat paling sedikit ya hari ini," ujar Rian sambil terkekeh.

"si bungsu dapat paling banyak nih," ucapku seraya merangkul bahu Bela.

"itu karena bela punya paras imut, makanya, banyak yang simpati... sedangkan kak Rian, tampangnya aja serius banget, yang ada preman pangkalan pun takut sama kakak," celoteh Danis meledek Rian.

Rian tertawa lepas mendengarnya. Tampang seriusnya seketika menghilang saat ini.

udara panas, dan partikel-partikel debu berkeliling bebas disekitar kami.

Bahkan saat ini pun kami tengah memandangi banyaknya mobil pribadi dan mobil bus yang berjarak sekitar satu meter dari tempat kami duduk, yang terus lalu lalang mengeluarkan gas pembuangan yang menghitam dari knalpotnya. Namun, tawa kami mengalahkan semua itu. Membuat kami tak merasakan suasana tak menyenangkan tersebut.

Kami keasyikan sampai tak ingat bahwa adzan sudah berkumandang sedari tadi. sekitar sepuluh menit yang lalu.

setelah menyadari hal tersebut, kami bergegas menuju musholla di sekitar sini.

Mushola Al Muflihun namanya. Terletak sekitar dua puluh meter dari toko yang kami singgahi barusan.

"kak Rian, imam sholat ya hehe" bisik Danis di telinga Rian agak kencang, sehingga kami pun dapat mendengarnya.

"lho, gak ah, kamu aja Danis!" jawab Rian seraya mendorong ringan lengan Danis.

"ihh kak, aku mulu ah..." rengek Danis. membuat Rian memutar bola mata.

"Danis, dengar aku ya, kamu kan pernah sekolah di sekolah dasar dulu... pasti pernah diajarkan surah-surah pendek dalam sholat kan??" ujar Rian seraya memegang pundak lebar Danis.

Danis hanya mengangguk dan akhirnya meng-iyakan kata-kata Rian. karena Danis sudah tak ingin memperpanjang percakapan, akhirnya ia pun maju ke depan untuk menjadi imam sholat Zhuhur.

ya, Rian memang tak merasakan sekolah sampai kelulusan. Ia berhenti sekolah sejak kelas lima sekolah dasar.

Alasannya sama, karena tak mencukupinya biaya pendidikan atas dirinya. akhirnya, ia pun harus siap menanggung kehidupan dirinya sendiri. Terkadang, Rian hanya bisa mendatangi rumah temannya untuk belajar apa yang telah diajarkan disekolah.

Jujur saja, aku kagum dengan keinginan dan cita-cita Rian untuk terus berusaha. Cita-cita yang ingin ia capai sedari kecil adalah, ingin menjadi orang kaya.

Tumbuh di keluarga serba kekurangan membuat sang Rian kecil bercita-cita demikian.

Seusai sholat Zhuhur dan berdo'a, kami langsung bergegas keluar musholla untuk membeli makanan yang akan dimakan bersama keluarga kami masing-masing nantinya.

Aku ingat pesan bapak sebelum aku berangkat dari rumah.

"Dinda, kita saat ini masih punya se plastik beras. lebih baik, kamu beli mie instan saja, agar lebih menghemat." ucapnya, dengan senyum yang merekah indah diwajah bapak yang sudah tak lagi muda. Senyum yang takkan pernah ku lupa sampai kapanpun.

"Teman-teman, gimana kalau kita beli nasi di warteg di sebelah sana aja?.." saran Dania sambil menunjuk sebuah warung tegal atau yang disingkat Warteg di sebrang jalan raya.

"wah, boleh juga tuh." jawab Rian menyetujui.

"Kita pesan tempe dan sambal aja ya," ucap Danis pada Dania.

"hah? yah kakak... aku mau tempe juga," rengek Dania memprotes.

Danis


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login