Download App

Chapter 12: Gubuk Bak Singgasana

Benar saja. Elvan tak kembali setelah pamit pada sore hari. Tidak menghubungi sama sekali, bahkan ia seperti mati ditelan bumi.

Nesya bersorak senang dalam hati. Dia berharap kalau lelaki itu jangan pernah muncul lagi. Namun itu hanya berlaku sementara. Nyatanya sesuai dengan janjinya, Elvan kembali pada pagi harinya.

"Ma, Pa. Elvan izin mau bawa Nesya tinggal bersama di gubuk sederhana milik Elvan."

Degh!

Jantung Nesya sontak berdegup tak karuan. Mendengar kata gubuk, bayangan wanita itu pun tertuju pada rumah kayu sederhana. Dan dia akan tinggal di dalamnya.

"Tidak! Gue nggak mau tinggal sama lo!"

"Nesya!" tegur sang Papa. "Dia suami kamu. Dia berhak membawa kamu ke mana saja."

"Tapi, Pa."

"Tidak ada tapi-tapian!" tegas Wawan. "Bi!" panggilnya.

"Iya Tuan."

"Cepat kemasi barang-barang Nesya, dia akan tinggal bersama suaminya."

"I-Iya Tuan." Meski sang Bibi tidak mengerti kapan anak majikannya menikah, dia hanya menjalankan perintah.

Siapa Nesya? Nirmala saja tak mampu melawan kepala rumah tangga, apalagi hanya Tuan Putri yang manja. Pasrah mengikuti suaminya, wanita cantik itu pun mengernyit heran kala motor Elvan berbelok ke sebuah jalan perumahan.

"Kita mau ke mana?" tanyanya setelah sekian lama mereka dalam keheningan.

"Sudah ikut saja, sebentar lagi sampai kok."

Jawaban Elvan membuat sang istri bersungut-sungut. Menggerutu sepanjang jalan, hingga akhirnya motor berhenti pada sebuah pagar tinggi menjulang.

Tin!

Elvan membunyikan klakson guna memanggil sang penjaga yang mungkin sedang patroli ke belakang.

"Sebentar Pak!"

Pagar dibuka oleh seorang lelaki berseragam putih dan celana biru tua. "Maaf Pak Elvan, tadi ambil kopi ke dalam," paparnya.

"Tidak apa-apa," balas Elvan yang lantas kembali memacu motor memasuki halaman.

"Ayo turun," ajaknya pada Nesya yang sejak tadi masih linglung.

Turun dari motor, mata Nesya masih berotasi, memandang setiap inci interior bergaya eropa di depannya. "Kita di mana? I-Ini r-rumah siapa?" tanyanya.

Elvan mengulas senyum simpul. "Kita akan tinggal di sini, kamu tidak keberatan 'kan?"

Sontak Nesya menoleh kaget pada sang suami. Mencari keseriusan pada dua bola mata coklat yang nyatanya tidak sedikit pun memancarkan kebohongan di sana.

Tidak! Dia bilang tadi gubuk 'kan? batin Nesya. Ini sih bukan gubuk. Ya walau tidak semewah rumah Papa, setidaknya ini bukan juga rumah sederhana. Ini lumayan mewah untuk  seukuran pria miskin seperti dia. Tidak!

Tiba-tiba Nesya ingat sesuatu. "Ini rumah lo?" tanyanya seraya meneliti penampilan sederhana Elvan dari atas hingga bawahnya.

Lagi-lagi Elvan hanya mengulas senyum sebagai jawaban. Akhirnya Nesya pun berspekulasi sendiri dengan menampik kenyataan.

"Ini pasti bukan rumah lo," ujarnya. "Ini pasti rumah majikan lo," lanjutnya.

Elvan menaikkan satu alisnya. Apa semustahil itu ia terlihat kaya di mata istrinya. Namun lagi-lagi ia tidak mau mendebat Nesya. "Terserah kamu menganggap ini rumah siapa, yang jelas kita akan tinggal di sini dari hari ini dan seterusnya," tukasnya.

Elvan melepas helmnya. "Ayo masuk," ajaknya.

Nesya yang masih di dera tanya dan tanya pun ikut saja. Turut melepas helm, dia meletakkan pada badan motor yang tadi ditumpanginya. Masuk ke dalam, batinnya tak berhenti kagum dan memuji setiap sudut rumah yang ia masuki.

"Den Elvan," sapa seorang wanita paruh baya. "Aden sudah pulang?" tanyanya ramah.

"Iya, Bi. Oh ya Bi, tolong buatkan minuman untuk dia ya."

Si Bibi pun baru menyadari kalau Elvan tidak datang sendiri. Ingin bertanya, tapi urung terlaksana. Karena ia pun tahu batasannya.

"Baik, Den."

***

"Mau langsung ke kamar?" tawar Elvan.

Nesya mendelik sang suami. Dia masih sadar akan kodratnya sebagai istri. Hanya saja dia belum siap jika ....

"Tenang saja. Kamar kita berbeda." Elvan menjawab kegalauan Nesya. "Aku tahu kamu tidak suka berdekatan dengan aku, jadi aku juga tidak akan memaksa itu sampai kamu siap menerima aku sebagai suami kamu."

Kok, kesannya Nesya jahat sekali ya. Namun memang seperti itu kenyataannya. "Baguslah kalau lo paham," sahutnya. "Tapi ada satu yang perlu lo ingat, sampai kapan pun jangan harap gue menerima lo sebagai suami gue," tegasnya.

Elvan mengulas senyumnya. "Semoga kamu konsisten dengan itu," tantangnya.

Bola mata Nesya membulat sempurna.

"Ayo aku antar ke kamar," tawar Elvan sebelum sang istri mengeluarkan protes.

Baru menaiki dua undakan tangga, sang Bibi memanggil Tuannya. "Den, minumannya?"

Elvan setengah berbalik. "Bawa ke atas saja, Bi," titahnya.

Lanjut naik ke atas. Sang Bibi pun turut membuntuti mereka dari belakang. Elvan mendorong sebuah pintu dan terpampanglah ruangan mewah dengan ranjang king size di dalamnya.

Wow! Takjub Nesya dalam hatinya. Ini lebih luas dan mewah dari kamar gue, batinnya.

"Ini kamar kamu," ujar Elvan. "Silakan masuk."

Nesya masuk ke dalam. Tanpa sepatah kata, ia pun duduk di atas ranjang empuknya.

"Taruh saja minumannya di sana, Bi." Menunjuk sebuah meja kecil di samping sofa, Elvan pun memperkenalkan sang Bibi pada istrinya.

"Ini Bi Titin. Asisten rumah tangga di rumah ini, kalau perlu apa-apa kamu bisa minta bantuan dia," terang Elvan.

"Ini Nesya, Bi. Dia ...." Elvan nampak menimbang ucapannya, melirik pada Nesya ia pun menarik napas dalam. "Dia teman Elvan dan dia akan tinggal di sini."

Degh!

Ada rasa kecewa dalam hati Nesya. Namun ini sudah menjadi kesepakatan mereka sebelum adanya pernikahan mendadak kemarin malam. "Oke. Gue akan setuju menikah sama lo, tapi syaratnya tidak boleh ada yang tahu pernikahan ini selain warga sini, teman-teman gue, dan orang tua gue." Terlebih ini adalah syarat yang diajukan Nesya sendiri.

"Baiklah. Kamu tenang saja, aku akan menjaminnya. Pihak WO pun tidak akan membocorkan pernikahan ini ke mana-mana."

Sepakat. Dan pada akhirnya Elvan memutuskan merahasiakan pada segelintir orang yang tidak menyaksikan pernikahan.

"Iya, Den. Non Nesya panggil saya saja kalau ada perlu apa-apa ya, Non," ujar sang Bibi.

"I-Iya, Bi," jawab Nesya.

"Baiklah, saya permisi Den Elvan, Non Nesya."

Anggukan Elvan pun membawa mereka hanya tinggal berdua. Memasukkan tangan ke dalam saku, lelaki itu membiarkan Nesya istirahat dulu. "Kamar aku di sebelah, kalau kamu butuh aku panggil saja."

Lantas menarik gagang pintu, ia siap menutup kamar istrinya.

"Tunggu," cegah Nesya.

"Ada apa?" tanya Elvan.

"Gue mau mandi, koper gue mana?"

Elvan menghela napas. Ia kira ada apa Nesya mencegahnya. Merogoh saku, lelaki itu pun mengeluarkan benda pipihnya.

Walau berjarak, Nesya masih bisa melihat jelas ponsel yang digunakan Elvan. Ponselnya boleh juga, batin Nesya. Jangan bilang kalau dia ....

"Sebentar lagi barang-barang kamu datang," ucap Elvan. "Nanti aku suruh Bi Titin membantu kamu membereskan."

Mengangguk paham. Sesungguhnya Nesya belum cukup mengerti dengan keadaan. Pertama gubuk yang nyatanya tak kalah dari singgasana dan gaya Elvan yang sederhana, tapi seperti bos yang tinggal titah-titah saja.

Mungkin dia orang kepercayaan bosnya. Dititipkan rumah dan segala isinya, tebak Nesya.

Mana mungkin dia kaya. Orang dia naik motor dan penampilannya kucel begitu.

Menghela napas. Nesya membiarkan Elvan kali ini pamit menghilang. Beringsut bangun, ia sekali lagi meneliti setiap sudut inci kamar barunya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C12
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login