Download App

Chapter 16: Tragedi 23!! (3)

Elina yang sudah siap menampakkan dirinya keluar dari tempat persembunyian nya. Berlari dengan cepat sambil menghindari tembakkan yang membabi buta kearahnya.

Zea yang melihat Elina diserang menjadi ragu untuk keluar meloloskan diri. Apalagi mereka menembak secara asal-asalan. Elina meluncur dan kembali bersembunyi disalah satu kursi penonton. Membalas tembakan yang diarah kepadanya.

AK 47 menjadi senjata andalan Elina untuk bertahan hidup dari situasi saat ini. Berguling saat merasa tempat persembunyiannya tidak aman. Elina membidik peluru tepat sasaran, menjatuhkan satu musuh yang ingin membunuhnya. Ia segera menarik pelatuk dengan tenang.

Dor! Tembakkan musuh berhasil dihindari dan berlari, bersembunyi di balik pintu ruangan. "F**k! " Elina begitu kesal saat ini melihat anak buah utusan ayahnya muncul. " Ah! pria tua itu benar-benar marah karena aku mengkhianatinya? " Kesal Elina.

Elina akhirnya memilih keluar dari tempat persembunyiannya. Membuang AK 47 miliknya karena sedikit peluru. Ia tidak menyangka jika ayahnya akan mengirim bala bantuan untuk membunuhnya. Elina berlari. Menghajar mereka satu persatu. Saat peluru melayang kearahnya, ia menarik tubuh korban yang ia hajar. Menjadikan pelindungnya.

Elina dengan lincah kembali menghajar mereka menggunakan seni bela dirinya. Mereka memegang senjata, tapi dapat dilumpuhkan oleh Elina dengan kelincahannya.

Zea melihat situasi. Semua fokus menyerang Elina di lorong. Segera ia keluar dan melarikan diri. Ia tak menoleh kebelakang walau ingin karena merasa penasaran. Apakah Elina akan baik-baik saja jika ia tinggalkan? Tapi, bukankah Elina nampak seperti baik-baik saja, pikirnya.

Braak! Tubuh Elina terpelanting kearah dinding. Manik hitamnya melirik sekilas kearah pelaku yang tengah menyeringai buas kearahnya. Tangannya meraih kearah kursi, mendekati sipelaku dan memukulnya menggunakan kursi yang ia dapatkan.

Elina memalingkan wajah saat balok kayu melayang kearahnya dan mengenai wajahnya. Ekspresi Elina menggelap menahan emosi. Darah mulai mengalir dari hidungnya.

Zea mendengar suara hantaman keras saat ia ingin menuruni tangga. Ia menoleh, memberanikan diri menatap kearah Elina yang kini terluka cukup parah. Wajah Elina dipenuhi oleh luka. Zea menyandarkan tubuhnya ke dinding sambil mengatur napasnya yang terengah-engah. Memutar otak agar bisa menyelamatkan Elina walau itu mustahil ia lakukan.

Elina merasakan ujung pistol menempel dibelakang nya. Jantungnya berdetak sangat kencang. Elina tak dapat prediksi gerakkan dadakan barusan. " Selamat tinggal! " serunya dengan seringaian liciknya. Elina membelalak kaget saat merasakan peluru tajam menembus tubuhnya. Ia jatuh terkapar, bersimbah darah. " Misi selesai " kata mereka lalu pergi meninggalkan Elina yang mulai sekarat.

Zea berlari menghampiri Elina yang sudah terlentang di atas lantai dengan darah yang mengkotori lantai. Menepuk-nepuk wajah Elina meminta Elina tetap menjaga kesadarannya.

Elina tersenyum. " Aku tidak akan mati dengan mudah. Jadi jangan khawatirkan diriku. Pergilah!!! Temui dia... " Kata Elina.

"Tapi—"

"...percayalah padaku.Aku bukan wanita lemah! "

Zea menganggukan kepalanya pelan. "Aku akan menemuinya, dan menyerahkannya.. "

" Terima kasih "

Zea berlari. Keluar dari gedung pertunjukkan. Meninggalkan Elina yang nampak sekali kesakitan. Elina bersandar dinding, terduduk sambil menatap lurus kedepan. Matanya mulai memberat, pandangannya mulai mengabur.

" Boss! Kau lemah sekali."

Elina yang mengenal suara tersebut hanya menjawabnya dengan senyuman lemahnya. Sekarang, ia bisa menutup kedua matanya dengan tenang.

***

Flashback on

Ayunindya Citrani atau biasa dipanggil Ayu, gadis berusia 17 tahun yang duduk dibangku sekolah menengah atas itu merupakan gadis korban bully. Dia menjadi korban bullying sejak kedua orang tua nya bercerai akibat orang ketiga yang merusak ketentraman rumah tangga.

Ayu tinggal berdua dengan ibunya yang memiliki gangguan kejiwaan, selalu menangis dan suka mengurung diri di kamar tanpa penerangan. Ayu yang dulunya masih berusia 10 tahun tak bisa mengerti dengan kondisi ibunya yang berperilaku aneh. Namun seiring berjalannya waktu, dia menyadari jika ibunya mengalami gangguan jiwa.

Hari demi hari, kelakuan ibunya begitu mengerikan. Suka meneriakkan kata-kata kasar kepada Ayu, melempar piring saat Ayu berusaha membujuk sang ibu untuk makan, bahkan ibunya ingin membunuh dirinya yang saat itu berusaha membujuk sang ibu untuk keluar dari kamar.

Tetangga Ayu yang kasihan melihat keadaan ibu Ayu pun menelpon pihak rumah sakit jiwa. Berharap dengan dirawatnya ibu Ayu dapat menyembuhkan gangguan kejiwaan nya.

Ayunindya Citrani akhirnya dibesarkan oleh tetangga yang baik hati. Merawat Ayu seperti anak sendiri. Ayu bersyukur, setidaknya ia tak hidup kesusahan.

Pukul 06:00, Ayu bangun dari tidur nyenyaknya. Merapikan kamar tidurnya lalu bersiap untuk berangkat sekolah. Sebelum berangkat, Ayu tak lupa berpamitan kepada Jefri Prayoga yang sekarang menjadi ayah angkatnya dan Laura yang sekarang menjadi ibu angkatnya.

" Sarapan dulu, nak! " Kata Laura yang kini mengantarkan roti isi kepada Ayu yang berada di depan pintu.

Ayu menggelengkan kepalanya sebagai bentuk penolakkannya. Tapi, Laura memaksa Ayu untuk sarapan.

" Bawakan dia bekal saja, bu. " Kata Satria yang baru saja keluar dari kamarnya. Terlihat jelas jika Satria ingin pergi kekamar mandi.

" Apa mau ibu siapkan bekal, nak? " Seru Laura dengan ramahnya.

Ayu tak dapat menolak. Ia menganggukan kepalanya sebagai respon perkataan Laura barusan. Selagi Laura menyiapkan bekal untuk Ayu. Jefri mengajak Laura untuk duduk disampingnya. Menyerahkan susu coklat yang baru saja dibuat oleh Laura. "Minumlah, setidaknya perutmu tidak kosong" kata Jefri tegas namun penuh kehangatan.

Ayu sangat mengagumi keluarga Prayoga. Mereka benar-benar keluarga yang bahagia. Ayu sudah lama tinggal bersama keluarga Prayoga tapi ia hanya akrab dengan kedua orangtua angkatnya dan juga anak terakhir keluarga Prayoga.

Bekal yang telah disiapkan oleh Laura dimasukkan kedalam tas sekolah Ayu. Laura mencium kedua pipi Ayu saat kembali berpamitan. Sedangkan Jefri hanya mengusap surai rambut Ayu, " Jangan nakal disekolah... belajar yang rajin. " Kata Jefri mengingatkan.

Ayu mengangguk sebagai respon nya. Melambaikan tangannya saat sudah memasuki bus langganannya kepada Laura dan Jefri. Rumah mereka berada dekat dengan gerbang keluar komplek,sehungga Ayu tidak terlalu jauh ke terminal bus karena berada di seberang komplek.

***

Ayu memilih untuk duduk paling belakang. Menikmati pemandangan melalui jendela bus sekolah. Gedung-gedung tinggi sangat indah saat disinari oleh cahaya matahari pagi. Setidaknya, melihat pemandangan di jendela pada pagi hari bisa menguatkan dirinya untuk menghadapi permasalahan di sekolah nanti.

Bus berhenti tepat disebrang sekolah. Ayu segera turun dari bus agar ia tak terlambat masuk kelas. Saat berlari menyusuri lorong sekolah, tiba-tiba saja sebuah hantaman keras mengenai wajahnya. Ember yang biasa digunakan untuk membersihkan lantai lorong kini bergelinding dan berhenti tepat dihadapannya.

Rena keluar bersama dengan geng nya. Menatap sinis kearah Ayu yang terduduk diatas lantai akibat hantaman yang baru daja ia dapatkan.

" Hey, babu! . Bawa tas ku kekelas! " kata Rena yang merupakan anak orang kaya, ibu Rena merupakan seorang model sedangkan ayah Rena merupakan pemimpin perusahaan di bidang kuliner.

Tas yang terbuat dari kulit hewan itu mendarat dengan mulus kewajah pucat Ayu. Membuat wajah Ayu sedikit memerah akibat hantaman begitu keras. Manik hitam nya menatap datar tas mahal itu, memegangnya dengan sangat erat seakan menahan rasa amarah dihati.

Pernah dia melawan Rena saat itu, namun yang dia dapatkan justru pembullyan yang begitu semakin menjadi-jadi. Ayu tak sebodoh yang kelihatannya, dia tau jika kedua orangtua Rena begitu banyak memberi bantuan kepada pihak sekolah sehingga Rena menjadi anak paling disayang di sekolah maupun di lingkungan lainnya.

Dug! Karena Ayu berjalan sambil menunduk, ia tak menyadari jika ada seseorang yang tengah berjalan tergesa-gesa kearahnya. Hantaman kuat di bahunya membuat Ayu mendongak keatas, manik hitam nya bertemu dengan manik hitam milik seseorang. Manik hitam itu memancarkan aura yang mengerikan, namun juga memancarkan aura kesedihan. Rambut hitam panjang yang diujungnya sedikit diwarnai merah darah itu sedikit mengenai wajah pucat Ayu.  karena gadis dihadapannya lebih tinggi dibandingkan dengan Ayu.

" Hey, Babu! . Siapa yang menyuruhmu untuk diam? " Tanya Rena yang menyadari jika Ayu tak mengikutinya. Sambil bersedekap dada, Rena menatap tajam kearah Ayu dan juga gadis tinggi di hadapan Ayu.

" Oh, kau gadis aneh itu kan? Yang suka makan sampah. Tak kusangka aku menemuimu disini. " Kata Rena dengan nada mengejek.

Elina Gayatri atau biasa dipanggil Elina memiliki nasib yang sama seperti Ayu. Elina memiliki kebiasaan aneh yang membuat seluruh siswa/i menjadi membullynya.

Elina memiliki kebiasaan suka mengais tong sampah sekolah untuk mengambil sisa makanan, suka membunuh hewan yang masuk kehalaman sekolah dan selalu mengubur jasad hewan yang ia bunuh di bawah pohon dihalaman belakang sekolah.

" Pantas saja, kau mirip seperti gelandangan." ejek Rena. Botol minum berisikan air yang sedari tadi di bawa, ia tumpahkan kewajah Elina. Membuat wajah serta seragam sekolah Elina menjadi basah.

Bukannya Elina marah, justru ia tertawa gila membuat Rena dan beberapa siswa/i yang menyaksikan kejadian tersebut bergedik ngeri.

" Dia benar-benar gila."

" Wah, sepertinya perkataan Rena benar. Sepertinya Elina seorang gelandangan. "

" Kenapa gadis aneh sepertinya diterima disekolah sih?."

Bisikkan siswa/i begitu keras hingga masuk keindra pendengaran Ayu. Ayu mencengkram erat tas Rena, dia baru saja merasakan aura aneh yang dikeluarkan oleh Elina saat tertawa barusan. Aura yang begitu membuat kedua kakinya menjadi gemetaran.

Elina melewati Rena tanpa membalas perbuatan Rena. Namun, sebelum Elina benar-benar menjauh, dia sempat membisikkan sesuatu kepada Ayu yang membuat Ayu semakin gemetaran.

" Ayo Babi, kita kekelas " kata Rena setelah Elina pergi dari hadapan nya.

Ayu hanya menganggukan kepalanya, berjalan pelan di belakang Rena sambil memikirkan nasib Rena nanti saat pulang sekolah.

***

Pukul 16:30 sore, waktunya siswa/i yang tidak mengikuti kegiatan ekskul untuk pulang kerumah. Begitu juga dengan Rena yang kembali menyuruh Ayu untuk membawakan tas mahalnya tersebut menuju parkir mobil.

Lorong sekolah begitu sepi, cahaya matahari sore sedikit memasuki celah-celah jendela yang tertutup rapat. Entah mengapa, perasaan Ayu menjadi tak enak dengan suasana lorong sekolah.

" Eh, beraninya kau menghalangi jalan ku." Perkataan Rena sontak membuat Ayu menatap lurus kedepan. Elina berdiri di depan mereka sambil membawa tongkat baseball. Untuk apa tongkat baseball itu?,Pikirnya. Sebuah pertanyaan yang tiba-tiba saja muncul.

Elina tak menjawab perkataan Rena, ia justru berjalan menuju Rena dengan tatapan menusuk ke manik hitam Rena. Tongkat baseball terangkat saat berada dekat dengan Rena lalu mendarat tepat mengenai kepala Rena. Seketika Rena jatuh pingsan akibat hantaman kuat di kepala. Ayu ingin berteriak, tapi mulutnya tiba-tiba saja ditutup oleh sebuah kain. Pelakunya tentu saja Elina.

Ayu diseret oleh Elina menaiki tangga menuju atap sekolah. Mengikat kedua tangan Ayu menggunakan tali yang disimpannya dalam tas. Setelah mengamankan Ayu, Elina kembali turun untuk menyeret tubuh Rena yang pingsan.

Manik hitam Ayu membelalak, saat tubuh Rena di ikat dihadapannya dengan mulut yang juga ditutup oleh kain. Ayu berusaha memberontak, namun nampaknya itu akan menjadi sia-sia.

Elina berjongkok dihadapan Ayu, senyuman mengerikan diperlihatkan nya dihadapan Ayu.

" kau pasti akan menyukainya~" gumam Elina.

Elina lalu menendang tubuh Rena, berusaha menyadarkan Rena dari pingsan. Perlahan Rena kembali sadar walau rasa sakit dikepala nya masih terasa. " tidurmu nyenyak, tuan putri? " tanya Elina dengan tatapan horor. Rena tersentak kaget melihat Elina berjongkok dihadapannya dengan seringaian iblisnya. Dia menyadari jika nyawanya kini dalam bahaya. Berusaha melepaskan tali yang mengikat tangan dan kakinya. Namun sayangnya, usahanya tidak berhasil.

" ah~ sudah jam 5 sore, waktu yang pas untuk membunuh mu. "

Tongkat baseball menghantam wajah Rena sangat keras berulang kali, membuat hidung serta kening Rena mengeluarkan darah. Darah itu mengalir hingga membasahi lantai. Ayu yang menyaksikan kekerasan tersebut menutup kedua matanya, tak sanggup melihat adegan kekerasan dihadapannya.

" aku tidak menyuruh mu untuk menutup mata, Ayu! " kata Elina dengan nada tegasnya. Manik hitam nya melirik kearah Ayu yang masih menutup kedua matanya.

" kau harus merekam semua kejadian hari ini dengan baik~".

Langkah kaki Elina terdengar jelas oleh Ayu. Elina mengangkat dagu Ayu menggunakan tongkat baseball yang berlumuran dengan darah Rena.

" Buka kedua matamu atau nasibmu akan sama seperti gadis manja itu.!" seperti sebuah perintah bagi Ayu, perlahan ia membuka kedua matanya. Manik hitamnya bertatapan langsung dengan manik milik Elina. Elina sedikit mendekatkan wajah nya dengan wajah pucat Ayu.

" anak pintar~" bisik Elina lalu menjauhkan wajahnya dari pandangan Ayu.

Elina duduk diatas tubuh Rena yang merintih kesakitan. Tak ada rasa kasihan yang dirasakan oleh Elina, justru rasa puaslah yang saat ini dirasakan oleh Elina. " kematian mu pasti akan menghebohkan seluruh sekolah bahkan media,besok.." gumam Elina lalu menginjak leher Rena hingga suara pekikkan Rena sedikit terdengar, seperti suara tikus.

" tenang saja. setelah aku membunuh mu, aku akan melempar jasadmu dari atas gedung sekolah."

Tali yang mengikat tangan dan kaki Rena di lepas oleh Elina. " aku beri waktu 30 detik untuk menyelamatkan diri. " kata Elina dengan seringaian liciknya.

Rena tak menyia-nyiakan nya. Ia langsung berlari menuju pintu. Namun, sayangnya pintu tersebut terkunci. " Upss! aku lupa. Kuncinya ada ditangan ku~" kata Elina sambil memainkan kunci di tangannya.

Rena merosot kebawah, dia akan mati ditangan gadis gila di hadapan nya. Ingin berteriak pun tak bisa karena tenggorokan nya terasa sakit. Napas Rena mulai tersendat, sesak di dada. Rena perlahan bersandar di pintu sambil berusaha bernafas dengan teratur.

Krak! Jari-jari tangan Rena dengan mudahnya diremuk oleh Elina. Rena tak dapat berteriak kesakitan, dia hanya bisa bergeliat kesakitan saat ini dengan airmata yang bercampur dengan darah.

" selamat tinggal! "

Bruagh! Sekali tusuk, Rena tewas ditangan Elina. Pisau yang dia bawa kini dicabutnya dengan kasar dari dada Rena. Membersihkan noda darah tersebut menggunakan kain bersih.

Ayu yang melihat semua kejadian tersebut hanya bisa meneguk ludah. Berdoa dalam hati agar Elina tidak membunuhnya seperti Rena.

" jangan takut, aku akan melindungi mu ".

Perkataan Elina barusan membuat Ayu bernapas lega. Entah karena kali ini nyawanya selamat atau karena perkataan Elina barusan. Elina melepaskan tali yang mengikat tangan Ayu serta kain yang menutupi mulut Ayu. Ayu hanya diam, apalagi saat Elina menyentuh wajahnya yang pucat dengan tangan yang sedikit ada noda darah. " kau begitu rapuh, sama sepertiku dulu... " gumam Elina.

Elina bangkit dari posisi jongkoknya, meraih pergelangan kaki Rena dan menyeretnya ketepi. Dengan santainya, Elina melempar tubuh Rena terjun bebas dari atap gedung.

Bruagh! Suara hantaman tubuh Rena dengan tanah begitu nyaring hingga terdengar jelas oleh Elina dan juga Ayu.

Siswa/i maupun guru yang masih di sekolah mulai mengerumuni jasad Rena. Bukannya mengevakuasi, justru mereka asik memfoto jasad Rena untuk bahan sosial media mereka.

Elina mendengus jijik saat ada yang berpura-pura sedih sambil merekam jasad Rena dan ada juga yang berteriak histeris.

" lebih baik kita pergi dari sini, sebelum orang lain menyadari jika kita ada disini " kata Elina.

Ayu hanya diam, berdiri saat Elina menarik kasar tangannya dan menyeretnya keluar dari atap gedung sekolah.

Flashback off

***

" Boss masih belum sadarkan diri " Kata Tanya saat melihat Elina yang masih terbaring diatas kasur.

" Dokter Dhika, apa tuan Ardiaz mengetahui jika kau mata-mata Boss?."

Dokter Dhika yang baru saja menyelesaikan pemeriksaan nya terhadap Elina menjawab pertanyaan Tanya dengan gerakkan menggelengkan kepalanya.

" Tenang saja, dia tidak tahu jika aku mata-mata Boss. Dia bahkan tidak menyadari jika aku menyuntikkan vitamin ketubuh Abbiyya. Bukan obat uji coba yang dibuatnya" kata Dhika.

Tanya menganggukan kepalanya mengerti.

"Setidaknya kita harus menyukseskan rencana Boss dengan baik! " kata Tanya.

" Lalu, bagaimana dengan tugasmu dan Daniel?."

" Tugas kami sudah selesai.." jawab Tanya dengan senyuman penuh akan misteri.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C16
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login