Download App

Chapter 2: BAB 1 Bagian 1 (Hujan Cahaya)

"Kalimat" --> artinya Dialog saat ini.

["Kalimat"] --> artinya Dialog yang terjadi di masa lalu.

[kalimat] --> artinya Bicara dalam hati.

'kalimat' --> artinya Kalimat Kutipan / Kata Ambigu / Informasi berita yang dibaca oleh Haika Michi sebagai tokoh utama {tergantung bagaimana konteks dan situasinya nanti}.

Selama Membaca ^-^

@ @ @ @ @

WAJAH gembiranya tak bisa ia sembunyikan ketika di depan matanya sudah terlihat rumah semi-minimalis yang berdiri kokoh milik seorang pria renta.

"Hari ini aku pasti akan menaklukan lagu milik Chopin." dengan setengah berlari sembari membawa gitar, anak ini bergumam tak sabar untuk mewujudkan apa yang sudah menjadi keinginannya hari ini. Keinginannya untuk memainkan salah satu komposisi lagu milik komposer legenda, Frederic Chopin, tentu memainkannya dengan Grand Piano hitam berkilau yang biasa terpampang di konser piano klasik.

Ketika langkahnya semakin mendekati rumah itu, di ujung mata anak laki-laki ini terlihat seorang Pria renta yang sedang terduduk manis, termenung menatap langit di halaman teras rumahnya. Beliau terbawa suasana akan langit sore hari ini yang mulai meredup oleh awan, serta sejuknya semilir angin yang mungkin saja membuatnya bernostalgia dengan memori indah yang pernah ia lalui.

Tapi kedatangan anak laki-laki itu tak lama lagi akan mengusik renungannya.

Hentakan langkah kakinya yang cukup cepat membuat pria renta itu tersadar dari lamunan. Baju yang agak lusuh dan rambut yang sedikit acak-acakan didapatinya ketika anak itu mendekat menghampiri.

"Selamat sore, Kakek Dio" tanpa harus melihat pakaiannya yang lusuh ataupun rambutnya yang sedikit acak-acakan, jika Richi sudah berteriak tentu beliau langsung mengenalinya. Sapaan dari suara khasnya langsung menghujam ketika anak itu sampai.

Beliau hanya melekukan garis bibirnya untuk membalas sapaan anak itu. Beliau hanya menyunggingkan senyuman untuk membalasnya. "Bagaimana hari ini, Richi?

"Uh-huh," Richi menyahuti sembari mencium tangan beliau. "Hari ini tidak banyak pengunjung yang datang."

Dibandingkan menganggap hubungan di antara keduanya bak seorang kakek berumur 67 tahun dengan cucunya yang berumur 14 tahun, mereka berdua justru tidak memiliki ikatan darah sama sekali. Hubungan diantara mereka lebih bijak dikatakan sebagai guru dan murid.

Kakek Dio adalah seorang pianis berbakat saat muda dulu. Ia telah memenangkan banyak kejuaraan level nasional maupun internasional. Tapi saat ia mulai beranjak dewasa, ia justru memilih karir sebagai psikiater. Alasannya sederhana, ia hanya ingin menyembuhkan penyakit traumatik seorang wanita. Tentu menjadi alasan yang sangat bodoh dengan menjual karir masa depan yang cerah hanya untuk itu—setidaknya bagi sebagian orang. Tapi bagi Kakek Dio, pengorbanan itu adalah hal yang sebanding demi untuk menyembuhkan kejiwaan wanita itu.

Kakek Dio jatuh cinta pada wanita setengah gila. Demi membuatnya sembuh, ia rela banting stir menjadi psikiater dan melepas mimpinya menjadi pianis profesional yang sudah ada di depan mata. Alasan yang sungguh heroik, bukan? Tapi nyatanya ia melepas mimpinya bukan demi itu. Alasan sebenarnya adalah karena kakek Dio jatuh cinta pada wanita yang sangat membenci musik.

Wanita yang dicintainya adalah teman baiknya, yang juga seorang korban kekerasan rumah tangga. Wanita itu menjadi gila karena mendapatkan perilaku keji dari suaminya yang seorang musisi tukang mabuk dan seorang pemakai narkoba yang hanya bisa memerintah ini-itu—dan jika tidak dituruti, pria brengsek itu akan memukulnya dengan apapun yang ada di sekelilingnya—bahkan di lempari gitar listrik yang bobotnya berat.

Sebegitu traumanya dengan musik karena ulah suaminya, wanita itu akan berteriak histeris ketika mendengar alunan musik apapun. Ia bukan hanya membenci musik, tapi juga membenci seorang pemusik. Trauma pernikahannya dengan seorang pemusik menjadi sebuah doktrin menakutkan baginya. Jadi kakek Dio berhenti bermusik dan memilih menjadi psikiater bukan bermaksud untuk menyembuhkan wanita itu.

Tapi Kakek Dio berhenti bermusik karena ia ingin menyelamatkan hidup wanita itu.

Kini perjalanan cinta yang penuh pengorbanan tersebut hanya tinggal puing kenangan. Wanita yang beliau perjuangkan waktu dulu adalah almarhumah istrinya yang telah meninggal 15 tahun yang lalu karena kecelakaan. Kecelakaan itu bukan hanya merenggut nyawa istrinya, tapi juga nyawa anak semata wayang mereka berdua yang kala itu berumur 25 tahun. Peristiwa yang tentu sungguh menyakitkan. Meski Kakek Dio punya banyak kesempatan mencari kebahagiaan yang lain, ia malah memilih hidup sendiri hanya bertemankan ketulusan cinta dan kenangan indah yang tersisa.

Kakek Dio telah bersumpah untuk tetap setia menjaga perasaanya.

Meski telah mengubur dalam-dalam mimpi besarnya, Kakek Dio tetaplah seorang mahir piano. Kemampuan dan jiwa musiknya terus melekat sampai kini. Walau mimpinya telah sirna, ia masih memiliki satu hal yang ingin ia lakukan dengan musik. Yaitu, mewariskan impiannya yang belum tercapai ke seseorang. Dan tekad besarnya itulah yang pada akhirnya mempertemukan Kakek Dio dengan Richi. Kakek Dio sendiri pun telah menganggap Richi sebagai anak asuhnya.

Dan berharap Richi akan mewujudkan impian itu suatu saat nanti.

Beliau dengan senang hati mengajari Richi bermain piano tanpa mendapat bayaran apapun. Kakek Dio juga orang yang sederhana. Di usianya yang sudah senja, ia sudah tidak lagi membutuhkan banyak hal. Baginya, melihat seseorang tumbuh karenanya itu sudah lebih dari cukup. Melihat Richi tumbuh dan mampu bermain piano semakin baik setiap harinya sudah membuatnya senang.

Hmm, mungkin saat ini kakek Dio tidak hidup hanya bertemankan ketulusan cinta dan kenangan indah yang tersisa saja. Mungkin juga dengan Pianonya. Kini ia kembali hidup dengan pianonya. Sekarang, giliran Piano yang menyelamatkan Kakek Dio.

Menyelamatkannya dari rasa kesepian.

Kakek Dio beranjak berdiri. "Kau langsung ingin latihan?" ia mengajukan pertanyaan yang jelas diperuntukkan pada Richi. Saat beliau berdiri, tinggi Richi hanya seperutnya saja—bukan karena Richi yang pendek. Sebagai seorang mantan pianis, Kakek Dio memang memiliki postur tubuh yang ideal.

"Uh. Hari ini aku akan menaklukan musik milik Chopin."

"Kau sudah makan? Kalau belum aku tidak akan mengajarkan mu. Aku tidak mau mengajarkan orang yang tidak fokus."

"Aku sudah makan, kok. Tenang saja, Kakek Dio. Lagipula bukannya kalau habis makan malah tidak fokus karena mengantuk?"

"Kau pintar menjawab, ya."

Senda gurauan mereka, tentu tidak akan ada orang yang menapik kalau mereka sudah seperti kakek dan cucunya.

"Apa aku boleh masuk?" Richi bertanya sopan. Namun sayang raut wajahnya tidak bisa berbohong, kalau ia sebenarnya sudah tak sabar menerobos masuk ke dalam rumah Kakek Dio untuk bermain piano.

"Ya. Masuklah."

"Terima kasih, Kakek Dio." sandal jepit yang dipakainya langsung terlepas dengan cepat. Dia selalu saja begini. Jika itu mengenai musik,

Dia selalu saja terlihat ceria dan antusias.

@ @ @ @ @

'Etude Op. 10, No.3'

Sudah satu setengah jam lebih jemari Richi menari-nari di atas kumpulan tuts grand piano hitam berkilau itu. Memainkan musik yang sama tanpa beristirahat sedikitpun. Serta sudah 10 hari terakhir ia diselimuti rasa kesal oleh lagu itu karena masih belum bisa memainkannya dengan baik—apalagi sampai menyentuh hati.

Frederic Chopin memanglah seorang komposer kelas dunia. Lencana yang dikenakannya memang bertajuk 'Legenda'. Jelas komposisi musik yang diciptakannya bukanlah musik serampangan yang bisa dimainkan sembarang orang—apalagi seorang amatiran. Bahkan untuk seorang yang sudah bergelut dengan piano sejak lama pun belum tentu dipastikan mampu memainkan komposisi musik miliknya. Bukan hanya bermodalkan mimpi, melainkan tekad, daya juang dan keinginan untuk menembus bataslah yang mampu mengantarkan seorang amatiran seperti Richi menjadi seorang profesional.

"Dibanding 3 hari yang lalu, permainanmu kali ini terdengar jauh lebih rapih.�� masih dengan dipenuhi suara piano yang membumbung lantang mengisi seluruh ruangan, Kakek Dio mengomentari permainan Richi yang menurutnya ada peningkatan cukup signifikan.

Sayangnya Richi adalah anak yang keras kepala. "Tidak," sorot matanya yang masih fokus pada partitur diikuti irama jemarinya yang fokus menari di atas tuts, "Masih belum. Aku harus lebih berusaha lagi." Richi menyahuti komentar baik untuknya. Bukannya merasa senang dipuji, ia justru malah mengasihani dirinya sendiri.

Sedikit lagi, Richi akan selesai memainkan lagu itu. Ia sudah hampir di ujung nada.

"Jangan memaksakan diri, Richi. Kau sudah berusaha dengan keras setiap hari. Aku orang yang cukup keras. Tapi selama aku mengajarimu, aku tidak pernah memarahi mu, bukan? Itu karena aku tahu kau seorang pejuang. Percuma saja aku memarahimu, karena kau sudah terlebih dahulu memarahi dirimu sendiri ketika salah."

Nada minor terdengar ketika Richi mengakhiri lagu itu. Suara minor itu bukan suara yang sengaja ia mainkan sebagai nada penutup. Melainkan nada minor fals yang tercipta karena jemarinya asal tekan, ia kesal pada dirinya sendiri yang masih serampangan dalam bermain.

Sebelum bermain, ia sosok anak yang ceria. Tapi setelah ia bermain, ia terlihat menjadi sosok yang berbeda.

"Hhh." Richi mendengus pelan. Kakek Dio pun dengan seksama memperhatikan dengusan kekesalan tersebut.

"Apa kau sudah lapar? Bagaimana kalau kita makan du—"

"Kakek Dio," Richi menyela kalimat beliau yang belum sempurna terucap. "Apakah mungkin aku bisa menjadi seorang pemusik yang hebat?" meski ia bertanya pada Kakek Dio, matanya sendiri justru meredup menatap tuts piano.

Beliau hanya tersenyum melihat Richi yang terduduk menatap piano dengan wajah sedih. Ia terbesit satu ingatan, teringat satu kemiripan antara ia yang dulu dan Richi saat ini. Richi yang saat ini sedih karena berpikir apakah ia bisa menjadi seorang pianis profesional, mengingatkan pada dirinya yang dulu, saat menatap sedih di depan piano ketika harus membuang impiannya menjadi seorang pianis profesional. Ia sudah hidup selama 67 tahun. Jelas ia sudah tahu bagaimana menjawab pertanyaan dari anak itu.

"Kalau kau merasa kesal pada dirimu sendiri, silahkan saja. Aku tidak bisa membantu. Tapi kalau kau menyerah," Kakek Dio menepuk-nepuk badan piano itu dengan gagah. "Piano ini akan ku angkat, dan tanpa ampun akan ku lempar ke arahmu."

"Geh," mimik wajahnya seketika berubah. Dengan dibumbui tatapan mata yang seakan tidak percaya sekaligus ngeri, "Kalau begitu aku malah mati, dong!!?" Richi memprotes jawaban beliau.

"Makanya kalau tidak mau mati karena tertimpa piano ini, jangan tunjukkan wajah putus asa seperti itu!"

Untuk pertama kalinya, Richi melihat tingkah penuh ekspersif dari Kakek Dio. Hatinya sejenak mengumpat kalau beliau ternyata orang yang tegas cenderung mengerikan. Tapi ia juga tahu kalau beliau orang yang sangatlah ingin melihat dirinya berhasil menjadi seorang pianis handal.

Kakek Dio sudah tahu tentang apa yang menjadi mimpi terbesarnya.

Richi mengambil satu langkah awal untuk meregangkan tubuhnya yang kaku. Memperbaiki posisi duduknya, melemaskan setiap jemarinya lalu memejamkan matanya untuk menumbuhkan konsentrasi.

Kepalanya tertunduk. Tapi kali ini wajahnya memancarkan aura sebuah keyakinan. Richi mengambil nafas panjang dalam-dalam. Kesembilan jarinya melayang-layang di atas tuts hitam-putih seakan ingin berkata, 'Aku akan menaklukan mu, Chopin.'

"Kakek Dio," Richi kembali membuka matanya. "Berikan aku satu kesempatan lagi. Akan ku buat semua ini menjadi berhasil." kini ia sudah berhasil menutup lubang keputusasaan di dalam hatinya.

"Ya. Tunjukkan padaku." beliau merasa tersentuh. Ia merasa berhasil menemukan seseorang yang mirip dengannya dulu. Tidak. Bahkan lebih.

*

Pertama kali Kakek Dio bertemu dengan Richi adalah 4 bulan silam. Tidak ada ketertarikan sama sekali beliau pada Richi saat pertama kali bertemu. Hanya rasa iba yang menghampiri benaknya kala itu. Tentang Richi yang dikerjai oleh pasangan muda di sebuah taman kota.

Beliau yang kala itu duduk menikmati suasana sekitar, secara tidak langsung ikut menikmati alunan musik gitar yang diciptakan oleh Richi. Ia sedikit takjub melihat Richi yang mampu bermain gitar dengan tangan kanannya, bukan tangan kirinya. Hal yang cukup tak lazim. Walau itu semua tidak menurunkan sama sekali kelihaian jemari Richi untuk berdansa bersama 6 senar gitarnya yang terlihat sudah menghitam.

Setelah Richi memainkan 5 lagu berdasarkan request pasangan muda itu, pasangan itu pamit untuk mengambil uang di ATM dan menyuruhnya untuk menunggu di tempat. Mereka berjanji untuk kembali. Namun, lebih dari 1 jam berlalu pasangan itu tidak kunjung datang. Dengan wajah polosnya, Richi hanya terus termenung di sana menunggu janji yang jelas telah diingkari. Melihat kejadian itu, Kakek Dio datang mendekat. Ia memberikan beberapa lembar uang sembari mengusap rambut Richi. Kemudian pergi begitu saja tanpa mengatakan sepatah katapun.

Lalu sebulan setelah pertemuan pertama mereka.

Di sebuah pusat kota. Ada salah satu toko musik terkenal yang dengan sengaja menaruh Grand Piano di depan toko mereka. Peletakan piano di sana selain untuk membuat toko mereka terlihat cantik berestetika, tentu agar membuat pengunjung toko semakin meningkat. Tak jarang toko mereka menjadi pusat perhatian ketika seorang mahir piano bermain dengan cantik hingga dapat menciptakan ilusi indah bagi siapapun yang mendengarnya. Mengabadikan momen tersebut lalu bertepuk tangan merupakan hal biasa yang diberikan oleh penonton ketika konser jalanan itu usai.

Tidak ada status sosial yang harus dimiliki untuk memainkan piano itu. Siapapun yang lewat boleh saja duduk dan memulai konser jalanan mereka. Bagi orang awam yang tidak bisa bermain piano, mereka hanya akan mencoba menekan satu atau dua tuts untuk menghilangkan rasa penasaran. Meski terkadang ada beberapa orang yang begitu percaya diri bermain walau hasilnya justru merusak membran telinga bagi siapapun yang mendengarnya—tentu mereka adalah orang yang sudah siap menghancurkan reputasi pribadi di keramaian. Tapi bagi seorang profesional, memilih duduk dan mulai bermain sama saja dengan menjemput keberuntungan—mereka harus mempersiapkan diri untuk menjadi sorotan di tengah keramaian kota, terabadikan, mendapat gemuruh tepuk tangan di akhir laga.

Tak terkecuali Kakek Dio.

Beliau bukan orang yang suka menjadi pusat perhatian. Setidaknya di usianya yang sudah senja kini. Namun entah roh apa yang merasukinya, tanpa diminta oleh siapapun, ia untuk pertama kalinya berani duduk di hadapan piano itu dan mulai bermain. Ia seakan-akan membuka tirai merah besar menandakan bahwa konser tunggalnya telah dimulai.

'Etude Op. 25, No.11 – Winter Wind.'

Frederic Chopin. Kakek Dio memainkan lagu milik sang komposer legenda itu.

Bagi orang awam, lagu yang dimainkannya kala itu terdengar seperti orang yang sedang berlari cepat, seakan ingin melepaskan diri dari rasa kesedihan yang mendalam sembari menjerit keras. Sangat keras.

Atau mungkin bagi sebagian orang awam lainnya, lagu yang dimainkannya kala itu terdengar seperti orang yang sedang marah besar. Meledak penuh amarah.

Kakek Dio memilih lagu dengan komposisi yang bagaikan labirin. Partitur yang sulit untuk diikuti oleh para pianis. Namun kakek Dio jelas sudah melewati batasannya. Ia mampu memainkan semua nada dengan sempurna dengan bertabur perasaan penuh emosionalnya yang ikut menyelimuti setiap nada pianonya yang keluar. Jemarinya mengalun mendikte setiap tuts dengan ditemani tetesan keringat yang jatuh beberapa butir karena redup teriknya sinar sore matahari—karena konsentrasinya yang terlalu dalam—karena kepingan memorinya yang mengalir keluar. Permainannya seakan-akan ingin memberitahu kepada seluruh dunia bahwa saat itu dia sedang terluka. Sedang sedih. Sedang marah. Sedang menderita. Juga bersyukur.

Itu memang lagu yang penuh emosi.

Dan Kakek Dio berhasil meledakkan semua emosi itu ke para pendengar.

Beliau menyudahi permainannya. Konsentrasinya perlahan mulai pecah. Nada terakhir yang berbunyi nyaring pun mulai memudar di udara. Tanpa ia sadari,

Sudah banyak orang yang mengelilingi.

Ia dan permainan pianonya bagaikan malaikat tak bersayap. Kehadirannya di sana membuat banyak pasang mata tercenung. Mimpinya menjadi pianis dunia memang telah berakhir. Tapi permainan indahnya yang menawan masih jelas ada di dalam diri. Masih dengan permainannya yang membius. Membekas di hati pendengarnya.

Di suatu sudut, dengan mata berbinar, seorang anak menyanjung setelah gemuruh tepuk tangan berakhir. "Keren banget~!"

Wajah kakek Dio menoleh ketika mendengar sanjungan dari anak itu. Ia merasa tak asing dengan wajahnya. Ingatannya mencoba menelusuri setiap momen di hidupnya dengan bertaruh kalau ia memang pernah bertemu dengannya di waktu lalu.

[Ah. Dia…]

Ia mulai teringat peristiwa sebulan silam. Ketika seorang anak dengan wajah polosnya menunggu sebuah janji yang tak kunjung ditepati. Seorang pengamen cilik yang ia beri uang dan usapan pelan di kepala.

"Jangan pergi dulu ya, Kakek. Tunggu aku di sini. Aku akan kembali." dari gerumunan orang yang mulai pergi, anak ini masih kokoh di tempatnya berdiri menemani Kakek Dio yang masih terduduk. Richi meminta agar beliau tidak pergi kemana-mana dan menunggunya di sana.

Belum sempat beliau menjawab, Richi pergi meluyur begitu saja membawa gitar usang yang dilingkarkan di tubuhnya dengan meyakini kalau beliau akan bersedia menunggu. Anak yang begitu polos. Anak yang begitu naif.

Meski beliau belum menyetujui permintaannya, ia tahu kalau ada sesuatu yang ingin anak itu lakukan. Ia mencoba bersabar menunggu. Bangun dari posisi duduknya dan berdiri menunggu di samping Grand Piano itu berada.

Tak begitu lama, "Terima kasih mau menunggu ku, Kakek." Richi kembali. "Bolehkah aku meminta tanda tanganmu?" ia menyodorkan sebuah buku tulis dan pena biru. Mungkin saja ia baru habis membelinya. Dan matanya yang berbinar masih belum terlihat meredup sama sekali.

"Oh," beliau sedikit kaget���dan sedikit merasa canggung. Dulu ketika aktif sebagai pianis ia memang sering dimintai tanda tangan oleh banyak orang. Namun baru kali ini ia merasa canggung dan tersanjung. "Dengan senang hati."

Beliau kembali menyodorkan buku dan pena itu setelah selesai mengukir tanda tangannya di dalam sana. Saat Richi ingin mengambil dengan kedua tangannya, beliau sedikit terhentak. Kali ini ia sadar mengapa Richi bermain gitar dengan tangan kanan. Jemari Richi tidak sempurna—jari kelingking tangan kirinya tak ada. Beliau melihatnya dengan sangat jelas ketika kedua tangan Richi merangkah. Perasaan di dalam dirinya bercampur aduk. Ada perasaan bersimpati, sekaligus ada perasaan bangga. Meski tak mudah, beliau tahu anak ini punya semangat juang yang tinggi. Keberhasilannya menaklukan gitar dengan keterbatasan membuat beliau meyakini itu.

Bahwa Richi adalah orang yang spesial.

"Kau suka dengan musik?" beliau bertanya dengan nada mengayun.

"Ya."

"Kalau piano?"

"Um, aku sangat ingin memainkan piano ini," Richi mengelus badan piano di depannya. "Tapi aku tidak bisa bermain piano." bukannya menunjukkan wajah sedih, ia justru tersenyum lebar.

Beliau mengerti arti senyuman yang mengembang di bibir Richi. Bahwa senyuman itu hanyalah topeng yang dibuat olehnya untuk menutupi rasa sedih akan keinginan yang dirasa tidak akan tercapai. Mimpi yang semestinya harus dikubur dalam-dalam.

"Tapi apa kau menikmati pertunjukkan piano?" pertanyaan ini sebenarnya bukan tertuju untuk Richi, tapi untuk dirinya sendiri. Sekali lagi, beliau mencoba meyakinkan akan dirinya.

"Aku sering mengamen di sini. Rasanya sangat menyenangkan bisa melihat pertunjukkan piano dari orang-orang hebat. Apalagi pertunjukan mu barusan, Kakek. Pertunjukan mu adalah pertunjukan terbaik yang pernah ku lihat." bagi Kakek Dio, suara Richi ketika menjelaskan semua ini terdengar sangat lantang. "Aku merasa beruntung masih hidup dan melihat pertunjukanmu." namun terasa begitu sangat mendalam.

"Siapa namamu?���

"Huh?" Richi hanya sedikit mengerjap. Ini adalah pertama kalinya ada orang asing menanyainya sebuah nama. "Namaku, Richi."

"Baiklah, Richi," tangan kanan beliau mendarat pelan di atas kepala Richi. Richi pun tak bergeming, hanya melirik ke atas dimana tangan itu bersandar di kepalanya. "Bagaimana kalau aku mengajarimu bermain piano?" sebenarnya beliau tidak tahu apa yang sedang ia katakan. Tapi ada perasaan bangga di dalam dirinya ketika mengatakan itu.

"Huh?"

Di ujung matanya, terlihat ekspresi kaget Richi yang membuatnya tersenyum. "Kau mau?" beliau tahu tawarannya barusan memang terlalu mendadak dan terkesan aneh. Tapi ia tidak bisa menahan diri untuk mengatakannya.

Richi tersendat ketika ingin membalas. Ada beberapa hal yang berkecamuk di dalam pikirannya ketika mendapat tawaran itu. "Aku sangat ingin," dan jelas ia tahu dimana letak masalahnya berada. "Tapi aku tidak punya uang untuk les piano."

Richi bukanlah anak yang terlahir dari keluarga berada. Baginya, mimpi besar harus diiringi dengan uang yang besar pula agar mimpi tersebut menjadi nyata. Ia terbiasa untuk bermimpi lalu menguburkan mimpi itu sesudahnya. Ia terbiasa melakukan itu. Bukan karena ia anak yang mudah menyerah, melainkan ia tahu kalau semua mimpinya hanya sebatas omong kosong yang diciptakan oleh imajinasinya yang penuh fiktif belaka.

Ia hanya seorang anak yang terlatih untuk mengalah.

"Jangan mengkhawatirkan itu," beliau mengusik tangannya. "Kau tak perlu membayar apapun. Aku akan mengajari mu secara sukarela." ini adalah kedua kalinya ia mengusap kepala Richi. "Jadi bagaimana? Kau bersedia?"

Angin sore hari yang menerpa lembut wajah Richi datang bersamaan dengan kalimat sederhana yang terucap dari bibir Kakek Dio. Pergantian suasana dari teriknya mentari ke lembutnya semilir angin petang, "Uh. Tolong ajari aku." menjadi saksi di antara keduanya. Cerita sederhana tentang bagaimana mereka berdua akhirnya saling terikat.

Tentang pertemuan antara guru dan murid yang akhirnya saling melengkapi.

Bertahun-tahun silam, ketika Kakek Dio masih aktif menjadi seorang pianis, ia tidak pernah sama sekali memiliki murid. Yang ia lakukan dulu hanyalah berlatih dan berlatih hingga tanpa sadar ia sudah berada di puncak karir. Andai saja kala itu ia membuka kelas untuk mengajar, pasti sudah banyak calon pianis yang mendaftar untuk menjadi muridnya meski harus menggelontorkan dana yang tidak sedikit. Prestasi gemilangnya akan menjadi portofolio emasnya. Namun ia tak pernah memikirkan itu. Lagi pula, guru dan orang di sekelilingnya sama sekali tidak memberi ruang bagi siapa pun untuk menganggu konsentrasinya dalam bermusik—apalagi membuka kelas mengajar.

Setelah kematian istri dan anaknya, barulah sering terpikirkan oleh Kakek Dio untuk membuka kelas les piano dengan bantuan kerabat. Namun niat itu selalu diurungkan karena ia merasa berkecimpung di dunia musik sama saja mengkhianati mendiang istrinya yang membenci musik. Kasus yang berbeda ketika hanya bermain piano sendiri saat di rumah—tak ada yang mendengarkan—tak ada yang peduli.

Berbeda jika ia memilih bermain untuk menjadi seorang pengajar. Menjadi guru musik, ia merasa sama saja ketika saat menjadi seorang pemain pianis aktif. Permainannya akan didengarkan. Permainannya akan diapresiasi. Ia tak tega melakukan itu. Mendiang istrinya tanpa ia sadari berubah menjadi sebuah doktrin.

Menjadi belenggu di dalam hatinya.

Baju lusuh. Rambut yang sedikit acak-acakan. Dan gitar yang usang. Pertemuannya dengan Richi bagai sebuah pemutus rantai yang menjerat belenggu di hati. Kedatangan anak itu menggiringnya kembali. Untuk menikmati sisa hidupnya bersama musik sepenuhnya.

Ia sudah tak lagi terpenjara.

Kakek Dio kini sudah kembali hidup bersama musik.

Baik Richi maupun Kakek Dio…

Mereka berdua sudah saling menyelamatkan.

*

Denting piano di rumah itu berbunyi semakin syahdu. Setiap jari yang menekan tuts terasa ingin berkata kalau semua permainan indah ini akan terkenang. Permainan yang menguras banyak konsentrasi. Permainan yang juga harus diselimuti dengan perasaan yang kuat.

Permainan indah yang akan segera berakhir.

Gerakan halus tercipta ketika jemari Richi mengakhiri nada penutup lagu itu. Setiap not dari lembaran partitur telah berdenting sempurna. Kakek Dio dan apapun yang ada di dalam rumah itu menjadi saksi kalau akhirnya Richi telah menepati janji.

[Bakatnya tak terhentikan.] Kakek Dio membatin ketika menyaksikan Richi telah berhasil menaklukan musik Chopin. Level kemampuan Richi maju selangkah lebih jauh. Anak itu sudah melewati batasannya hari ini.

"Fiuuuuh~," ada perasaan lega yang hanya bisa ia katakan dengan mendengus keras. Keningnya dibanjiri keringat yang mengucur turun hingga ke wajah. Tak salah jika ia menyekanya ketika permainan itu sudah berakhir. Bahkan, usaha kerasnya itu sampai membuat pandangannya pun menjadi sedikit berkunang, "Menakutkan sekali." tapi jelas ia bangga akan pencapaiannya barusan. "Bagaimana permainanku barusan? Kau mendengarnya kan, kakek Dio?"

"Itu…" tak banyak kata yang mampu beliau ungkapkan. "Permainan yang menyentuh, Richi." hanya senyuman bangga yang terpancar di wajahnya untuk menjawab rasa penasaran anak itu.

"Aku berhasil. Syukurlah."

Ini bukan pertama kalinya Richi terlihat begitu emosional. Sudah 3 bulan semenjak ia berlatih piano. Saat pertama kali ia bermain dan diberi tantangan oleh Kakek Dio, ia memperlihatkan ekspresi emosional yang sama ketika berhasil menuntaskan tantangan. Setiap tantangan demi tantangan ia selesaikan. Dan setiap ekspresi kebahagiaan selalu ia perlihatkan sesudahnya. Tapi kali ini ekspresinya sedikit berbeda. Lebih hidup. Lebih bahagia. Ia seperti berhasil keluar dari jeratan lalu terbang bebas.

Mungkin kepercayaan dirinya tumbuh menjadi lebih kuat dari hari lalu.

"Bagaimana kalau sekarang kita makan? Kau pasti sudah lap—"

"Sudah jam 4, ya?" Richi kembali menyela kalimat Kakek Dio. Ia bergumam begitu saja ketika melihat jam dinding yang menempel di hadapannya. ��Kakek Dio, Aku harus pulang sekarang."

"Tunggu dulu, Richi. Lebih baik kau makan dulu sebelum pulang."

Richi bergegas berdiri dari kursi. "Ibuku pasti sudah menunggu."

"Bagaimana kalau aku bungkuskan untuk kalian berdua?" beliau juga bergegas berdiri dari kursi. Telunjuk tangan kanannya mengacung memberi isyarat agar Richi bersedia menunggu sejenak.

"Tidak perlu, Kakek Dio. Aku tidak mau merepotkan mu lebih dari ini."

"Aku tidak merasa sama sekali direpotkan."

"Jangan khawatirkan soal itu. Aku akan sekalian membeli makan di jalan, kok."

"Hhh," beliau tidak tahu sudah berapa kali ia mencoba menawarkan makan bersama pada Richi. Penolakan yang sama selalu saja ia dengar dari bibir anak itu. "Baiklah. Hati-hati di jalan, Richi."

"Uh. Terima kasih banyak untuk hari ini, Kakek Dio."

"Sejujurnya aku tidak mengajarimu apapun hari ini. Tapi… ya, sama-sama."

Terlalu banyak perasaan baik yang menghinggapinya saat ini. Hingga setelah mencium tangan dan melingkarkan gitar miliknya ke tubuh, Richi berjalan menuju pintu keluar dengan menyisakan wajah sumringah berbunga-bunga.

"Oh iya, Kakek Dio," langkah Richi terhenti sejenak tepat diujung pintu. "Tantangan apa yang akan diberikan untukku selanjutnya?"

Kakek Dio sangat tahu bahwa Richi adalah anak yang keras kepala. Kali ini ia sudah mempersiapkan kejutan besar. "Bersiaplah. Aku akan membuat mu menangis di tantangan berikutnya."

Richi mengerjap. "Hehe." senyuman di bibirnya mengartikan kalau ia justru menantikan itu. Selama itu tentang musik, "Sampai jumpa besok, Kakek Dio."

"Ya. Sampai jumpa."

Ia takkan gentar sama sekali.

@ @ @ @ @

LANJUT KE BAB 1 BAGIAN 2.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login