Download App
19.23% BARA

Chapter 25: Genggaman

Bara benar-benar baru pertama kali ini masuk ke gedung kesenian wayang orang. Mirip bioskop sih, cuma di depan sama bukan layar lebar tetapi panggung kesenian. Di depannya ada banyak alat musik gamelan sebagai pengiringnya.

"Kita duduk di mana?" tanya Bara sambil celingak-celinguk.

"Kursi yang kosong dong, mau di mana lagi?" guman Septi sambil tertawa.

"Iya maksudnya yang sebelah mana?" Bara garuk-garuk kepala, karcis seharga sepuluh ribu tadi tidak ada nomornya, dan kursinya pun juga tidak ada nomornya.

"Tengah-tengah saja deh, sini!" sontak Septi menarik tangan Bara, dan mereka duduk di sisi tengah.

"Ada nyamuknya nggak nih?"

Septi melirik Bara dengan tatapan konyol, memang kenapa sih kalau ada nyamuknya? Mau tak mau Septi tertawa juga.

"Eh, serius nih. Nggak nyaman dong kalau banyak nyamuknya!" Bara mendengus sambil melirik Septi yang tengah tertawa itu.

"Sudah lah, nih makan kacang." guman Septi lalu menyodorkan kacang rebus itu.

"Nggak ada niatan ngupasin kayak tadi?" goda Bara sambil tersenyum jahil.

Septi tercengang di tempat duduk, sontak wajahnya memerah. Ia mengambil kacang rebus itu lalu mengupasnya.

"Nih, buka mulutnya!"

"Nah gitu dong!" Bara tersenyum, lalu membuka mulutnya dan membiarkan Septi menyuapkan kacang itu ke dalam mulut Bara.

"Manja." guman Septi sambil mencoba menyembunyikan wajah merahnya.

"Biarin. Kamu juga mau!" jawab Bara asal sambil kembali membuka mulutnya.

"Apa?" tanya Septi pura-pura tidak tahu.

"Lagi, memangnya apa?" Bara memasang wajah konyol, ia suka dengan wajah bersemu merah di hadapannya itu.

Septi merasakan wajahnya memanas, ia menatap manik mata itu. Kenapa rasanya aneh begini sih? Dengan gugup Septi kembali mengupas kacang, lalu menyodorkan ke hadapan Bara. Saking gugupnya, tangan Septi bergetar hebat, membuat Bara sedikit kesulitan hendak menggapai kacang dalam pegangan jemari Septi.

Bara meraih tangan Septi, menggenggam erat, lalu mengarahkan kacang itu dalam mulutnya. Septi tersentak, ia membeku di tempatnya duduk. Menatap Bara yang masih menggenggam erat tangannya itu.

"Kamu cantik!" guman Bara tak kunjung melepaskan genggaman itu.

"Ahh ... gombal!" Septi hendak melepaskan genggaman itu. Namun Bara tidak mau melepaskannya.

"Septi, ak ...,"

Belum sempat Bara melanjutkan kata-katanya, suara gamelan mulai terdengar, tanda bahwa pertujukan sudah hendak dimulai.

"Eh, sudah mulai tuh!" dengan sekali hentakan Septi melepaskan genggaman tangan Bara. Lalu pura-pura fokus menatap ke depan.

Bara menghela nafas panjang, ia pun mencoba menikmati acara pentas kesenian itu. Dari sudut matanya ia menangkap wajah itu masih begitu memerah. Bara sangat suka menatap wajah itu.

"Habis ini makan dulu yuk!" bisik Bara di sela-sela gema suara gamelan.

"Kemana?" Septi tidak beranjak dari pandangannya.

"Oh La Vita mau? Atau The Barn? Eat Boss?"

"The Barn oke kayaknya!" kini Septi menoleh, ia tersenyum begitu manis.

"Oke, kemanapun kamu mau pergi, aku ikut." Bara ikut tersenyum, makin lama iya makin klop dengan sosok cantik ini. Lantas kapan ia bisa mengutarakan niatnya untuk melamar Septi?

***

"Suka pertunjukan tadi?" tanya Septi ketika mereka sudah selesai menonton wayang orang. Mereka sudah berada di mobil, perjalanan hendak ke The Barn, sebuah restauran dengan desain yang unik dan instagramable yang sedang naik daun itu.

"Suka banget." jawab Bara yang sudah serius dengan kemudinya. "Apalagi nontonnya sama kamu."

Septi tersentak, ia menatap Bara yang masih serius dengan kemudinya. "Jangan gombalisasi terus, ah!"

Bara tertawa, "Gombalisasi gimana sih? Aku serius." Bara menoleh, menatap Septi sekilas. "Kamu sudah punya pacar?"

"Belum, aku masih sendiri." jawab Septi gugup.

"Baguslah." Bara tersenyum, ia benar-benar lega mendengar pengakuan Septi.

"Kenapa? Ngeledek ya?" tanya Septi pura-pura kesal.

"Bukan ngeledek, aku bersyukur kamu masih sendiri." Bara tersenyum kecut, galak juga ternyata gadis ini.

"Kenapa bersyukur?" Septi menatap sosok yang duduk disampingnya itu dengan penuh tanda tanya.

"Aku ingin kamu." jawab Bara singkat, tanpa menoleh sekalipun.

"Maksudnya?" Septi menaikan alisnya.

"Sudah siap nikah belum? Kalau aku lamar, kamu setuju?"

Septi mengejang di tempatnya duduk. Orang satu ini kenapa sih? Baru kemarin kenal, ini sudah mau main lamar? Yang benar saja!

"Jangan bercanda! Ini nggak lucu, Bi!" Septi menggebuk gemas lengan Bara.

"Aku serius! Kau perlu bukti apa supaya kamu percaya?"

"Ngaco!" komentar Septi sambil geleng-geleng kepala.

"Dimana rumahmu? Aku pengen ketemu orangtuamu." tanya Bara dengan nada suara serius.

"Abimana! Aku serius!"

"Aku juga serius, kan aku sudah bilang tadi, kamu butuh bukti apa supaya kamu percaya?" Bara melirik sekilas ke arah Septi.

Septi menatap Bara tidak percaya, bisa-bisanya ia memutuskan untuk menikahinya padahal belum ada seminggu kenal. Laki-laki macam apa dia ini?

"Secepat ini? Kamu kan belum tahu siapa aku, bagaimana aku?" Septi benar-benar tidak mengerti.

"Kamu Septi, seorang bidan. Dan kamu baik, aku percaya itu. Kalau kamu tanya kenapa secepat ini itu karena aku sudah cukup yakin dengan mu dan aku tidak mau jika harus kembali kehilangan lagi." suara Bara begitu dingin, tanda ia benar-benar serius.

"Tapi aku belum tahu siapa kamu, aku ...,"

"Tanyakan apapun tentang diriku, dan aku akan menjawabnya sejujur-jujurnya." potong Bara sambil melirik tajam ke arah Septi.

Septi tertegun menatap sorot mata itu. Sorot itu tampak serius, dan Septi sadar, laki-laki di hadapannya ini sedang tidak bercanda.

"Oke, yang pertama dari mana asalmu?"

"Madiun, aku asli Madiun." jawab Bara singkat.

"Apa pekerjaanmu?"

"Aku punya usaha kedai kopi di Madiun dan beberapa kota lain."

"Katanya kamu ...,"

"Maaf aku bohong, sebenarnya aku yang punya warung geprek itu, aku hanya belum siap kamu tahu tentang pekerjaan ku yang sebenarnya." jawab Bara akhirnya jujur.

"Jadi, ini ...."

"Iya, ini mobil punyaku. Maaf aku tidak bermaksud berbohong kepadamu." Bara menatap sekilas sosok yang tengah tercengang itu. Tatapan itu berubah menjadi lembut.

"Siapa kamu sebenarnya?" Septi sontak menjadi takut, siapa sosok Abimana itu sebenarnya.

"Aku seperti yang kamu lihat ini. Aku bukan orang jahat, percayalah."

"Siapa kamu sebenarnya! Siapa namamu?" suara Septi tercekat, ia benar-benar takut.

"Namaku Abimana, Bara Abimana Soeprapto."

Septi kembali tercengang untuk yang kedua kali. Bara? Ia tidak salah dengar bukan? Nama Abimana itu Bara? Bara Abimana Soeprapto? Apakah Bara yang ini sama dengan Bara yang Nindi kemarin tawarkan kepadanya? Nindi dari Madiun juga bukan? Apakah benar?

"Kamu kenal Nindi? Nindya Pradita Prasetio?" tanya Septi dengan hati-hati, jantungnya berdegup kencang.

"Lho, kamu kenal dia juga? Dia sahabatku!"

Jantung Septi rasanya mau rontok! Jadi ini benar Bara yang Nindi tawarkan untuk dikenalkan kepadanya itu? Astaga! Septi benar-benar tidak percaya.

"Nindi sahabatku dari kuliah. Jadi kamu yang dulu itu mengantar Nindi ke rumah Lili?" tanya Septi hendak menangis.

"Lho, kok kamu tahu sih?" Bara terkejut, darimana Septi tahu? Dan apa tadi dia bilang? Dia sahabat Nindi? Kenapa Nindi tidak cerita kalau dia punya sahabat secantik ini?

"Tau, aku juga di sana dulu. Kamu kan yang dulu hendak dijodohkan dengan Nindi sama nenek kalian?"

Bara mencoba mencerna semua obrolannya dengan gadis itu. Jangan-jangan ....

"Danisa?"


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C25
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login