Download App
Catching The Sun Catching The Sun original

Catching The Sun

Author: Astralian

© WebNovel

Prolog

"Masuk ke kamarmu sekarang juga, Shiara!" teriak Vienny dengan panik. Dia mendorong punggung anaknya ke arah kamar dengan sedikit kasar.

Tentu saja Shiara kebingungan dengan perubahan sikap ibunya. "Apa yang terjadi, Mom?" tanyanya sambil menoleh dengan kaki terseok-seok. Mereka sedang menonton televisi bersama saat tiba-tiba tubuh ibunya menegang dengan ekspresi horor.

Shiara tidak bodoh untuk mengetahui bahwa ibu dan ayahnya selalu menyembunyikan pistol di balik baju mereka. Dan kini, senjata berbahan perak itu tengah berada dalam genggaman ibunya, siap untuk digunakan. Namun ia tidak mengerti bahaya apa yang mengancam mereka hingga selalu menyandang benda tersebut setiap hari.

Vienny mendorong Shiara ke dalam kamar dan berjongkok untuk menyamakan tinggi badannya. "Jangan keluar dari kamar, apa pun yang terjadi!" larangnya dengan mata yang saling terkunci dengan iris hijau anaknya. "Kau mengerti?" tanyanya yang langsung diangguki oleh buah hatinya. "Anak pintar!" puji Vienny sambil mengusap kepala Shiara dan mengecup keningnya dengan sayang. Sambil tersenyum, ia bangkit dan menutup pintu kamar.

Suara kunci yang diputar membuat Shiara tersadar bahwa ia terkurung dalam kamarnya sendiri. Dia tidak takut sendirian, asalkan tidak ada pemadaman listrik yang akan memerangkapnya dalam kegelapan. Ia sangat membenci kegelapan.

Di usianya yang masih sangat kecil, wajar jika Shiara tidak bisa membendung rasa penasarannya. Sikap ibunya dan pistol yang digenggamnya membuatnya memikirkan adegan-adegan di televisi. Apa yang sedang terjadi? Apakah ada segerombol perampok yang ingin menjarah rumahnya?

Gadis berusia sembilan tahun itu menempelkan satu telinganya pada daun pintu. Suara gaduh dan bisik-bisik yang teredam mulai terdengar. Siapa yang datang? Apakah ayahnya baru saja pulang? Sayangnya ia tidak menangkap percakapan itu dengan jelas.

Tiba-tiba sebuah petir menyambar sangat dekat. Kilatannya terlihat dari jendela dan suara gelegarnya menyusul kemudian. Shiara refleks menjerit antara kaget dan takut. Napasnya seketika memburu dengan keringat yang mulai bermunculan.

Seolah mendapat firasat buruk, ia segera menyambar boneka kucingnya. Meski dengan tangan gemetar, untungnya ia berhasil menyalakan lampu berbentuk lucu tersebut. Tubuh boneka itu pun mulai berpendar warna-warni.

Memang benar bahwa firasat buruk pasti akan terjadi. Karena pada kilatan petir berikutnya, listrik padam, menyisakan cahaya warna-warni dari si boneka kucing. Shiara seketika tercekat. Netra birunya bergulir menyisir penjuru kamarnya.

Siluet perabotannya terlihat menyeramkan, bak monster yang tinggal dalam kegelapan. Ia pun menatapi ukiran pintu, sebisa mungkin tidak memandangi lemari atau tempat tidurnya. Ia tidak mau membayangkan hantu macam apa yang akan keluar dari sana.

Ia pun mengeratkan pelukan pada bonekanya sambil merapat ke pojok kamar yang tak jauh dari pintu. Ketika punggung dan lengan kanannya menabrak dinding, Shiara merasa sedikit aman. Setidaknya kini ia bisa bernapas lebih teratur.

Bersamaan dengan padamnya listrik, suasana di luar kamar pun menjadi senyap. Tidak ada suara guyuran hujan meski petir masih terdengar sesekali. Pendengaran gadis itu pun otomatis menajam hingga ia bisa mendengar degup jantungnya yang bagai genderang.

Dor!

Suara tembakan menggema di dalam rumah. Shiara tersentak kaget tanpa bisa menjerit. Seolah ada buah apel yang menyumbat tenggorokannya. Mau tak mau, ia bertanya-tanya, apakah ibunyalah yang melepaskan tembakan tersebut?

Tak lama kemudian, kegaduhan kembali terdengar. Suara ledakan bom, tembakan yang bersahut-sahutan, dan kaca pecah diiringi hujan badai yang datang tiba-tiba. Gempa bumi pun menambah bencana yang melanda rumah itu.

Shiara jatuh terduduk. Selain karena guncangan gempa, juga karena kakinya yang lemas seperti puding. Tangannya pun berusaha menutup telinga, tapi suara-suara di luar terlalu keras hingga masih mampu ia dengar.

Ketakutan Shiara berlipat ganda saat mendengar pekik kesakitan ibunya. Refleks ia menggedor pintu dengan panik, "Mom! Apa yang terjadi?"

Bukannya mendapat jawaban, Shiara malah mendengar teriak panik ayahnya yang mengonfirmasi dugaannya. Ibunya pasti terluka parah! Takut dan panik semakin membungkus hati Shiara dengan sempurna. Tentu saja ia ingin menolong orang tuanya, tapi ia bahkan tidak bisa mengatasi ketakutannya sendiri.

Kekacauan terus berlanjut. Rumah itu berguncang-guncang oleh gempa yang tak kunjung reda. Begitu juga dengan hujan badai yang terus menghantam rumah hingga pecahan atapnya berjatuhan. Shiara benar-benar tak mengerti bencana macam apa yang melanda rumahnya. Kenapa bencana alam ini datang bersamaan dengan serangan para perampok? Sebenarnya, perampok macam apa mereka?

"Tidak! Jangan bunuh Vienny!" teriakan ayahnya semakin membuat Shiara meringkuk ketakutan. Namun bersamaan dengan itu, hujan dan gempa seketika lenyap.

Permohonan Adriant malah ditanggapi dengan gelegar tawa yang terdengar mengerikan. "Tidak ada ampun untuk hewan ternak seperti kalian!" ujar seseorang setelah mendengus. "Habisi dia!" lanjutnya yang kembali mengundang pekikan dari Adriant.

Jantung Shiara seolah berhenti berdetak mendengarnya. Ia akan kehilangan ibunya. Dan mungkin juga ayahnya tak lama lagi.

Jerit kesakitan Vienny terdengar lebih keras dari apa pun yang pernah Shiara dengar. Hatinya seperti dicabik dengan sabit tak kasat mata. Meski tak ingin, otaknya malah membayangkan kondisi ibunya saat meregang nyawa. Pasti sangat menyakitkan hingga teriakannya terdengar semenyakitkan ini.

"Cukup! Hentikan!" teriak Adriant.

Si perampok tertawa terbahak-bahak, menikmati apa yang ia lakukan. "Tenang saja, aku juga akan mengirimmu ke neraka untuk menemani istrimu!" katanya. "Bukankah aku cukup baik?" sambungnya yang kembali tertawa.

Tak lama kemudian, teriakan ayah Shiara menggantikan jeritan ibunya yang mulai reda. Teriakan itu semakin menambah luka yang baru saja tertoreh di hatinya. Jika bisa dilihat, mungkin kini hatinya telah berkubang darah.

Gadis cilik itu tidak tahu sejak kapan air matanya mengalir. Sepertinya cukup lama karena kini pipinya sangat basah. Ia bahkan tidak bisa bernapas dengan baik karena tercekat dengan hidung tersumbat ingus.

Berlawanan dengan suara ayahnya yang perlahan menghilang, tangisan Shiara justru semakin keras. Hanya dalam hitungan kurang dari satu jam, ia telah menjadi yatim piatu. Apakah setelah ini, dia sanggup melanjutkan hidup seorang diri? Apa yang bisa dilakukan seorang gadis yang bahkan belum genap berumur sepuluh tahun?

Bayangan akan masa depan Shiara yang suram seketika buyar saat suara langkah kaki terdengar mendekat. Dukanya enyah, berganti dengan kepanikan. Tidak, ia tidak mau mati juga malam ini! Meskipun saat ini dia tidak bisa melawan, tapi ia berjanji akan membalaskan kematian kedua orang tuanya suatu saat nanti. Maka dari itu, ia tidak boleh mati sekarang!

Mata lebar Shiara jelalatan mencari jalan keluar hingga tertumbuk pada jendela. Namun kamarnya berada di lantai dua. Jika ia nekat melompat dari sini, bisa dipastikan kakinya akan mengalami patah tulang dan ia tidak akan bisa kabur.

Maka, dengan terpaksa Shiara mematikan lampu kucingnya. Tubuhnya semakin bergetar ketakutan dalam kegelapan total. Tetapi ia tahu bahwa hanya cara inilah yang bisa menyelamatkan nyawanya.

Mata Shiara terpejam seerat mungkin. Mulutnya ia bekap sambil menggigit lidah agar tak ada satu pun isakan yang lolos. Batinnya memanjatkan doa agar diselamatkan entah bagaimana caranya.

Dan sepertinya, Tuhan mendengar doa Shiara karena si perampok hanya melewati pintu kamarnya begitu saja. Namun ia masih tak berani menghela napas lega. Bisa saja orang-orang jahat itu mendobrak setiap pintu untuk mengambil barang-barang berharga.

Untungnya, perkiraan Shiara terbukti salah. Karena salah satu perampok itu malah berkata, "Misi selesai. Sebaiknya kita segera melapor."

"Bagaimana dengan mayat mereka? Jika kita biarkan begitu saja, keberadaan kita pasti akan terbongkar," bantah si perampok lain.

"Bakar saja!" jawab yang lain yang sukses membuat Shiara terbelalak. "Ayo!" imbuhnya.

Shiara kembali merasa panik. Ia harus segera keluar dari rumah! Meski kakinya masih selemas tanah liat, ia tetap berusaha untuk berdiri. Tangannya meraba dinding sambil berjalan perlahan-lahan. Kompas internalnya mengarahkannya ke jendela kamar. Masa bodoh jika kakinya mengalami patah tulang nantinya. Setidaknya itu masih lebih baik dari pada mati terbakar dalam ruang tertutup.

Petir tiba-tiba kembali datang. Kali ini sasarannya tepat ke arah rumah. Kilatannya yang menyilaukan menerangi kamar melalui jendela dan lubang pada atap. Awalnya Shiara bersyukur akan penerangan sekejap ini. Namun petir itu terus berdatangan bagai hujan anak panah. Bagian-bagian rumah yang terkena sambaran petir mulai tersulut api.

Si gadis malang menelan ludah kasar. Dia benar-benar tidak menyangka bahwa rumahnya akan terbakar secepat ini, apalagi dengan cara seperti ini. Apakah para perampok itu yang memanggil petir? Sebenarnya siapa mereka?

Namun tidak ada waktu untuk bertanya-tanya. Api sudah menjalar ke mana-mana, menghanguskan kayu dan perabotan. Asap tebal memenuhi udara, membuat Shiara terbatuk hebat.

Dipandu oleh kilatan petir, Shiara memaksakan diri berlari ke arah jendela. Tepat saat ia membukanya, sesosok gelap mendarat di balkon. Karena asap yang berlomba-lomba keluar, ia tidak bisa melihatnya dengan jelas.

Apakah dia adalah salah satu dari para perampok? Refleks si gadis melangkah mundur dengan ketakutan yang berlipat. Keberadaannya telah diketahui dan mungkin saja ia juga akan dibunuh dengan kejam.

"Jangan takut, aku akan menyelamatkanmu," ujar sosok itu dengan lembut. Tangannya terulur, meminta Shiara untuk menggapainya. Dan meski tak begitu jelas, sosok ini jelas-jelas tersenyum.

Tentu saja Shiara tidak percaya begitu saja. Ibunya sudah berkali-kali mengingatkannya bahwa seorang penculik biasanya merayu dengan kata-kata manis. Karena sangat sedikit sekali orang yang mau membantu orang lain tanpa meminta imbalan sepeser pun.

Sayangnya Shiara berada dalam situasi genting. Ia terjebak. Satu-satunya jalan keluarnya dijaga oleh orang asing berkulit terlampau pucat. Ia harus mengambil keputusan dengan cepat. Tetapi keadaannya benar-benar buruk. Matanya terasa semakin pedih hingga berair. Dadanya sangat sakit dan napasnya sesak.

Shiara terlalu banyak menghirup asap. Kepalanya kini terasa berat, diikuti pandangannya yang berkunang-kunang. Ia sangat ingin kabur, tapi kegelapan lebih dulu mengambil alih kesadarannya. Dia hanya bisa berharap agar mati dengan cepat tanpa merasa kesakitan.

To be continued...


CREATORS' THOUGHTS
Astralian Astralian

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C0
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login