Download App

Chapter 2: Chapter 2 - Lie

"Oh my God!" pekik Shiara. "Apa yang terjadi? Apa dia benar-benar mati? Jika benar, maka..." Bantingan dan tekanan pada dada si gelandangan yang telah Shiara berikan beberapa saat lalu, berkelebat dalam kepalanya. "Akulah yang membunuhnya?!" ucapnya histeris.

"Ah, apa yang harus kulakukan?" Shiara merasa semakin panik. Gambaran bahwa dia akan menghabiskan sisa hidupnya di penjara membuatnya ingin menangis. "Astaga, aku tidak bermaksud menyakitinya," monolognya.

Benar, Shiara memang sama sekali tidak berniat menyakiti lawannya. Dia hanya ingin menaklukkan lawan tanpa mencederainya. Karena itulah yang dia pelajari selama belajar bela diri Aikido. Tetapi sepertinya ia lupa bahwa sekarang sedang berada di halaman belakang rumahnya yang berkerikil, dan bukannya di Dojo yang beralaskan matras.

Sambil memejamkan mata sejenak, Shiara menghela napas panjang. Ia harus tenang agar bisa berpikir dengan jernih dalam situasi seperti ini. Dengan pemikiran bahwa tubuh manusia sangat kuat, yang tidak mungkin mati semudah itu, kepanikannya mulai surut.

Shiara mulai memeriksa denyut nadi si pria asing. Kelegaan membanjiri hatinya saat tahu bahwa gelandangan ini masih bernapas. "Sepertinya dia hanya pingsan," gumamnya.

Kendati masih pagi, tapi matahari di puncak musim panas sangatlah terik. Shiara harus membawa pria ini ke tempat teduh agar dia segera sadar. Karena tubuh gelandangan ini terlalu berat untuknya, Shiara tidak sanggup untuk menggendongnya. Ia pun mengaitkan tangannya di ketiak si lelaki dan menyeretnya ke dalam rumah.

Karena kamar di rumah Shiara berada di lantai 2, sedangkan ia tak kuat lagi menyeret gelandangan ini, Shiara pun membaringkan pria tersebut di sofa ruang keluarga. Protokol pertolongan pertama segera bermunculan di otak Shiara. Pertama, Shiara membuka semua jendela untuk memastikan pasiennya mendapat udara segar.

Kedua, longgarkan hal-hal yang mengikat ketat pada tubuh pasien. Dengan cekatan, Shiara segera melepas jubah si gelandangan. Dahinya mengernyit bingung saat melihat pakaian yang dikenakan pria ini. Kemeja dan celananya sangat bagus untuk menjadi seorang gelandangan lusuh. Bahkan jubah hitamnya juga sangat bagus dengan bordiran perak pada pinggirannya.

Sebenarnya siapa dia? batin Shiara sambil melepas dua kancing kemeja paling atas si pemuda. Dia kembali merasa bingung karena melihat dada lelaki itu yang berkulit pucat tanpa adanya ruam dan benjolan.

Gadis bersurai hitam itu segera memeriksa tangan si gelandangan. Punggung tangan dan telapak tangannya melepuh dengan beberapa benjolan berair. Tetapi lengannya putih bersih tanpa cacat. Hanya kulit yang tidak tertutup pakaian yang melepuh. Dan dilihat dari kulit aslinya yang sepucat tembok, sepertinya gelandangan ini alergi terhadap matahari.

Gumaman terakhir si pria sebelum pingsan, tiba-tiba terngiang di telinga Shiara. Mati terbakar. Jangan-jangan, lelaki ini mengidap penyakit mematikan yang disebabkan oleh matahari? Kanker kulit misalnya?

Shiara pun berdecak. "Apa dia ingin bunuh diri dengan menjemur diri di bawah sinar matahari seperti itu? Benar-benar bodoh!" omelnya sambil menutup jendela dan pintu, lalu menghidupkan AC.

Gadis bermarga Oswald itu melanjutkan pertolongan pertamanya. Dia melonggarkan ikat pinggang si pria asing, kemudian melepas sepatu dan kaos kakinya. Setelah itu, ia meletakkan bantal sofa di bawah kaki si pemuda, sekitar 30 cm dari dada. Tindakan ini bertujuan untuk mengembalikan aliran darah kembali ke otak.

Kemudian Shiara memeriksa napas dan denyut nadi pasiennya yang ternyata normal. Artinya, pria bersurai caramel ini tidak mengalami cedera kepala. Karena Shiara sempat khawatir jika serangannya tadi entah bagaimana membuat lelaki ini terbentur pot atau apa.

Gadis berusia 25 tahun itu kembali berusaha menyadarkan si pria asing. "Bangunlah!" ujarnya sambil menggoyang bahunya. "Jika kau tidak bangun dalam 5 menit, aku benar-benar harus melapor pada polisi dan memanggil ambulance," lanjutnya.

Beberapa saat kemudian, lelaki buruk rupa itu membuka matanya dengan sempurna. Sejujurnya Shiara merasa lega karena tidak harus berurusan dengan polisi. Itu akan sangat merepotkan dan menyita banyak waktunya.

Iris perak si pria asing menyisir ruangan dengan penasaran. Dia berada dalam sebuah ruang keluarga bernuansa hangat. Ada sebuah perapian di sebelah kanan ruangan. Televisi berada di seberang sofa yang ditidurinya. Sedangkan jendela berpemandangan halaman belakang ada di sebelah kiri ruangan.

Sementara itu, mulut Shiara terbuka karena takjub oleh iris mata pria di hadapannya. Ia tahu bahwa iris perak sangatlah langka di dunia. Dan dia tidak menyadarinya sedari tadi karena terlalu fokus melancarkan serangan Aikido-nya. "Apa kau masih merasa pusing?" tanya Shiara setelah menguasai diri.

Pemuda bersurai caramel itu mengalihkan seluruh atensinya pada gadis cantik yang berjongkok di sampingnya. Ia mengangguk dan menjawab, "Sedikit."

"Berbaringlah sebentar lagi, aku akan membuatkanmu minuman," ucap Shiara sambil bangkit dan beranjak ke dapur yang terletak tepat di belakang ruang keluarga.

Sepeninggal Shiara, pria itu memijit pelipisnya. Dia masih merasa pening dengan dada dan tangan yang terasa nyeri. Wajah dan tangannya juga masih terasa panas dan gatal. Saat akan menggaruk wajah, ia merasakan benjolan-benjolan pada pipinya. Kepanikan seketika merayapi hatinya. Ia meraba seluruh wajah dan merasakan banyak sekali benjolan berair dan kulit yang mengelupas. Meski rasa gatalnya sangat ekstrim, tapi ia menahan diri untuk tidak menggaruknya. Dia khawatir akan memperparah luka, mengingat tangannya tidak steril.

Lelaki beriris langka itu menatap kedua tangannya yang bergetar. Melihat kulitnya yang berubah warna menjadi merah kehitaman, ia merasa ngeri. Apalagi dengan ruam dan benjolan yang tak terhitung jumlahnya. "Syukurlah aku masih hidup," gumamnya.

Kulit seputih porselennya kini terlihat sangat mengerikan. Lebih seperti porselen yang hangus terbakar dan tidak mulus lagi. Tetapi setidaknya ia masih hidup. Setidaknya ia tidak mati terbakar. Mungkin jika gadis itu tidak menolongnya, bisa dipastikan dia sudah menjadi abu.

Pemuda malang itu menatap jendela yang sayangnya tertutup. Aktivitas serangga dan burung di halaman belakang terlihat jelas dari balik kaca. Sinar matahari yang menembus kaca, mencetak bayangan bingkai jendela di lantai.

Sebenarnya, dia sudah sangat siap mati saat pergi dari mansion subuh tadi. Tetapi melihat perubahan kulitnya yang seburuk ini, membuatnya sangat bersyukur masih diberikan kesempatan untuk hidup. Mungkin, jika ia berada lebih lama di luar, kulitnya sudah mengering hingga hangus. Sepertinya, apa yang dibicarakan oleh dongeng kaumnya tidaklah salah. Vampir memang akan mati jika terpapar sinar matahari.

Walau begitu, lelaki itu sama sekali tidak menyesal. Ia merasa, kulitnya yang terbakar ini sepadan dengan pengalamannya melihat dan merasakan matahari secara langsung. Perasaan hangat dan bahagia yang dia rasakan tadi sangatlah berharga dan tidak bisa ditukar dengan apa pun.

Gadis pemilik rumah kembali dengan nampan berisi secangkir minuman, spray, dan sebuah handuk. "Siapa namamu?" tanyanya sambil meletakkan nampan di atas meja.

Karena kepalanya sudah terasa ringan, pemuda itu duduk. "Aziel Grissham Chevalier," jawabnya. Ia menatap si gadis dan balik bertanya, "Kau?"

Shiara benar-benar menahan dorongan untuk tertawa. Marga pemuda ini terdengar seperti cavalier yang berarti angkuh. Bukankah itu sangat konyol? Bagaimana bisa ada sebuah keluarga yang menamai marganya sendiri dengan kata angkuh? Baru kali ini ia mendengarnya.

Tawa yang ditahan Shiara menimbulkan sebuah senyuman lebar di wajah cantiknya. Sambil menyodorkan cangkir minuman, ia menjawab, "Shiara Malsafir Oswald."

Aziel mengangguk dan menerima minuman itu dengan gumaman terima kasih. Cangkir tersebut berisi teh manis. Karena Aziel tidak menyukai makanan dan minuman manis, dia langsung mengernyit saat meminumnya.

Perubahan ekspresi itu tentu tidak luput dari mata tajam Shiara, "Kenapa?"

Si pria tersenyum canggung dan menjawab, "Sepertinya teh ini terlalu manis."

Shiara tertawa kecil mendengarnya. "Untuk orang yang baru saja pingsan, teh manis bisa meningkatkan gula darah dan mengembalikan energi yang dibutuhkan tubuh. Sehingga, kondisimu dapat pulih dengan segera," jelasnya sambil duduk di samping tamunya.

Mendengar itu, Aziel segera menghabiskan minumannya. Memang benar bahwa dia bisa menyembuhkan diri sendiri lebih cepat dari tubuh manusia. Tetapi ia tidak bisa menolak kebaikan gadis ini.

Si gadis bermata hijau kembali tertawa melihat tingkah Aziel. Setelah pemuda di sampingnya meletakkan cangkir kosong di nampan, ia mengubah posisi duduknya untuk menghadap tamunya. "Kemarilah, aku akan menyemprotkan air dingin ke luka bakarmu," katanya dengan spray di tangan.

Aziel menurut meski lukanya biasa disembuhkan dengan cara lain. Karena saat ini ia sedang berada di rumah seorang manusia, maka ia harus mengikuti aturannya. Semoga saja kulitnya bisa disembuhkan dengan cara manusia. Dia pun mengubah posisi duduknya hingga menghadap Shiara.

Dan saat itulah dia terpesona. Gadis di hadapannya ini terlihat sangat indah. Shiara memang sangat cantik dengan tulang pipi tinggi dan bibir yang menawan. Mata hijaunya seperti hutan belantara yang menyimpan berjuta misteri. Kulitnya yang putih mulus terlihat sehat. Kontras sekali dengan rambutnya yang hitam kelam. Sosoknya terlihat sangat bersinar diterpa sinar mentari yang masuk melalui jendela di belakangnya.

"Tutup matamu!" perintah Shiara yang membuat Aziel tersadar dari lamunannya. Setelah lelaki di hadapannya menutup mata, Shiara pun menyemprotkan air dingin ke seluruh wajah Aziel.

Sensasi dingin menyejukkan kulit Aziel. Refleks bibirnya menghela napas lega karena tak lagi merasa panas. Meski terasa perih di beberapa bagian, tapi ia berusaha untuk menahannya. Untung saja rasa gatalnya sudah sedikit berkurang.

"Sebenarnya apa yang terjadi padamu?" tanya Shiara yang kini beralih menyemprot leher Aziel. "Sepertinya kulit terbakarmu lebih parah untuk sekadar alergi matahari. Apa kau menderita suatu penyakit?" lanjutnya sedikit tak enak hati. Tetapi ia harus mengetahui penyebabnya agar bisa memberikan penanganan yang sesuai.

Otak Aziel mulai mengingat buku referensinya. Selama melakukan penelitian dulu, dia juga mencari tahu tentang bahaya yang dapat ditimbulkan oleh matahari. Mulai dari sunburn biasa hingga kanker kulit mematikan. Dilihat dari benjolan, keringnya kulit dan perubahan warnanya menjadi kehitaman, sepertinya ini termasuk tanda-tanda penyakit XP. Jika ingatannya benar, penyakit bernama Xeroderma Pigmentosum itu adalah sebuah penyakit kulit di mana penderitanya tidak bisa terpapar sinar matahari karena memiliki kelainan pigmen kulit.

Dengan terpaksa, Aziel memberikan anggukan sebagai jawaban. Ia tidak mungkin mengatakan tentang dongeng vampir tanpa membongkar jati dirinya. Semprotan air dingin pun tiba-tiba berhenti. Dan karena tak mendapat respon apa pun dari lawan bicaranya, Aziel pun membuka mata.

Keduanya beradu pandang. Aziel dengan raut wajah bingung dan Shiara yang merasa iba hingga menggigit bibir bawahnya. "Apakah kanker kulit?" tanya si gadis dengan cemas.

"XP," jawab Aziel, menumpuk kebohongan di atas kebohongan sebelumnya.

Tentu saja Shiara tahu tentang penyakit itu. XP yang parah bisa berubah menjadi kanker kulit jenis melanoma maligna atau karsinoma sel skuamosa. Ini menyebabkan hampir separuh penderitanya meninggal pada usia sekitar 20 tahun.

Dengan kecepatan cahaya, Shiara berlari menutup jendela dan pintu rumahnya dengan gorden. Ia ingat dari buku pelajarannya bahwa penderita XP sama sekali tidak bisa terpapar sinar matahari sedikit pun. Untung saja gordennya berwarna cinnamon, sehingga sinar matahari tidak bisa menembusnya.

"Apa kau bodoh?!" pekik Shiara yang entah kenapa tiba-tiba marah. Masih sambil menutup setiap gorden, ia kembali berkata, "Jika kau tahu bahwa kau memiliki penyakit semengerikan itu, kenapa kau nekat menjemur diri di luar sana? Kau pikir bunuh diri bisa menyelesaikan masalah apa pun?" Ia benar-benar tak habis pikir.

Omelan Shiara ternyata tak berhenti sampai di situ. Saat kembali ke sofa, ia berkacak pinggang di hadapan Aziel dan berucap, "Apa kau seputus asa itu hingga ingin mengakhiri hidupmu sendiri?"

"Benar, aku terlalu ingin melihat matahari hingga menjadi sebodoh ini," sahut Aziel dengan senyum miris.

Shiara tertegun. Kalimat Aziel seolah menamparnya dengan keras. Ia menyesal telah mengatakan kalimat yang sangat kejam. Dia sama sekali tak menyadari bahwa Aziel juga pasti tertekan dan memiliki depresinya sendiri. Pemuda Chevalier itu pasti juga ingin melihat dan merasakan matahari seperti orang normal lainnya. Sayangnya, Shiara tak memikirkan hal itu beberapa saat lalu.

To be continued...


CREATORS' THOUGHTS
Astralian Astralian

Apakah kamu menyukainya? Tambahkan ke koleksi!

Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login