Syean menatap lama sepeda motor butut yang berdiri ringkih di depannya. Memandang tidak percaya ke arah Dean.
"Seriusli?" Mulut mungilnya ternganga.
"Napa emangnya? Lu ngarep gue nebengin lu pake Ninja, geto? Please, sadar diri dong! Ga' pantes!" Dean terkikik geli melihat perubahan wajah gadis itu yang berubah menjadi kesal. Syean dengan kasar merebut helm yang ada di tangan Dean.
"Berisik!" Syean mengenakan helm dengan cepat. Bibirnya turun lima centi. Dean semakin terkekeh melihat mimik yang ditunjukkan gadis berambut panjang tersebut.
"Kenapa, sih? Ketawa-ketawa. Orang lagi kesal juga!" Syean melipat tangan, matanya memandang ke arah lain. Sementara Dean menggeleng-gelengkan kepala. Lelaki tampan itu segera menaiki motor dan men-starter mesin kendaraan tersebut.
Bunyi memekakkan telinga mengganggu indera pendengaran. "Ya Allohh, suaranya! Kuatkan hamba, Tuhan!" jerit Syean sebelum akhirnya motor butut tersebut membelah jalan di malam yang berhawa sejuk.
Di atas motor tidak ada terjadi percakapan. Dean mengendarai dalam diam. Begitu juga dengan Syean yang mulai kedinginan. Salahnya yang tidak mengenakan jaket. Dalam keadaan seperti itu pun, Syean mati-matian menjaga badannya supaya tidak menyentuh punggung lebar Dean. Hati Syean bergetar deg-degan. Wangi tubuh lelaki yang baru dikenalnya itu menenangkan urat syaraf yang ada di otaknya.
"Gue mau ngebut! Pegangan, gih!" Terdengar teriakan Dean dari depan menindihi suara cempreng motor tersebut. Syean memegang besi di belakang pinggulnya.
"Gue udah pegangan! Buruan!" balas Syean kencang.
Yang dikatakan kencang tersebut ternyata tidak sampai 70 km/jam. Hanya saja bunyinya semakin meraung memekakkan telinga. Terdengar umpatan di kiri kanan mereka yang terganggu karena bunyi knalpot motor Dean.
"Segini lu bilang kencang? Ckckck, bahkan siput pun lebih cepat dari ini, Dean!" teriak Syean di telinga Dean. Yang diteriakin hanya bisa memanyunkan bibir.
"Cerewet!" balas Dean sambil terus menggas motor.
Begitu sampai di danau Cimpago, tiba-tiba motor batuk-batuk dan akhirnya terdiam, tidak bergerak lagi.
"Loh ... loh ... gimana ini? Motor lu rusak, Dean?" Syean histeris. Dia segera turun, berdiri di samping Dean yang wajahnya memerah karena malu.
"Maaf ya, sepertinya gue cuma bisa nganterin lu sampai di sini. Itu taksi dan ojek masih banyak. Gue mau nyari bengkel dulu." Dean mendorong motornya. Namun, Syean menjajari langkahnya dengan cepat.
"Gila aja lu ninggalin gue di sini sendirian! Gimana kalo terjadi apa-apa sama gue? Tega lu gue diperkosa tukang ojek?" Syean memegang lengan kekar Dean. Dean menatapi Syean dari ujung rambut sampai ke ujung kaki.
"Lu sadar dengan apa yang lu ucapin?" Dean mencebikkan bibir, "hanya orang goblok yang mau memperkosa elu!"
Syean sampai terhenti langkahnya mendengar ucapan Dean. Dengan cepat dia membuka helm dan meletakkannya di jok motor.
"Fine! Terima kasih telah nolongin gue." Syean beranjak meninggalkan Dean. Matanya terasa panas. Tanpa bisa dia cegah, air matanya menetes.
"Cengeng banget sih gue. Gue kuat, sebaiknya menjauh dari manusia sombong dan brengsek ini!" Syean mempercepat langkah. Dia tidak peduli dengan danau kecil buatan yang memantulkan cahaya rembulan. Tidak peduli dengan deburan ombak di samping kirinya. Tidak peduli dengan beberapa motor dan mobil yang melaju di kiri kanannya. Pikirannya terlalu kalut. Dia lirik jam di tangan sudah menunjukkan pukul 11 malam.
Otak Syean terasa begitu lelah. Tubuhnya hampir ambruk menghempas bumi, tapi sebuah tangan kekar menangkap pinggangnya. Syean menatap nanar wajah penolongnya dan dalam hitungan detik kepala perempuan tersebut terkulai. Pinsan tidak sadarkan diri.
Penolong Syean tersenyum sinis ketika mendengar satu kata dari Syean sebelum dia pinsan,
“Bajingan!”
"Sempat-sempatnya dia memaki gue! Dasar cewek aneh!" Lelaki tersebut memanggul tubuh Syean dan beranjak dari tepi Danau Cimpago yang semakin sepi. Rembulan malam semakin meninggi. Cahayanya yang tadi kuning keemasan perlahan-lahan meredup. Segerombolan awan hitam bergerilya menutupi cahayanya.
***
Syean terbangun ketika mendengar kumandang adzan. Sambil mengerjap-ngerjapkan mata, pertama kali dia lihat adalah kipas angin yang tergantung di langit-langit kamar. Bunyi deru benda tersebut begitu lembut dan tenang. Angin yang dihasilkan pun cukup sejuk. Syean memandangi selimut putih yang menutupi tubuhnya.
"Di mana gue?" bisik hatinya pelan. Kamar ini tidak terlalu besar. Lebih mirip kamar hotel karena terasa sangat nyaman. Nuansa putih hampir memenuhi ruangan tersebut. Syean menatap cermin yang menyatu dengan lemari pakaian yang ada di samping ranjang.
"Tampang gue kucel banget!" Sembari merapikan rambut, perlahan-lahan dia turun dari ranjang. Hati-hati, Syean membuka pintu kamar. Dia cukup terkejut melihat ruangan di balik kamar yang dia tiduri. Sesosok tubuh nampak tertidur di atas sova panjang. Tubuhnya tertutupi sehelai selimut tebal berwarna coklat.
Syean hendak beranjak mendekati orang tersebut, tetapi dia terkejut mendengar sesuatu di belakang, tepatnya dari arah dapur. Syean berbalik, perlahan-lahan berjalan ke arah sumber suara.
Seorang perempuan paruh baya tampak sedang memasak sesuatu. Wangi. Dan sepertinya lezat, racau hati Syean sekaligus kagum. Jam setengah enam kurang sudah sibuk di dapur.
Perempuan paruh baya tersebut terkejut mendapati Syean sudah berdiri di sampingnya. Syean memberikan senyuman manis.
"Pagi, Ibu!" sapa Syean ramah. Si ibu membalas senyuman Syean dengan tidak kalah lebarnya.
"Wah, pagi juga. Sudah bangun, ya? Ayo sana cuci muka dulu sekalian ambil wudhu dan shalat subuh!" Ibu tersebut mendorong pelan tubuh Syean ke kamar mandi.
"Syean lagi berhalangan, Ibu. Cuci muka aja, ya?" Syean mencuci mukanya secepat kilat dan kembali berdiri di samping ibu tersebut.
"Ibu masak apa?"
"Hehe, cuma soup ayam. Kamu pasti suka. Tapi tolong bangunin Dean dulu, deh! Itu anak paling susah disuruh bangun pagi."
"Dean?" Syean terkejut, "jadi Syean sekarang ada di rumah Dean? Begitu Ibu?"
"Hehe, iya. Dean banyak cerita tentang kamu semalam. Ayo sana, bangunin dia. Bawa air dalam gayung ini. Cara paling ampuh bangunin tuh anak. Hahaha."
Syean menatap ngeri perempuan tua tersebut, kemudian dia berlalu untuk pergi membangunkan Dean.
Dengan gayung di tangan, Syean berjalan mendekati Dean yang masih tidur dengan suara mendengkur. Selimut yang tadi menutupi tubuhnya sudah terjatuh ke lantai menampakkan dadanya yang telanjang. Syean mereguk kerongkongan melihat dada bidang tersebut. Tangan Dean berada di bawah kepalanya menonjolkan ketiaknya yang terbuka lebar. Bulu-bulu ketiak menghitam dan tumbuh subur di sana.
Syean alergi bulu. Perutnya langsung mual melihat bulu ketiak lelaki tersebut. Hal itu membuat air yang ada di dalam gayung tumpah ke wajah Dean. Lelaki tampan itu sontak terlonjak dari tidurnya.
Sumpah serapah bermuncratan dari mulutnya. Namun, makian tersebut terhenti ketika melihat Syean berdiri di depannya dengan wajah tanpa dosa.
"Kau ...!" Dean menunjuk hidung Syean, "siapa kau?" bentaknya kalap.
Syean memutar bola mata. Tanpa ekspresi dia memunggungi Dean, berlalu dari hadapan pria tampan tersebut. Tidak jauh dari sana-Bu Sumi- ibunya Dean terkikik geli melihat adegan tersebut dan buru-buru menyibukkan diri ketika melihat Syean berbalik ke arahnya.
"Ampun deh, Bu. Dia amnesia. Melupakan Syean yang cantik jelita ini!" Syean menaruh gayung kembali ke dalam kamar mandi, "tapi yang penting, tugas Syean selesai ‘kan, Bu?"
"Hahaha, begitulah Dean. Seharusnya tadi airnya kamu percikkan saja, bukan diguyur gitu. Tapi ga' apa-apalah, hiburan pagi. Hahaha."
Kedua orang tersebut selanjutnya sibuk bergosip ria. Dasar perempuan, yah? Sementara itu Dean melipat selimutnya dan membersihkan air yang tergenang di lantai.
"Perempuan sialan! Sudah berganti hari tetap saja bikin sial!" Dean memasuki kamar yang tadi digunakan Syean. Dia melihat kamarnya sangat berantakan. "Itu cewek apa, sih? Ga' bisa rapi apa?"
Dean mendekati ranjang tersebut dan mulai merapikannya. Di dalam kamar ini juga ada kamar mandi. Dean segera mengambil wudhu dan melaksanakan shalat subuh.
***
Selesai shalat, Dean tergerak hatinya untuk mengintip ke dapur. Karena sedari tadi tidak henti-hentinya terdengar gelak tawa. Tawa sang ibu yang selama ini hilang sekarang kembali membuncah di pagi yang dingin. Dean terharu melihat bagaimana tawa perempuan tua tersebut begitu lepas tanpa beban.
Tidak terasa air mata merebak di mata elangnya Dean.
"Maafkan aku, Ibu!" bisik hatinya ngilu. Dean segera berbalik kembali ke dalam kamar. Melepaskan rasa sesak di dada, dengan air mata yang menetes satu per satu.
"Ayah, Dean rindu!"