Download App

Chapter 2: Kehangatan Sang Hati

Aku menatap langit biru yang menguasai seisi bumi. Langit biru tidak pernah jenuh menampakkan dirinya. Entah apa yang akan terjadi jika dalam satu hari langit biru enggan menampakkan dirinya, mungkin dunia akan runtuh?

Aku menganggap langit itu adalah anakku yang setiap harinya menemani hari-hariku, membawa berbagai keceriaan. Tidak bisa kubayangkan jika hidup tanpa langit yang mengisi hariku. Aku sangat bersyukur karena Tuhan telah menanugrahkan keluarga kecil dalam hidupku.

Angin berhembus pelan membelai kulit telanjangku. Kunikmati angin itu seolah-olah ia sedang menyentuhku. Apa jadinya hidup tanpa angin? Aku pasti merasakan kekurangan jika angin tidak ada. Beruntung, angin selalu datang tanpa pamrih. Bayangkan jika angin meminta bayaran, kekayaan seluruh manusia untuk membayar jasa angin pun tidak akan pernah cukup.

Sekali lagi, angin berhembus membelai kulit telanjangku. Memberikan kesejukan sendiri akan sensasinya. Entah kenapa, aku mendeskripsikan suamiku itu sebagai angin. Angin yang tak kenal lelah menghembuskan dirinya untuk memberikan kesejukan pada setiap insan.

Malam pun datang, menyingkirkan matahari. Bulan dan bintang-bintang menghiasi langit malam. Kalian tahu? Aku mendeskripsikan diriku, Kevin, dan Harry adalah bulan dan bintang yang melangkapi hari setelah sore.

“Daddy sudah sepuluh putaran dadu Harry tidak bisa sama. Pinjamkan Harry uang dad agar Harry bisa keluar dari penjara. Harry ingin beli Swiss sebelum daddy membelinya,” gerutunya.

“Kau harus berusaha Harry.”

Kevin sehabis pulang kerja membelikan monopoli untuk Harry. Harry sangat senang. Dan di sinilah kami. Kevin dan Harry sibuk bermain di teras rumah dan aku baru saja selesai membuat cemilan untuk mereka berdua. Aku duduk, memperhatikan mereka yang sedang asik bermain. Sepertinya Harry kalah, karena Kevin sudah banyak membeli negara di monopoli itu sedangkan Harry baru membeli dua negara yang belum di bangun rumah.

“Karena daddy sedang berada di swiss, daddy akan membelinya,” ujar Kevin tersenyum jahil pada Harry sambil mengambil beberapa uang monopoli.

Harry menggerutu kesal, “Daddy, Swiss punyaku!” Harry memainkan dadunya dan melemparnya, “yeah! Dadu Harry sama tiga kali, Harry keluar.” Harry pun menjalankan orangnya sesuai angka dadunya. Dan ia berhenti tepat di Swiss di mana Kevin sudah membelinya dan membangun rumah. Itu berarti Harry harus membayar mahal karena berhenti di Swiss.

“90 dollar Harry.” Kevin menengadahkan tangannya, menagih uangnya.

“Kalau tahu begini mending Harry kembali ke penjara,” sesalnya. “hutang dulu daddy, Harry tidak punya uang. Uang Harry habis karena terus berhenti di tempat daddy.”

Mereka mengabaikan cemilanku yang sudah kubuat. Lebih baik aku memakannya saja sendirian sambil melihat mereka bertengkar di tengah permainan mereka. Itu menjadi hiburan tersendiri untukku.

Kevin melemparkan dadunya. Ia berhenti di komplek yang sama dan Kevin membelinya. Lengkap sudah komplek A. Harry menatap monopolinya dengan mimik serius. Ia menghela panjang dan lagi-lagi menggerutu, “Daddy bagaimana Harry bisa kaya jika daddy memiliki semua komplek dan Harry hanya memiliki satu komplek. Ditambah lagi Harry terus berhenti di tempat daddy," ujar Harry seraya jarinya menunjuk monopolinya.

Aku dan Kevin tertawa mendengar gerutuan Harry.

“Ayo ulang lagi daddy,” pinta Harry, wajahnya lebih dari kata polos.

“Kita sudah mengulangnya 3x sayang, dan kau selalu kalah,” ejek Kevin.

Harry menguap, “Twapi kali ini Harry akan menang.”

“Sepertinya jagoan daddy mengantuk. Kita lanjutkan besok saja ya?”

Mereka pun mengakhiri permainan mereka.

“Mommy kapan adiknya keluar?”

Aku mengusap rambut Harry dengan gemas. Usia kandunganku baru empat bulan dan Harry sudah menanyakan kapan. “Sekitar 5 bulan lagi sayang. Harry harus bersabar.”

“Uh lama sekali,” protesnya. “Harry tidak sabar bermain dengan Niall.”

“Niall?” alis Kevin terangkat sebelah.

“Ya Niall nama adik Harry, daddy.”

“Kita belum tahu adikmu perempuan atau lelaki, jagoan.”

“Harry berharap laki-laki agar bisa adu balap dengan Harry,” Harry menyengir kuda.

“Apa kalian ingin membuat One Direction junior? Luna, jika kita mempunyai anak lagi apa kau akan menamainya dengan Liam, Louis, Zayn huh?” keluhnya, “aku bisa gila jika kau menamai mereka dengan nama anggota One Direction. Kreatiflah sedikit. Suamimu ini sudah menyiapkan nama untuk calon anak kita.”

Aku terkekeh. Aku tidak tahu bagaimana Kevin menghafal nama setiap anggota One Direction. “Ralat Kev, Zayn sudah keluar dari 1D,” koreksiku.

"Aku tidak peduli."

“Apa yang sedang mommy dan daddy bicarakan?” Harry mendongak menatap kami secara bergantian. Matanya sudah sayu.

“Tidak ada, ayo tidur sayang,” ajakku.

“Mommy, Harry ingin tidur bersama mommy dan adik bayi,” ujarnya.

Kevin dengan cepat langsung memprotes dengan berbagai alasan dan mampu membuat Harry terpaksa menuruti kata-kata daddynya.

“Selamat malam mommy dan daddy pelit!” ujar Harry sebelum aku dan Kevin menutup pintu kamar Harry.

Aku mengganti pakaianku dengan gaun tidur yang cukup terbuka tapi tidak transparan. Kehamilanku membuatku di tengah malam terkadang kepanasan di sela tidurku dan terkadang rasanya aku tidak ingin memakai sehelai kain pun tapi aku harus menghargai Kevin. Kevin termasuk orang yang mudah tergoda. Usia kehamilanku baru 4 bulan, setahuku jika kami berhubungan intim itu tidak akan melukai kandunganku asalkan Kevin melakukannya dengan pelan. Tapi Kevin lebih memilih menahan dirinya demi anak keduanya. Dia pria yang baik bukan?

“Tidak bisa kah kau berpakaian yang tertutup saja Luna?” Kevin menelan ludahnya. Tatapannya fokus pada bagian dadaku yang sedikit terekpos karena gaun tidurku.

“Aku kepanasan Kev. Apa kau menyuruhku untuk berpakaian tertutup di depanmu dan berpakaian terbuka di depan orang lain?” godaku. Aku membaringkan tubuhku sendiri dan posisi tidurku menghadapnya yang sedang duduk bersandar.

“Tentu tidak!” protesnya cepat.

“Yasudah. Selamat malam daddy,” kataku tersenyum seperti Harry. Aku tidak tahu kenapa semenjak kehamilanku, aku suka untuk terlihat bodoh dan mengikuti gaya bicara Harry.

“Luna,” Kevin mendesah frustrasi.

“Kevin diamlah, aku ingin tidur!”

Kevin saat itu langsung diam dan membaringkan tubuhnya. Tangan Kevin menyentuh perutku lalu mengelus-elusnya dengan lembut. Ia bersenandung pelan. Aku pun tersenyum, menikmati belaiannya dan senandungnya. Kevin memang memiliki suara emas, tidak sepertiku saat bernyanyi suaraku cempreng.

Pagi harinya setelah sarapan, aku sudah di buat sibuk memberesken kamar Harry. Kamar Harry berserakan buku gambar dan pensil warna. Kapan dia memberantakan kamarnya? Setahuku semalam kamar Harry masih rapih dan pagi harinya sudah seperti kapal pecah. Oh ya, semenjak kepindahan kami di rumah baru, aku melarang Kevin memakai jasa pembantu karena aku ingin mengurus rumah sendiri. Tapi Kevin menolak keras, kami sampai bertengkar berhari-hari, dan pada akhirnya kami membuat kesepakatan. Jika usia kandunganku sudah 5 bulan, Kevin akan memakai jasa pembantu.

Kevin dan Harry baru datang dari acara joggingnya.

“Harry, jika Harry memakai buku dan pensil warna, setelah memakainya bereskan kembali. Jangan dibiar berserakan, mengerti?” kataku lembut. Aku berusaha mendidik Harry agar bisa mandiri sejak dini. Aku tidak ingin kelak ia dewasa bergantung pada siapa pun, kecuali orang tuanya.

Harry mengangguk lemah, memperlihatkan wajah penyesalannya. “Maafkan Harry mommy, Harry janji akan membereskannya jika memakainya. Oh ya mommy, ayo mandi bersama daddy dan Harry.”

“Mommy sudah mandi.” dan aku meskipun aku belum mandi, aku tidak ingin mandi bersama dengan dua pria tampan ini.

Sementara Harry dan Kevin mandi, aku duduk di teras. Menikmati setiap hembusan angin yang menerpaku sambil memandangi pemandangan taman dan air mancur di depanku yang jaraknya sekitar 500 meter. Sudah kukatakan, halaman rumah ini sangat luas berkali lipat dari luas rumahnya. Tidak lama kemudian, ada mobil Merchedes putih mengkilat masuk ke halaman rumah dan berhenti tepat di depan rumah. Tiga pria keluar dari mobil itu. Kevin bilang mereka trio dokter, yaitu dokter Blake, Tama, dan Zak. Oh ya aku sempat kesal pada trio dokter itu karena pernah membuat keributan di rumah, menonton acara bola live sambil berteriak di tengah malam.

Kedatangan Blake bukan tanpa maksud, hari ini adalah jadwalnya bersama Kevin. Memeriksa keadaan Kevin sudah sejauh mana perkembangannya. Sedangkan dokter Tama dan Zak, aku tidak tahu maksud dan tujuan mereka. Terakhir kali mereka berdua datang menyuruhku untuk membuat makanan. Aku maklumi jika dokter Tama yang seperti itu, tapi Zak? Demi apa pun, dia sekarang menjadi pria yang menyebalkan.

“Bagaimana perkembangannya?” tanyaku pada dokter Blake yang baru saja menginjakkan kakinya di taman belakang, ikut bergabung denganku dan dua pria yang sedang asik bermain bola dengan anakku.

“Sangat membaik. Tidak kah kaulihat perubahan sikapnya? Aku pikir, Kevin tidak perlu dokter lagi karena keadaannya sudah jauh berkembang,” terang Blake.

Perubahan sikapnya memang jauh berbeda. Kevin tidak lagi tempramental hanya saja suka mengomel jika aku melakukan kecerobahan di matanya. “Syukurlah. Terima kasih karena telah membantunya,” seulas senyum muncul begitu saja.

Dokter Blake yang sedang berdiri di sampingku, menoleh. “Aku tidak melakukan apa pun. Kau yang melakukan banyak hal untuknya. Jarang ada wanita yang masih bertahan dalam titik terendah pasangannya.”

“Aku hanya terus berjuang menghadapi kesabaranku yang sempat menyerah akan diri Kevin. Syukurnya aku bisa melawan itu semua,” ujarku. “Blake, jika ingatanku tidak hilang...Kevin tidak akan seperti itu kan?”

“Aku tidak tahu. Semua ini adalah rencana Tuhan. Setiap masalah yang menimpa kita pasti ada balasannya kan?” Blake tersenyum simpul.

Aku setuju dengan perkataannya. Jadi berhentilah menyalahkan apa yang sudah terjadi Luna, rutukku.

“Paman Blake, ayo ikut main. Pemainnya kurang,” teriak Harry dari kejauhan.

“Oh baiklah,” Blake balas berteriak. “Luna, bisa kah kau menyiapkan tikar dan makanan? Aku pikir setelah ini kami ingin berpiknik di halaman belakangmu,” ungkapnya lalu Blake berlari ikut bergabung dengan mereka.

Aku ingin sekali menimpuk Blake yang menyuruhku seenaknya. Dia pikir dia siapa? Jika Kevin yang menyuruhku, itu bukan masalah besar karena Kevin adalah suamiku.

Sesuai permintaan Blake, aku telah menggelar tikar besar dan sudah menyediakan berbagai jenis makanan ringan lengkap dengan minumnya seperti keluarga yang sedang piknik di taman.

“Halo Luna,” sapa Zak yang sudah duduk di sampingku.

“Aku harap kau bosan mengunjungi rumah ini hampir setiap hari,” sindirku.

“Aku bekerja pada Kevin, apa yang bisa kuperbuat?” Zak menyunggingkan senyumannya.

“Kau seorang dokter, kenapa kau tidak menjadi dokter seutuhnya atau menjadi agen FBI. Kenapa kau malah memilih bekerja dengan Kevin?” tanyaku ketus.

“Bayaranku 10 kali lipat lebih besar jika bekerja dengan Kevin di bandingkan menjadi dokter atau agen FBI.” Zak mengedipkan matanya lalu mengambil buah apel dan menggigitnya.

Tidak lama, Harry datang disusul oleh Blake dan Tama, juga Kevin. Mereka menyerbu makanan di atas tikar. Angin menerpa kami seakan sedang menyapa kami.

“Wah rasanya aku ingin beli istana seperti ini saja. Aku jadi tidak rela jika harus pulang,” ujar Blake.

“Kau pindah ke sini saja. Kevin tidak akan keberatan. Ditambah lagi, kau akan mendapat masakan yang lezat setiap harinya secara gratis,” timpal Tama.

“Ide yang bagus, aku akan menyuruh pembantuku mengemas semua barangku.”

“Akan kubunuh kau Blake jika berani,” sambar Kevin.

“Harry tidak ingin punya daddy baru!” keluh Harry sambik menghentakkan kakinya.

Kami semua tertawa kecuali Kevin. “Daddy tidak akan membiarkan hal itu terjadi sayang. Kau tenang saja,” ujar Kevin serius sambil menepuk-nepuk pundak Harry. “Lihat, anakku menolak kehadiranmu, Blake.” Kevin tersenyum sinis.

“Zak, daripada melihat mereka bertengkar, lebih baik kita menghabiskan makanan ini,” ajak Tama.

“Sebaiknya kalian segera menikah daripada terus menyusahkan istriku,” keluh Kevin.

Aku tersenyum geli. Kuakui mereka semua tampan, tapi mengapa mereka semua terlihat seperti belum mempunyai pasangan?

“Apa tidak ada wanita yang mau dengan kalian?” tanyaku sambil tertawa.

“Aku sudah menikah, jangan salah. Mereka yang tidak laku,” bela Tama.

Aku cukup terkejut mendengar Tama bicara seperti itu. Kukira dia belum menikah.

“Woah teganya kau mengkhianati kami Tam. Siapa bilang kami tidak laku? Kau tahu banyak yang mengantri untukku dan Zak, ya walaupun tidak sebanyak wanita yang mengantri untuk Kevin.” Blake meminun jus kalengnya.

Aku melirik Harry, Harry tampaknya kebingungan dengan apa yang para orang dewasa ini bicarakan.

“Oh ya Lun, kautahu saat kau pergi meninggalkan Kevin, Blake mengajak Kevin ke kelab dan menawarkan wanita primadona di kelab itu untuk ditiduri oleh Kevin,” adu Tama dengan gaya santainya.

Aku langsung memberi tatapan membunuh pada Kevin dan Blake bergantian. Aku tidak rela jika Kevin menyentuh wanita lain selain istrinya.

“Aku tidak pernah menyentuh wanita mana pun Luna. Percayalah.” Kevin berusaha meyakinkanku.

“Beruntungnya suamimu kuat iman, jika aku menjadi Kevin, aku tidak akan sanggup menolak primadona di kelab itu,” lanjut Tama disusul dengan tawanya.

Aku menghela lega lalu menatap para dokter dengan sinis, “Aku pikir kalian tidak pantas menjadi dokter, kalian lebih pantas menjadi pasien rumah sakit jiwa.”

Kevin dan aku tertawa sedangkan mereka protes. Aku tidak peduli mereka protes seperti apa, mereka lebih pantas menjadi pasiennya di bandingkan jadi dokternya. Tingkah mereka tidak menunjukan bahwa mereka adalah seorang dokter.

“Aku sependapat dengan Luna,” tambah Kevin ikut membelaku.

“Sebenarnya apa sih yang kalian tertawakan?” tanya Harry kebingungan sambil melingkari tangan mungilnya di perutku. Tawa kami menjadi semakin pecah.

*****

“Luna ada hal yang ingin kutanyakan.” Suara yang mengisi hari-hariku setiap saat terdengar serius.

Jariku berhenti mengetik tugas kuliahku. Aku sekarang lebih memilih kuliah online karena aku tidak mau kehilangan momenku bersama Harry dan Kevin juga tidak mengijinkanku.

Kevin mengambil duduk di sebelahku, “Apa alasanmu kembali padaku karena kau kasihan padaku yang terkena gangguan-”

“Mengapa kau bertanya seperti itu?” potongku cepat. Aku tidak percaya Kevin akan mengatakan hal seperti itu. Jujur saja aku cukup tersinggung, itu artinya Kevin meragukanku. “aku kembali karena kita Kevin. Jangan pernah berpikir seperti itu lagi. Aku mencintaimu, kautahu itu.”

“Aku hanya takut-”

“Jauh sebelum aku mengetahui hal itu, aku sudah mencintaimu. Asal kautahu, aku bangga padamu kau tidak pernah lelah mencariku dan kau mengurus Harry sendirian saat aku tidak ada.” aku menangkup wajahnya, membelai dagunya.

Kevin menarik tanganku dan menciumnya bergantian sambil menghirupnya kuat-kuat.

“Aku pikir kau akan mencium bibirku,” keluhku, membiarkannya mencium telapak tanganku.

Setelah aku berkata seperti itu, Kevin membungkam bibirku dengannya. Ia memagut bibir bawahku dengan lembut lalu disesapnya dengan irama yang teratur. Kuselipkan jari-jariku di sela-sela rambutnya. Kutekan wajahnya agar lebih menempel padaku. Lidah Kevin membuka celah mulutku, lalu lidahnya bermain mengabsen setiap gigiku. Tidak mau kalah dengannya, lidahku ikut menjelajahi giginya dan bermain dengan lidah Kevin sampai kami kehabisan oksigen. Sebelum kami benar-benar mengakhiri ciuman kami, Kevin melumat bibir bawahku lalu menariknya dengan giginya begitu lembut.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login