Download App
38.09% Storm : TDOM2

Chapter 8: Hanya Prasangka Buruk

Harry dari tadi tidak berhenti menangis. Aku tidak tahu kenapa. Tau-tau saat aku berjalan melewati living room, Harry sudah menangis dan Kevin berada di sampingnya dengan wajah geram. Aku melototi Kevin. Apa Kevin habis memarahi Harry? Tapi selama ini aku tidak pernah melihat Kevin marah pada Harry.

"Aku tidak memerahinya Luna," bela Kevin.

"Lalu kenapa Harry menangis?" tanyaku jengkel.

"Aku tidak tahu. Saat aku kemari dia sudah menangis dan saat aku tanya kenapa, Harry malah semakin menangis," desahnya frustrasi.

Aku mengusap air mata Harry. Saat kusentuh tubuhnya, badannya sangat panas sekali. "Astaga sayang, kau demam." aku menoleh pada Kevin, "Kevin kenapa kau tidak sadar dari tadi Harry demam!" omelku.

Punggung tangan Kevin menyentuh kening Harry. Kevin membelalak, lalu ia segera menelepon dokter kemari. Aku tidak tahu kenapa Harry tiba-tiba bisa demam seperti ini. Harry masih saja menangis, ia tidak mau berhenti menangis padahal Kevin sudah menggendongnya dan mengelus punggungnya seperti biasa jika Harry sedang menangis. Beberapa detik kemudian, Harry muntah-muntah. Ia mengeluarkan isi perutnya. Aku semakin panik melihat Harry muntah-muntah. Wajah Kevin juga panik, ia tidak peduli jika kemejanya terkena muntahan Harry. Yang ia pedulikan kondisi Harry.

15 menit kemudian dokter baru datang. Tama. Sahabat Kevin. Saat Tama memeriksa Harry, Harry kembali memuntahkan sesuatu.

"Mommy," keluh Harry disela isakkannya.

Aku mengelap mulutnya yang berlumuran bekas muntahannya.

"Anakku kenapa Tam?" tanya Kevin dengan wajah cemas.

Tama melepaskan stetoskopnya dari telinganya, kemudian menatap Kevin. "Apa yang terakhir kali Harry makan? Sepertinya dia alergi terhadap salah satu jenis makanan dan juga keracunan."

Kevin melempar tatapannya padaku. Aku menegang. Harry alergi dan keracunan? Selama ini aku selalu memperhatikan pola makan Harry. Aku tidak pernah memberinya makanan yang berbahan kacang karena aku tahu Harry alergi dengan kacang. "Tadi kami makan pasta. Itu pun satu piring berdua," jawabku. Aku menoleh pada Harry, "Harry sayang, Harry makan sesuatu selain makan masakan dari mommy?"

Harry mengangguk, telunjuknya menunjuk piring yang berada di atas nakas. Kevin pun mengambil piring itu. Terdapat roti tawar berselai kacang. "Luna apa kau yang memberikan Harry roti ini?" tanyanya geram.

"Bukan aku. Aku ingat dia alergi kacang!" jawabku. Apa Kevin secara tidak langsung sedang menuduhku sengaja memberi Harry selai kacang?

Kevin bertanya pada Harry, namun Harry tidak menjawabnya. Suaranya seperti habis tertelan oleh tangisnya.

"Kalian tidak perlu khawatir. Besok dia akan pulih. Kurasa Harry memakannya hanya sedikit," terang Tama sembari memberikan resep obat untuk Harry pada Kevin.

"Nah, Harry tampan, obatnya nanti jangan lupa di minum ya? Kalau Harry sudah sembuh, paman janji kita akan main football bersama,"

Tama pun pergi. Aku berbaring di sebelah Harry, memeluknya agar ia bisa tertidur. Aku heran, Harry dapat dari mana roti itu? Setahuku persedian roti sudah habis, dan aku tidak pernah membeli selai kacang.

"Harry, katakan pada daddy. Darimana Harry dapat roti itu?" tanya Kevin.

Harry menggeleng. "Di meja, Harry ingin, lalu Harry makan," jawabnya lemah. Sepertinya Harry sudah mulai mengantuk karena efek obat yang diminumnya barusan.

"Mungkin itu rotiku. Tadi aku belum sempat memakannya karena aku lupa sesuatu. Maafkan aku."

Aku dan Kevin menoleh pada pemilik suara itu. Kevin menggertakan giginya, ia menatap jengkel pada Jane. "Seharusnya kau berhati-hati!" suara Kevin meninggi.

"Kevin sudahlah. Dia tidak sengaja," kataku, menengahi.

"Sekali lagi maafkan aku," ujarnya rendah sambil menundukkan kepala.

Kevin hanya diam. Berpaling dari Jane, ia menatap Harry. Membelai rambut Harry.

"Tidak apa Jane. Lain kali hati-hati, Harry dan Kevin alergi kacang," terangku dengan nada lembut. Dia benar-benar tidak sengaja. Lagi pula, dia juga pasti tidak tahu kan kalau Harry alergi kacang? Jane menyunggingkan senyum lalu meninggalkan kami bertiga.

Harry sudah tertidur. Demamnya sudah sedikit menurun di bandingkan tadi. Aku sedikit bernapas lega bahwa Harry memakan roti itu hanya sedikit. Mataku melirik Kevin, ia sedang berbaring di samping Harry seraya tangannya membelai Harry. Wajahnya terlihat sangat khawatir. Dan beberapa menit kemudian Kevin tertidur di samping Harry. Kuperhatikan wajah mereka secara bergantian, refleks senyumku mengembang begitu saja. Aku tidak bisa membayangkan jika harus kehilangan mereka, mereka adalah jiwaku.

Aku melangkah mencari Jane. Terlihat dia sedang duduk di balkon belakang. Ia seperti sedang melamun. Kuputuskan untuk duduk di kursi sebelahnya yang di batasi meja kecil. Jane masih tidak bergerak, tidak menyadari kehadiranku. Kuperhatikan wajahnya. Ia begitu cantik tanpa make up sedikit pun dan tubuhnya juga bak model majalah dewasa. Umurnya kudengar di bawah Kevin dua tahun. Terlintas pertanyaan di benakku, apa Kevin dan Jane dulu saling mengenal? Tentu saja Luna! Joe bekerja pada Kevin sudah lama, pastinya Kevin mengenal keluarganya dengan baik termasuk Jane, sepupuku.

Aku ingin sekali bertanya pada Jane ke mana ia selama ini. Mengapa ia tidak langsung menemui Joe jika setelah kecelakaan itu ia masih hidup. Bukankah kecelakaan itu 9 tahun silam? Dan kenapa setelah sekian lama baru sekarang mereka menemukan Jane? Tapi sayangnya Kevin melarangku bertanya yang tidak-tidak pada Jane apalagi tentang kehilangannya, itu bisa membuat Jane semakin sedih.

"Jane, apa besok kauingin ikut denganku berbelanja pakaian? Kau pasti butuh banyak pakaian," tawarku.

Jane tersentak, ia sepertinya baru menyadari keberadaanku. Tatapannya seolah mengatakan sejak kapan aku di sini. "Tawaran yang menarik," ucapnya. "Aku merasa tidak enak soal tadi, maafkan aku. Aku benar-benar tidak tahu."

"Tidak apa Jane. Aku tahu kau tidak sengaja," ujarku. "Andai kita pernah bertemu sebelumnya mungkin sebagai sepupu kita tidak akan secanggung ini."

"Apa kalian menikah sudah lama?"

Aku cukup terkejut dengan pertanyaan Jane yang di luar dugaanku. Untuk apa ia bertanya seperti itu? "Cukup lama," jawabku. Sebenarnya aku bingung ingin jawab apa karena aku tidak tahu usia pernikahaanku bisa dikatakan 'lama'' atau tidak.

"Aku merasa kalah denganmu. Umurku lebih tua darimu tapi aku belum menikah di usia ini," ujarnya, tertawa kecil.

Aku menggeleng tidak percaya. Kukira kenapa. "Kupikir akan ada banyak pria yang menyukaimu. Kau sangat cantik dan seksi," pujiku.

"Cantik dan seksi tapi tidak memiliki cinta itu sama saja bohong. Ah aku jadi ingin segera menikah melihat kalian begitu mesra."

"Kalau begitu aku doakan kau akan segera menemukan pria yang kauinginkan dan segera menikah." Aku menyengir, menampakkan gigiku.

Wanita seusia Jane memang sepantasnya sudah menikah bahkan seharusnya sudah mempunyai anak. Tapi apa daya? Tuhan belum mempertemukan jodohnya.

"Aku sudah menemukan pria itu sebenarnya. Hanya saja dia memberiku sebuah tantangan, jika aku berhasil melakukan tantangannya maka kami akan menikah," tuturnya menatap lurus ke pemandangan danau buatan.

Aku mengernyit. Adakah pria seperti itu? Setahuku, seharusnya wanita yang memperi tantangan pada prianya, bukan sebaliknya. Apa dunia memang sudah terbalik? "Pria itu pasti bukan pria sembarangan," gumamku. "Memangnya tantangan seperti apa yang dia berikan?"

Jane menoleh. "Tantangannya itu hanya rahasia di antara aku dan dia. Jadi kau tidak boleh tau," jawabnya, mengedipkan sebelah matanya.

Aku jadi penasaran tantangan seperti apa yang pria itu berikan pada Jane? Ah Luna, itu bukan urusanmu. Urus saja dirimu sendiri, batinku.

"Apa pun itu, ku-doakan semoga berhasil," dukungku padanya.

"Akan berhasil," janjinya.

*****

Sudut bibirku hampir mengeluarkan air liur saat aku melihat dada telanjang Kevin yang penuh keringat. Sial, dia sangat seksi. Aku ingin menyentuhnya, membelai dadanya mengikuti arah keringat itu turun. Aku menelan ludahku dalam-dalam, menahan hasrat terdalamku. Kevin sedang push up dengan satu tangan, kegiatan rutinnya di akhir pekan selain jogging.

"Dua puluh dua, dua puluh tiga...dua puluh sembilan...," Harry duduk di sofa, menghitung gerakan push up Kevin. Biasanya Harry ikut berolahraga bersama Kevin. Tapi karena Harry sedang sakit, ia hanya bisa duduk memperhatikan Kevin sambil menghitungnya.

"Empat puluh satu, empat puluh dua...."

"Harry ini minum susunya dulu," pintaku. Aku mengambil posisi duduk di sebelah Harry dan memperhatikan Kevin yang terlalu seksi di mataku.

Harry menurut. Diminumnya susu buatanku. Dalam beberapa tegukan susunya sudah habis. Demam hari sudah turun, hanya saja ia masih merasa lemas.

"Harry tadi sampai berapa?" tanya Kevin, ia sedang tengkurap kelelahan. Nafasnya tersengal-sengal.

Dahi Harry mengkerut. Ia tampak sedang berpikir keras. "Yah daddy, Harry lupa," jawabnya dengan seringaian di bibir mungilnya. "Daddy push up lagi, kali ini Harry akan menghitungnya dengan benar," lanjutnya tanpa merasa berdosa.

Kevin menghela napas panjang. "Harry, kau sudah dua kali menghitung ulang. Jika Harry dengan benar menghitungnya, mungkin sudah 100 kali daddy push up," keluh Kevin. Kevin mengkilah keringatnya di keningnya.

"Daddy jangan salahkan Harry! Tadi mommy menyuruh Harry minum susu. Ayo daddy, push up lagi!" pintanya memaksa.

"Perjanjiannya sampai 50 Harry sayang. Dan daddy rasa daddy sudah push up lebih dari itu." Kevin mengambil handuk kecil di atas meja. Ia mengelap keringat yang bercucuran.

Harry berkacak pinggang, matanya melotot dengan geram, bibirnya maju ke depan. "Tapi Harry belum menghitungnya sampai 50 dad!"

Kevin mendesah frustrasi. Ia mengacak rambutnya yang basah dengan kasar. "Sudah."

Ekspresi Harry kini berubah menjadi ekspresi sedih. Kevin menghela napas, menolak.

"Oh ayolah daddy Kevin. Turuti permintaan anak kita. Lagi pula aku suka melihatmu push up. Kau terlihat panas," godaku.

"Akan lebih panas jika melakukannya di ranjang," seringaian licik dari bibir Kevin keluar begitu saja.

Aku memutar bola mataku dan langsung menghadiahinya dengan melempar bantal sofa. Tangan Kevin dengan sigap menangkap bantal yang hampir mengenai wajahnya. Ia tersenyum penuh kemenangan. Kevin menghampiri kami, dan mencium Harry dengan gemas.

"Daddy, jangan cium Harry! Daddy bau!" omelnya sambil memberontak dan mendorong tubuh Kevin. Sayangnya, tenaga Harry tidak ada apa-apanya di bandingkan dengan Kevin. Harry hanya bisa pasrah menerima ciuman dan pelukan dari daddynya yang habis berolahraga. Sedangkan Kevin terus menggoda Harry, tidak peduli Harry mengomelinya dari tadi.

Aku tertawa melihat mereka. Mereka tidak bisa sehari tanpa bertengkar.

"Daddy!" pekik Harry. Tangan kecilnya menjauhkan wajah Kevin sebisa mungkin.

Kevin tergelak, lalu ia berpindah padaku. Lututnya menyentuh lantai, sedangkan aku sedang duduk di sofa. "Aku belum menyapanya hari ini," ujarnya sambil memandangi perutku. Tangannya kini mengelus perutku. "Hai anak daddy, daddy dan kakakmu tidak sabar menantimu di sini." Kecupan mendarat di perutku.

"Si kecil bilang dia juga tidak sabar untuk bertemu kalian," balasku.

Harry menempel padaku. Ia memeluk pinggangku, bergelayut manja. Ia mengusap wajahnya di bajuku. "Mommy, akan dinamai siapa adik Harry? Niall kan laki-laki."

Aku berpikir. Sebenarnya aku belum tahu akan di namai siapa karena bayi ini perempuan. Kalau saja laki-laki pasti kunamakan Niall. Tidak peduli Kevin setuju atau tidak. Mataku melirik Kevin yang sedang tersenyum. Sepertinya dia sudah menemukan nama untuk bayi kami. Hm, tapi lebih baik aku menggodanya lebih dulu. Aku menyunggingkan seriangain pada anakku. "Nialla. Bagus tidak?"

Harry detik itu langsung setuju sementara Kevin, matanya membelalak. Aku ingin tertawa sejadi-jadinya karena aku tahu dia akan mengomel dan tidak setuju dengan nama itu. Dia pasti akan mengatakan otakku tidak kreatif. Haha memang. Kehamilanku membuatku ingin berpikir pendek.

"Kau benar-benar tidak kreatif Luna. Jauhkan nama anggota One Direction itu," gerutunya tidak suka.

"Aku tidak memakai nama anggota 1D Kevin. Aku menamai anak kita Nialla. Nialla," jawabku, menekan nama yang baru terlintas di pikiranku beberapa detik lalu.

Kevin mengacak rambutnya kasar. Ia menggertakkan giginya sambil menatapku kesal. "Nanti kalau anak kita perempuan lagi setelah ini, jangan-jangan kau akan menaimainya Zayna, Louisa."

"Ya begitulah," kataku, mengangguk. Aku tidak tahan dengan ekspresi Kevin. Harry hanya tersenyum geli memandang kami berdua. "Memangnya kauingin menamai anak kedua kita siapa?" tanyaku pada akhirnya sekaligus penasaran.

Kevin diam sesaat. Ia seperti menimbang-nimbang sesuatu atau bisa saja daftar anak perempuan di otaknya sudah berjajar banyak dan Kevin bingung memilih yang mana. Selang beberapa waktu mulutnya baru dibuka, "Sophia Auger Sanders bisa disingkat Sophia A. Sanders."

Ada ketentraman saat Kevin menyebut nama itu. Dalam waktu singkat, aku setuju dengannya. Nama itu terdengar lembut. Sophia, gumamku. Lagi pula, nama Nialla hanya asal kuucapkan hanya untuk memancing Kevin. "Dari mana kaudapat nama itu?"

"Mantanku," jawabnya kemudian Kevin tergelak.

Aku langsung menghadiahinya dengan jeweran yang menurutku cukup membuatnya kesakitan. Bisa-bisanya dia membawa nama mantannya ke calon anak kami.

"Mantan itu apa mommy?" tanya Harry kebingungan. Jika ada kosa kata yang tidak ia mengerti, pasti Harry bertanya. Seperti sekarang ini. Aku sudah sangat hafal sifat anakku.

Kevin mengaduh kesakitan dan tangannya berusaha menyingkirkan tanganku dari telinganya. "Hanya bercanda sayang. Nama itu murni dari hatiku," ucapnya dengan wajah pura-pura lugu.

Aku melepaskan jeweranku. Mataku masih memandangi Kevin dengan kesal.

"Daddy, Mommy! Mantan itu apa?!" tanyanya lagi. Kali ini nadanya terdengar kesal karena aku dan Kevin mengabaikan pertanyaannya. Oh Tuhan, ini akan menjadi cerita yang panjang untuk menjelaskannya pada Harry. Harry pasti tidak akan bertanya sampai di situ. Pertanyaannya akan beranak banyak. Aku dan Kevin pun menoleh bersamaan pada Harry.

"Teman spesial lama," jawab Kevin.

Harry menaikkan sebelah alisnya. "Spesial itu apa?"

"Khusus?" jawab Kevun yang nadanya lebih terdengar seperti pertanyaan daripada pernyataan.

"Khusus? Harry masih tidak mengerti. Daddy jelaskan yang benar dan mudah! Jangan menggunakan bahasa orang dewasa!" omel Harry.

Aku menepuk dahiku dan terkikik geli. "Harry tahu kekasih? Jika kita sudah tidak mempunyai hubungan lagi pada kekasih, itu di sebut mantan kekasih. Atau jika Harry pindah sekolah, sekolah Harry yang lama bisa juga di bilang mantan sekolah," terangku.

"Oh jadi begitu. Harry mengerti sekarang," gumamnya serius. Tatapannya beralih pada Kevin, seolah akan memberi makian. "Tuh daddy, mommy lebih pintar menjelaskannya dari pada daddy."

"Apa Harry ingin daddy cium lagi?" seriangain licik muncul di bibir Kevin.

Harry dengan cepat menolak keras dan langsung menyuruh Kevin jauh-jauh darinya. Pertengkaran di antara mereka pun kembali di mulai.

Aku hampir lupa bahwa hari ini aku berjanji pada Jane untuk berbelanja perlengkapannya. Aku pun bersiap-siap dan Jane ternyata sudah dari tadi menungguku hanya saja ia bilang tidak enak menggangguku dengan Harry dan Kevin. Sebegitunya kah? Lagi pula, aku dan kedua pria tampanku sedang bersantai dan mengobrol hal-hal aneh, ck. Bukan masalah yang besar jika ia bergabung dengan kami. Pasti akan lebih seru dan ramai. Saat aku dan Jane hendak pergi, betapa terkejutnya aku Kevin tidak mengijinkan Jane untuk keluar dari rumah ini.

"Kenapa? Kan ada bodyguard yang menemani?" tanyaku pada Kevin penuh keheranan.

"Pokoknya tidak boleh. Jane harus tetap di rumah. Jangan membantahku," titahnya tidak terbantahkan di depanku dan Jane. "Jika dia kekurangan pakaian, kau bisa membelikannya sendirian kan? Kurasa selera kalian sama."

Mengapa perkataannya terdengar kejam di telingaku? Aku merasa Kevin terlalu protektif pada Jane yang notabenya hanya sepupuku. Memang kenapa kalau Jane keluar? Apa susahnya memberitahuku alasannya? Sikap Kevin membuatku jadi semakin penasaran.

"Kurasa turuti saja suami Lun," bela Jane.

Aku cukup tersentak dengan belaan Jane terhadap Kevin. Perasaan curiga pun menjalar dalam diriku terhadap mereka. Tidak Luna. Mungkin Kevin khawatir pada Jane karena Jane tanggung jawabnya selama Joe tidak ada. Batinku, membuang prasangka buruk.

"Baiklah," suaraku nyaris tertelan. Kulirik Kevin, ekspresinya mengeras sementara Jane...dia tersenyum kecil?

Aku pun pergi sendirian. Catat, sendirian. Kevin membiarkanku pergi sendirian!

Saat di butik, aku memilih beberapa baju. Sebenarnya aku tidak terlalu pandai dengan style baju yang sedang trend. Aku hanya memilih pakaian yang menurutku nyaman dilihat dan dipakai tanpa melihat itu merk terkenal atau tidak. Sepanjang aku memilih pakaian, pikiranku tertuju pada Jane dan Kevin. Mengapa rasanya aku tidak rela meninggalkan mereka berdua di rumah? Ah buang pikiranmu itu Luna. Kevin tidak mungkin mengkhianatimu. Dia sangat mencintaimu. Wanita dalam batinku berteriak. Lagi pula Jane itu sepupuku jadi untuk apa aku curiga? hah Tapi tetap saja aku tidak bisa membohongi diriku.

Selesai membeli beberapa pakaian, aku mampir ke toko mainan. Berniat membelikan mainan baru untuk Harry. Melihat mainan berjajar, rasanya aku ingin membeli toko dan isinya. Kuputuskan untuk membelikannya mobil-mobilan yang terdapat remote kontrol dan kamera tersembunyi di dalam mobil itu. Harry belum punya mainan mobil-mobilan.

Aku tidak sengaja melewati mainan khusus anak perempuan. Semua mainan di situ terlihat menarik dengan warnanya yang menyala. Aku tergiur untuk membeli beberapa mainan khusus perempuan tapi sebisa mungkin kutahan. Bayiku belum lahir. Tanganku mengelus perutku sambil aku bicara dalam hati, nanti jika Sophia sudah lahir mommy akan membelikanmu mainan. Dengan refleks senyumku mengembang.

******

Jane sibuk mencoba semua pakaian yang baru kubelikan untuknya. Senyumnya melebar saat semua pakaianku yang kupilih untuknya ternyata cocok. Kami mempunyai selera yang sama. Apa pun yang ia pakai, ia selalu terlihat cantik dan anggun. Apa lagi rambutnya yang bergelombang merah kehitaman dengan panjang di bawah bahu, membuatnya bertambah seksi. Aku iri dengan kecantikan yang ia miliki-maksudku ia lebih terlihat seperti model di Victoria Secret yang cantiknya luar biasa.

Jane membuka bungkus gaun tidur yang sebenarnya milikku. Ah biarlah. Aku sudah punya banyak gaun tidur. Tapi yang jadi masalah adalah...gaun tidur yang kubeli itu transparan dan memamerkan belahan dada serta panjangnya bisa memperlihatkan celana dalam. Aku sengaja membeli itu agar aku bisa menggoda Kevin. Aku suka menggodanya dan melihatnya frustrasi saat melihatku berpakaian yang memacu birahinya. Kuharap Jane memakainya hanya di kamar. Aku tidak ingin Kevinku melirik wanita lain, apalagi Jane termasuk wanita cantik dan seksi.

"Gaun tidur ini terlalu seksi tapi aku suka. Nanti kupakai untuk menggoda kekasihku," ujarnya genit seraya bercermin melihat pantulannya yang sedang memakai gaun piyama itu. Sial, aku yang wanita saja tidak tahan melihatnya apalagi pria.

Aku hanya membalasnya dengan senyuman antara rela dan tidak rela membiarkannya memakai pakaian itu. "Kekasihmu pasti tidak akan berkedip sedikit pun," pujiku.

Jane menghampiriku yang sedang duduk di pinggir ranjangnya. Ia memelukku cukup erat. Aku tercekat saat ia memelukku. "Terima kasih kau sudah baik padaku Luna,"

Aku balas memeluknya dan menepuk-nepuk punggungnya. "Kita sepupu jadi sudah semestinya." aku pun melepaskan pelukannya. "Semoga kekasihmu itu segera menikahimu saat melihatmu seperti ini," gurauku.

Jane tergelak. "Aku harap begitu."

Aku jadi penasaran siapa kekasih Jane. Kekasih Jane pasti tampan karena Jane memiliki kecantikan yang luar biasa. "Kalau boleh tahu, siapa kekasihmu? Ia tinggal di mana? Dan sejak kapan kalian berhubungan?" tanyaku tanpa sadar pertanyaanku berentet. Nadaku penuh antusias.

Jane hampir membuka mulutnya namun ia kembali mengatup giginya rapat-rapat. Dahinya mengkerut. Aku merasa ia sedang berpikir? Untuk apa ia seperti itu? Bukankah pertanyaanku sangat mudah untuk dijawabnya? Apa masalah kekasihnya itu termasuk privasinya? Ah Luna jangan mencampuri urusan orang lain, pekikku dalam hati.

"Jika kau berat menjawabnya, jangan dijawab. Kautahu, aku ini memang seperti ini. Penasaran," kataku terkekeh.

Bibirnya menyunggingkan senyuman. "Nanti akan kuberi tahu siapa dia. Kau orang pertama yang akan kuberi tahu," janjinya.

Mulutku menganga terkejut sekaligus senang. "Jadi belum ada yang tahu hubungan kalian? Termasuk Joe ayahmu sendiri?"

Jane mengangguk berat. Ekspresinya berubah menjadi ekspresi kesedihan di wajahnya. "Sebenarnya hubungan kami terlarang. Dia mempunyai tanggung jawab pada seorang wanita tapi dia tidak mencintai wanita itu. Hubungan kami cukup rumit," ia menghela panjang.

Mulutku setengah terbuka kemudian kututup rapat-rapat hingga membuat sebuah garis lurus. Rasa penasaranku semakin membesar semua tentang Jane. "Kekasihmu sudah memiliki istri?" tanyaku hati-hati.

Jane menggidikan bahunya. "Aku tidak bisa berkata seperti itu. Yang jelas ia mempunyai tanggung jawab pada wanita lain karena keterpaksaan."

Mulutku hanya mengeluarkan kata 'oh', bingung harus merespon seperti apa karena aku sendiri merasa bingung dengan hubungan Jane dan juga kasihan padanya. Aku ingin bertanya lagi, masih banyak pertanyaan yang ada dalam benakku. Sayangnya, aku tahu di mana batasku dan mengenai hubungan Jane itu adalah privasinya. Aku tidak boleh melewati batasku. Menanyakannya bisa saja membuatnya terluka tanpa sengaja.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C8
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login