Download App
10% Cliche(s)

Chapter 3: 2. Motor Racing

Kurnia itu bukan tipe orang yang emosinya mudah tersulut dan terombang-ambing, sekalipun dalam masa remajanya. Pemuda itu cenderung berkepala dingin dalam menghadapi segala sesuatu. Tapi tambahkan pengecualian terhadap seseorang yang bernama Filo Aristo Cakra.

Ini gila.

"Lo benar-benar ... sarap! Gak bosan-bosan lo ya datang terus ke sini!" Kurnia memijit pangkal hidungnya. Setelah Aristo tidak muncul berminggu-minggu setelah kunjungan terakhirnya saat menanyakan SMA incaran Diandra—Kurnia pikir pemuda itu sudah menyerah.

Nyatanya...

...pemuda itu datang lagi merusuh di hari pertama Kurnia memulai semester di kelas VIII-nya.

"Lo udah ditolak kakak gue, sadar oi!"

Aristo memutar bola matanya. "Bagi gue, kata tidak itu bersinonim dengan coba lagi. Batu paling keras sekalipun bakal hancur kalo dibentur tetesan air secara konsisten selama bertahun-tahun."

Baik, Kurnia sakit kepala.

"Jadi lo berencana terus ngunjungin rumah gue sampai gue jadi bangke?" Rasanya pelipis Kurnia berkedut. "Udah deh, lo nggak usah bersyair. Langsung pulang aja. Diandra juga belum pulang sekolah."

Kurnia mengibas-ngibaskan tangannya mengusir. Tetapi ketika hendak menutup pintu, Aristo dengan sigap menahan pintunya. Dan sayangnya, tenaga Aristo lebih kuat dari Kurnia. Wajar. Dia kakak kelas dan anggota paskibra yang sudah mendapat pelatihan mati-matian.

"Gue mau nunggu dia."

"Hah—apa-apaan. Ibu gue ada di rumah. Masa' iya gue mau bilang ke nyokap gue—kalo misalnya dia nanya—kalo lo itu adalah orang yang ngegebet Diandra setengah mati dan nggak berencana menyerah sampai kiamat."

"Haha lucu."

Satu hal yang diperhatikan Aristo; Kurnia kalau melawak itu seringnya garing. "Bilang aja kalo gue itu teman lo di sekolah. Mau ngerjain tugas kelompok atau sekadar main, atau apalah. Lagian gue lagi nggak pake seragam."

"Tapi selisih tinggi kita lumayan mencolok, bego."

"Lo baru aja buat pengakuan kalo badan lo pendek atau apa."

"Diam, njing."Kurnia melengos lalu menutup pintu agak kasar ketika Aristo sudah berada di dalam rumahnya. Putra bungsu itu menuntun Aristo ke ruang tengah.

"Kebetulan gue lagi main MotoGP. Mau tanding?" Kurnia meraih game controller lalu duduk di sofa yang menghadap layar televisi LCD.

Aristo tidak langsung ikut duduk di samping Kurnia. Pemuda itu melirik perangkat permainan milik Kurnia dengan tatapan sedikit meremehkan.

"Playstation 2? MotoGP? Nggak bosan lo?"

"Kenapa? Memangnya lo punya Xbox di rumah?" ucap Kurnia seraya mendelik. Aristo tidak tahu saja kalau untuk mendapat perangkat ini, dia harus mati-matian berusaha menyabet peringkat tiga besar di kelasnya—persyaratan yang diajukan ayahnya. Untungnya ia berhasil memenuhi syarat itu ketika ia kelas tiga SD dulu, sebelum PS2 benar-benar ketinggalan zaman.

"Atau mau ganti game yang lain? Tenang, ada lebih dari 100 game di hardisk gue. Lo tinggal pilih. Mau Harvest Moon atau Grand Theft Auto, atau yang lain juga masih banyak. Tapi gue cuma punya GTA San Andreas di sini. Kalo lo mau, di komputer gue ada instal GTA IV." Kurnia menunjuk komputer LCD yang tergeletak rapi di meja komputer.

Aristo berjongkok, mengamati sejenak perangkat berwarna hitam itu. "Oh, jadi lo nggak pake CD? Ini memori eksternal tempat penyimpan game-nya?" tanya Aristo sambil mengangkat benda persegi berwarna hitam—yang panjangnya kira-kira empat inchi—ke depan wajahnya.

Kurnia mengangguk. "Letakin,"ucapnya cepat.

Aristo segera meletakkan benda itu kembali ke tempatnya.

"Jadi, mau tanding nggak? Lo yakin nggak bakal bosan kalo cuma duduk sambil nungguin kakak gue?" Kurnia menekan tombol play dan melanjutkan kembali permainannya yang sempat terjeda karena bel yang dibunyikan oleh Aristo tadi.

"Oke."

Kurnia menyodorkan sebuah game controller lain pada Aristo lalu memilih opsi kembali ke menu utama untuk mengubah mode permainan menjadi multiplayer.

———————————————————————

"Kalah lo kan. Makanya jangan sombong. Bokap gue aja udah bolak-balik gue kalahin—meski dia tetap aja terus nantangin gue. Dan gue tetap menang, ngomong-ngomong."

Aristo melengos. "Ya iyalah bego, kerjaan lo juga main beginian tiap hari."

"Elah, banyak alasan aja lo. Kalo nggak pro, ngaku aja deh. Jangan-jangan kerjaan lo di rumah cuma main masak-masakan pake boneka."

"Bangke lu."

Kurnia hanya menggoreskan senyum meremehkan di wajahnya seraya kembali mengarahkan pandangannya ke layar televisi. Sementara Aristo menghela napas malas. Pemuda yang lebih senior itu melempar sembarangan game controller di tangannya lalu menyendarkan punggung di sofa.

Ttak.

Kurnia berjengit mendengar suara game controller hitamnya yang tersayang membentur lantai tanpa hambatan. Pemuda bungsu itu langsung menghajar kepala Aristo menggunakan objek terdekat—remote televisi—yang kemudian membuat Aristo mengaduh diselingi umpatan.

"ANJIR! Kira-kira dong kalo mukul!"Aristo meringis memegangi kepalanya dan menatap horor sepasang baterai yang terjatuh keluar dari bagian belakang remote dan terbentur di lantai. "Lo mau buat gue gegar otak?"

"Memangnya lo punya otak?"Kurnia langsung nyolot—memutarkan bola mata. "Asal lo tahu, gue beli stick itu pake uang jajan gue sendiri! Kalo sampe rusak, gue bakal menggadaikan lo ke toko elektroniknya."

Aristo mau tak mau ikut memutar bola mata. "Enak aja. Untung banget tuh pemilik toko. Gue ganteng gini," gumamnya pelan.

Tapi telinga Kurnia masih tajam dan sehat. Anak itu mendelik. "Memang. Biar lo diserahin ke germo buat jadi gigolo."

Aristo mendecih. Seperti yang diduganya, adik Diandra memang menyebalkan—berbeda dengan kakaknya yang memang suka ngomong sampai membuat telinga orang radang, tapi tetap menggemaskan.

Aristo beranjak sebentar dari sofa untuk mengambil game controller yang tadi dicampakkannya. "Gue mau tanding ulang."

"Mau berapa kali tanding pun, lo nggak akan menang. Pulang aja lo sana, beli PS2 lalu banyak-banyak latihan, newbie."

"Diam lo,"sergah Aristo jengah. Andai saja Kurnia tahu kalau ia punya PS4 di rumah, anak itu pasti tidak akan berani berbicara sesombong itu. "Gue kalah karena gue seringnya main game model Sandbox sama RPG. Gue pecinta kebebasan," cecar Aristo sambil merentangkan tangannya konyol. "Lagian masa cuma lima lap? Gue kan jadi susah ngejar ketertinggalan gue."

Kurnia mendengus, "Bacot."Anak itu mengeratkan pegangannya pada game controller. "Tapi gak apa-apa deh, gue turutin. Lo mau berapa lap, newbie?"

Aristo berusaha mengurungkan niat untuk meninju Kurnia. Sebagai gantinya, dia menjawab sambil menyeringai, "Dua puluh delapan."

Mata Kurnia melebar sekilas. Tapi kemudian, "Oke," katanya mantap. "Kita beneran balapan virtual nih." Kurnia menekan-nekan tombol dengan cepat.

"Easy, medium, hard?" tanya Kurnia sebelum mengatur tingkat kesulitan lawan-lawan mereka nanti.

"Super hard nggak ada?"

"Nggak. Yang ada impossible." Kurnia menatap Aristo dengan tatapan yang seolah berkata lo-yang-betul-aja-deh. "Nggak usah banyak gaya deh, newbie. Mode easy sepuluh lap dan lo di posisi start pertama aja juga nggak bakal menang lawan gue."

"Bacot lo. Kita lihat aja nanti siapa yang cuma banyak gaya."Aristo mulai memilih pemain dan sepeda motor yang akan digunakannya.

"Lo mau sirkuit mana?"

"Hmm ... itu tuh, yang Jepang aja."

"Oke, confirm."

Pengaturan pertandingan sudah selesai dibangun. Proses loading tampil sebentar di layar sebelum akhirnya pertandingan dimulai. Kurnia sebagai player 1 mendapat start point ke-20 dan Aristo sebagai player 2 mendapat start point ke-21.

3

.

2

.

1

.

Bel tanda mulainya pertandingan berbunyi. Semua pembalap langsung tancap gas. Kurnia dengan cekatan menyalip lawan di depannya satu per satu sampai sekarang dia berada di posisi ke-enam belas. Sementara itu Aristo sepertinya cukup cepat menyesuaikan diri berkat pengalamannya dari pertandingan pertama tadi—pemuda itu sekarang berada dua posisi di belakang Kurnia.

Suara mesin dan ban berkecepatan tinggi yang menggesek jalanan beraspal memenuhi ruang tengah sampai—

Kreeeeeek...

"Kurnia, Ibu di ma—"

Mendengar suara itu, Aristo secara otomatis—dan tanpa peduli pada pertandingannya—langsung menoleh ke belakang.

Diandra Putri sedang berdiri di depan pintu rumah. Menatap Aristo dengan pandangan tidak percaya.

———————————————————————

Diandra bukan terkejut karena kehadiran Aristo di rumahnya—sama sekali bukan. Hal itu bahkan tidak patut diherankan. Tetapi gadis itu tercengang karena melihat Aristo dan adiknya sedang duduk manis di sofa panjang sambil menghadap televisi dengan suara mesin motor yang bergema berisik. Bukannya apa-apa, hanya saja Kurnia sendiri yang bilang kalau mereka berdua tidak akan mungkin akur. Kedua orang itu pernah terlibat beberapa masalah di sekolah, yang topiknya selalu sama: masalah cewek. Itulah sebabnya meskipun Aristo sudah sering berkunjung tidak penting sejak satu bulan yang lalu, Kurnia tidak pernah sekalipun ngobrol atau bercanda akrab dengan pemuda itu (jika umpatan dan sumpah serapah tidak dihitung sebagai candaan).

Ah, dan sekarang hanya tinggal Kurnia yang masih menatap televisi. Aristo sudah menoleh ke belakang—pada Diandra.

"Hai, Din." Aristo melambaikan tangannya singkat dengan ekspresi cerah.

Konyol—menurut Diandra. "Hai," balas gadis itu singkat dan dingin.

Aristo berdiri dari sofa.

"Woi, lo mau ke mana jancuk? Nggak tanding lagi?" Kurnia tampaknya baru sadar kalau makhluk malang tolol yang tengah bengong di tengah sirkuit dalam posisi ke-dua puluh satu itu adalah pemain Aristo.

Sayangnya, Aristo tidak mengacuhkan Kurnia sama sekali. Pemuda itu hanya melangkah mendekat pada Diandra dan mulai meluncurkan tawaran-tawarannya yang membuat gadis itu vertigo.

"Din, besok mau nongkrong nggak ke kafe? Kan masih hari-hari awal masuk sekolah, pasti belum dikasih tugas rumah," atau, "Mau nonton nggak? Gue dengar di radio ada film aksi superhero terbaru."

Dan banyak lagi tawaran lain yang isinya sama secara garis besar : ajakan kencan.

Tapi jawaban Diandra simpel saja. Satu kata, singkat, padat, lugas, dan jelas;

"Nggak."

Tapi Aristo tetap tidak menyerah, sepertinya.

Si sinting itu benar-benar pejuang—cocok hidup di zaman kolonial, pikir Kurnia. Anak bungsu itu kemudian keluar dari pertandingannya sebelum pertandingan itu selesai. Mendadak merasa bosan.

"Eh Kur, Mau ke mana lo? Lo belum jawab pertanyaan gue, Ibu di mana?"

"Di kamarnya. Biasa. Tidur siang sambil maskeran."

"Oke," gumam Diandra lalu berjalan menuju tangga sambil membawa kertas berisi daftar barang-barang yang harus dibawanya untuk orientasi besok. Tapi sebelum menapaki anak tangga pertama, gadis itu berhenti dan berbalik. Dan dia merasa urat kesabarannya terputus ketika melihat Aristo mengekor di belakangnya. "Lo ... stop! Gak mungkin lo ikutin gue sampai ke kamar nyokap gue kan?"

"Oke, oke." Aristo tersenyum, mengangkat kedua tangannya seraya mundur. "Gue tunggu lo di ruang tengah, ya."

"Mending lo pulang."

"Kenapa sih lo hobi banget ngusir gue? Nggak sopan, Din."

"Dan kenapa lo hobi banget nyelonong ke rumah gue—"

"Gue nggak nyelonong, gue ngetuk pintu," potong Aristo.

Kurnia yang berada di ujung ruangan langsung menyahut, "Dia memang nyelonong, Kak. Gue mau nutup pintu, dia malah nahan pintu lalu masuk seenaknya."

Diandra menatap Aristo dengan tatapan udah-gue-duga. "Nggak sopan, Filo," balasnya telak.

Aristo hanya mendelik pada Kurnia yang nyengir setan—yah, meskipun apa yang dikatakan anak itu memang benar, sih.

Tapi tetap aja—

Kurnia anjing lo.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C3
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login