Download App

Chapter 10: Save Me

Tepat ketika Diana memegang gagang pintu depan rumahnya, tiba-tiba saja pintu telah lebih dulu dibuka dari dalam, menampilkan sosok wanita paruh baya dengan rambutnya yang mulai keputihan. Senyum khas merekah di wajahnya yang mulai menunjukkan gurat-gurat petanda umurnya tidak lagi muda. Diana dapat mencium aroma khas masakan dari dalam rumahnya, yang sukses membangkitkan gairah Diana yang sebenarnya sudah kelelahan.

"Diana, akhirnya kamu pulang juga" suara wanita paruh baya itu sedikit bergetar. Diana tersenyum singkat seraya menyalami sosok di hadapannya itu.

"Bibi kapan ke sini? Kok nggak kasih kabar kaya biasanya?" Tanya Diana, tangannya asik merapihkan poninya yang agak berantakan. Wanita yang dipanggilnya bibi itu tersenyum hangat.

"Satria tadi habis pulang sekolah mampir ke rumah bibi, katanya bibi suruh ke sini soalnya akhir-akhir ini kamu pulang telat terus. Emang ada apa Diana? Hm?" Tangan kanannya meraih pundak Diana, ditatapnya mata Diana dalam-dalam. Seakan dengan cara itulah ia dapat menemukan jawaban dari pertanyaannya.

Diana yakin dan sangat tahu wanita dihadapannya mengkhawatirkan keadaannya. Bagaimanapun Diana sadar dia sudah dewasa, dia harusnya dapat mengatasi masalah ini sendiri daripada menyusahkan orang-orang di sekitarnya. Ya... Diana merasa seharusnya Diana bisa lebih memperhatikan Satria. Kasihan adiknya itu, pasti dia kesepian. Dia sudah terlalu banyak menderita dan Diana harusnya lebih peduli, bukannya memikirkan hal-hal yang sejatinya kurang berfaedah.

"Maaf Bi, Diana bakal usahain nggak telat pulang lagi" Diana menyunggingkan senyum, namun masih kentara sekali raut wajahnya yang tampak lelah. Seakan menyadari itu, wanita yang dipanggilnya bibi langsung menyeretnya masuk.

Diana sudah merasa fresh, ternyata mandi merupakan obat ampuh menghilangkan segala penat di kepalanya maupun tubuhnya. Kini Diana tengah berada di dapur, bersiap untuk menyantap hidangan yang tepat berada di hadapannya. Indera pembaunya bereaksi terhadap hidangan makan malamnya, yang sukses membuat perutnya keroncongan. Menunya simpel saja, telur mata sapi dan sup kesukaannya.

"Maafin bibi ya, bibi cuma bisa masakin ini buat kalian" Satria menggeleng keras seraya tersenyum penuh semangat.

"Enggak kok Bi! Malahan Satria udah lama banget pengin makan sup buatan bibi!" Satria sangat senang, bahkan ia makan dengan lahapnya. Syukurlah, Diana bahagia melihatnya.

"Oiya.. besok kan hari minggu, gimana kalau kalian main ke rumah bibi? Sekalian nanti kita belanja bareng ke pasar buat menu makan malam?" Ucap bibi dengan suaranya yang sedikit bergetar namun terselip nada penuh semangat. Satria membulatkan bola matanya kelewat senang, lalu mengangguk pasti. Seperti biasanya, dia selalu bersemangat. Anak seumurnya pasti tidak akan melewatkan kesempatan bersenang-senang ini.

Diana senang akhirnya dia bisa menghabiskan waktu bersama bibi dan adiknya itu. Mungkin juga ini salah satu cara untuk menghilangkan strees. Jadi bagaimana mungkin dia menolak ide cemerlang itu?

"Kamu gimana Diana?" Diana yang hendak memasukkan makanan ke mulutnya pun menghentikan kegiatannya.

"Tentu Diana mau banget Bi" Bagaimana pun Diana sangat berterima kasih atas tawaran itu. Yah, paling tidak topik-topik yang belakangan ini cukup membuatnya sedikit pusing bisa ia lupakan sementara. Dengan begitu ia bisa sedikit memperhatikan kehidupannya dan Satria.

*****

"Duh kok mendadak laper ya, bibi masak apa ya?" Kevin turun dari tempat tidurnya dan menyambar handphone yang ia letakkan di meja belajar. Sejak pulang sekolah tadi ia memang belum makan, wajar saja perutnya mulai berbunyi.

Entahlah, ia merasa malas untuk melakukan sesuatu. Jujur saja, pikirannya masih menggantung pada kejadian tadi siang. Lebih tepatnya ia telah mengungkapkan perasaannya yang selama ini ia simpan. Bahkan sohib setianya pun tidak tahu sama sekali mengenai perasaannya ini. Ia sudah lama menyukai gadis polos bernama Diana itu. Kevin sudah memikirkannya berulang kali dan ia tidak boleh menyesali keputusan yang sudah dilakukannya. Ia sadar bahwa ia harus bergerak atau ia akan menyesal kemudian. Namun yang membuatnya gelisah adalah Diana. Gadis itu langsung membatu begitu mendengar pengakuannya dan yang lebih membuat Kevin semakin gelisah adalah Diana meminta waktu untuk memikirkannya.

Kevin benar-benar tidak tahu bagaimana jawaban Diana, karena bagaimana pun mereka baru mulai saling kenal. Tentu gadis itu sedang kebingungan dengan semua ini. Tapi satu kata yang menjadi doa dari Kevin sedari tadi. 'Ya' Kevin sangat ingin mendengar jawaban itu dari bibir Diana. Baru pertama kali ini Kevin merasa gelisah, terlebih masalah cinta.

Langkah kaki Kevin terhenti tepat di depan sebuah pintu. Kevin dapat mendengar samar-samar suara isakan kecil. Kevin termenung sesaat. Hal seperti ini sering terjadi, Kevin tahu apa yang dirasakan ibunya. Selama ini wanita itu berusaha tampak tegar di depan semua orang, namun Kevin yakin itu semua hanya acting. Sorot mata itu, Kevin dapat menyimpulkan satu hal dengan jelas, ibunya menderita.

Kevin membuang napas dengan kasar, membatalkan niatnya untuk menuju dapur. Rasa lapar yang menggerogotinya pun seakan hilang ditelan bumi. Dengan cepat ia menaiki satu per satu anak tangga. Setibanya di kamar, diraihnya kunci motor bersama jaket Levis kesayangannya. Malam itu pun ia habiskan di luar sana, ia butuh udara segar.

*****

Pagi ini suasana suram. Dingin menusuk hingga tulang belulang. Langit berwarna keabu-abuan, bahkan sinar mentari seolah sedang bersembunyi di balik selimut. Diana sempat merasa aneh dengan situasi seperti ini, karena menurutnya tidak seperti biasanya.

Pasti setiap sudut pandang orang lain menginginkan cuaca seperti ini karena tidak panas. Diana justru sebaliknya, dia merindukan tetes keringat yang membasahi pelipisnya. Jangan ditanya kenapa, Diana memang anti mainstream. Ketika semua orang cenderung mencari tempat untuk berteduh saat hujan, Diana lebih memilih untuk menari di bawah guyuran hujan yang akan membasahi tubuhnya. Tapi dengan karakter seperti inilah yang membuat Diana unik. Diana memang memiliki pemikiran yang jauh dari kata konvensional.

Back to the topic. Diana melangkah menuju kelasnya melewati koridor, suasana masih sepi. Usai meletakkan tasnya di bangku, Diana berniat menuju toilet.

Diana melangkah masuk menuju toilet. Kemudian terdapat langkah kaki lainnya yang menyusul masuk. Pintu kamar mandi yang tengah digunakan Diana tertutup, dengan gesit si pembuntut menguncinya dari luar.

"....Maaf." bisiknya pelan di depan pintu lalu berlalu pergi meninggalkan toilet. Ketika pintu berusaha dibuka oleh Diana, dia setengah terkejut. Pintunya terkunci.

"Lo kok kekunci?!" Tangan Diana masih terus memegang knop pintu serta berusaha membukanya. Namun setelah menyadari ia benar-benar telah dikunci, ia menghentikan aksinya. Diana membuang napas kasar, siapa juga yang mau melakukan hal konyol seperti ini, apalagi ini terbilang pagi. Pukul enam lebih lima menit.

"Tolonggg! Ada orang di luar?"

"Tolonggg! Tolong!"

Diana menggedor-gedor pintu berulang kali, namun tak ada jawaban sama sekali. Jujur Diana mulai panik. Tubuhnya berkeringat.

*****


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C10
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login