Download App
68.75% Relung Renung

Chapter 11: sepucuk surat di kedai kopi

sudah dua gelas kopi menemaniku duduk dan menulis di sebuah kedai kopi di simpang jalan kota ini, di luar sedang gerimis mengisyaratkan hati yang sepi meski di tengah keramaian, ya menulis menjadi hobi baruku setelah aku menyelesaikan kuliahku dengan proses yang cukup rumit, kini begitu banyak waktu luang semakin menambah perasaan sepi, ku habiskan hari - hari dengan menikmati hidangan kopi dan menulis bait demi bait kata, meskipun belum ada penerbit yang melirik tulisanku namun setidaknya bisa menjadi pelajaran buat diri sendiri sekaligus mengabadikan pemikiran pemikiranku.

di halaman lain laptopku ku buka juga info lowongan kerja, mencari cari pekerjaan yang pas denganku, sembari memikirkan tawaran tante Rika beberapa hari lalu untuk tinggal bersamanya di pelosok negeri

~~~ beberapa hari lalu ~~~

"selamat ya atas kelulusanmu" suara lembut tante Rika terdengar dari telpon genggamku

"iya tan, gimana kabarnya tante sama Om Dhani? sehat sehat kan?"

"baik, sangat baik, cuma ya kesepian juga" jawab tante Rika dari seberang sana

wajar saja, tante Rika dan om Dhani yang sudah menikah lebih dari tujuh tahun namun belum dianugerahi seorang anak.

"yang sabar ya tan terus berdoa dan berusaha" tanggapku coba menghiburnya

setelah sekitar tujuh menit berbincang

"kamu mau ya tinggal di sini? temani kami sekaligus mencari pekerjaan di sini, nanti tante bantu deh" pinta tante rika dan coba membujukku.

"eeehh, saya pikirkan dulu tan" jawabku dengan nada pelan

"ya udah, pikirkan saja lagi, tante sih berharapnya kamu mau, kabari tante lagi ya" pinta tante Rika

"secepatnya saya kabari lagi tan" jawabku lugas, dan mengakhiri perbincangan.

hari itu setelah hari kelulusanku, ada perasaan lega telah menyelesaikan kuliah meskipun dalam jangka waktu yang lebih lama dari teman temanku setidaknya aku bisa menyelesaikan apa yang harus aku selesaikan, dan bukan menjadi pecundang. juga memenuhi janjiku kepada almarhum ibuku sebelum ia meninggal dulu, andai dia tahu aku telah wisuda sekarang dia pasti sangat senang dan bangga padaku, setelah ini aku harus memutuskan untuk tetap tinggal di kota ini ataukah menerima tawaran tante Rika untuk tinggal bersamanya di pelosok negeri.

banyak yang harus aku pertimbangkan dalam hal ini, aku harus pindah dari kota ini tempat aku lahir ke tempat nan jauh disana, yang aku tak tahu bagaimana hidupku nantinya, harus memulai semua dari awal, berkenalan dengan orang orang baru, mempelajari kebiasaan - kebiasaan mereka dan banyak hal lain yang membuatku berat meninggalkan kota ini meskipun kini terasa sangat sepi setelah aku tak lagi bermain musik dan sepeninggalan ibunda.

disamping itu, tante Rika dan om Dhani adalah satu satunya keluarga yang ku miliki, mereka sangat berjasa dalam hidupku, banyak pelajaran yang ku ambil dari hidup mereka berdua, ditambah lagi mereka belum dikaruniai seorang anak setelah begitu lama pernikahan mereka, pasti mereka kesepian, meskipun demikian aku tak enak hati jika harus merepotkan mereka. aku yang belum punya pekerjaan tetap pasti sangat merepotkan di kehidupan mereka.

~~~~~~

dari arah belakangku terdengar beberapa orang wanita yang sedang asik bercengkerama, bercerita diselingi sedikit candaan dan gelak tawa, cukup menggangguku yang sedang menikmati kesendirian. ku teguk lagi kopi yang terhidang di mejaku, dan hendak memasang earphones dan memilih mendengarkan musik daripada suara berisik mereka. tapi tunggu dulu, dari suara beberapa wanita di belakangku itu aku seperti mengenal suara salah satu wanita di tengah suara bising mereka, suara tawa yang sepertinya sangat familier di telingaku, kucoba ingat sekeras mungkin tanpa sudi menoleh ke belakang. dan benar saja suara itu mengingatkanku lagi dengan sosok Wanita yang pernah membuat hatiku hancur.

sungguh begitu besar memoriku tentangnya, sampai - sampai mendengar suara yang mirip dengannya saja sudah begitu mengembalikan ingatan - ingatan pahit itu, padahal sudah begitu lama kejadian itu, ku coba mengabaikan perasaan itu dengan memakai earphonesku, mendengarkan musik instrumen sembari melanjutkan tulisanku, tak lama berselang

"hey, apa kabar?"

dan benar saja orang yang sedari tadi duduk di belakangku adalah Intan, bukan perasaanku saja, dia menjulurkan tangannya mengajak bersalaman. ku tutup laptopku dan ku lepaskan earphones dari telingaku, kulihat baik baik wajah wanita itu, tidak ada yang begitu berubah, hidung yang mancung, lesung pipit di sebelah kanan terlihat manis sama seperti dulu sewaktu pertama kali melihatnya. kini usahaku selama ini untuk melupakannya seketika hancur hanya dengan sebuah "hey apa kabar" darinya.

"baik, aku baik baik saja" menyambut ajakan Intan untuk berjabat tangan.

"sudah dari tadi aku melihatmu dhan, hanya saja aku tak ingin mengganggumu yang keliatannya sangat sibuk, dan tak ingin di ganggu" ujarnya

"ah gak apa apa kok, aku hanya sedang bersantai saja" jawabku berpura pura tak ada apa apa.

"oh iya aku turut berduka atas kepergian ibumu ya dhan" kata intan lalu duduk di sebelahku.

jantungku semakin berdetak tak karuan, entah perasaan apa yang sedang kurasakan saat ini.

"soal yang waktu itu" Intan coba menatapku

"sudah tidak perlu di bahas" ujarku memotong kalimat Intan

"aku minta maaf, aku bisa menjelaskannya Dhan" Intan semakin melekatkan pandangannya padaku

"aku sudah memaafkanmu" kataku coba memaksakan senyuman.

meski kehadiran Intan kali ini menggiring kembali kenangan beberapa tahun silam bersamanya, ia juga terlihat sangat tulus meminta maaf, namun juga membawaku ke suatu tempat, tempatku pernah terjatuh, kali ini aku tak ingin jatuh lagi kesana untuk kedua kalinya, karena hidup harus terus melangkah kedepan.

"berikan aku kesempatan lagi dhan" pintanya

"aku memaafkanmu tapi tak perlu kita mengulanginya, biarkan aku memulai sesuatu yang lebih baik" ujarku sambil menatap dua bola mata penuh pengharapan itu.

"kalo begitu izinkan aku untuk tetap menjadi temanmu, please" pintanya lagi

kali ini aku tak bisa lagi menahan egoku, namun membuat luka yang tertancap begitu dalam kini tercium kembali, ku buka tas ranselku dan mengambil sepucuk surat yang tidak jadi ku kirimkan dulu kepada intan, ku pandangi surat itu, sudah saatnya aku mengakhiri apa yang sudah aku mulai.

"iya kita akan terus berteman" jawabku mengakhiri perbincangan canggung di kedai kopi ini

ku isi laptop ke dalam tas ranselku, ku berikan ia sepucuk surat itu lalu pergi meninggalkan dia yang masih memandangku dengan tatapan penuh harap

"aku memulai dengan surat, dan aku akan mengakhiri ini dengan surat" kataku meletakkan surat itu di hadapannya.

"kita akan ketemu lagi kan?" tanya Intan yang masih terpaku di tempat duduknya

"mungkin" jawabku sembari melangkah keluar dari kedai kopi itu.

kita tau saat kepercayaan dihancurkan takkan mudah untuk membangunnya kembali. meskipun begitu aku ingin mengucap terima kasih, terima kasih pernah membuatku tersenyum, terima kasih pernah membuat jantungku berdebar setiap kali melihat senyumanmu dan terpukau melihat dua buah matamu, terima kasih telah menyadarkanku bahwa mencari teman hidup bukan persoalan kenyamanan atau kecocokan semata, tapi soal siapa yang mampu tetap berdiri disana saat kau terjatuh, siapa yang bisa menemanimu hingga rambutmu memutih, dan siapa yang bisa menerimamu apa adanya. tak perlu bermohon atas maafku, saat kau membaca surat ini aku sudah sepenuhnya rela atas kepergianmu, kini kau sudah punya alamat baru dari doa doa yang kau lantunkan setiap malamnya, kau telah menuju seseorang yang kau anggap benar, meski kini senyummu bukan karenaku, pulangmu bukan padaku, setidaknya aku sedikit lebih tenang, karea memaafkan adalah cara terbaikku untuk membalasmu

~~~~~

setelah kejadian ini aku mungkin akan menerima tawaran Tante Rika untuk tinggal bersamanya di pelosok negeri, memulai semua hal dari awal bukanlah sesuatu yang buruk, aku segera menghubungi Tante Rika dan memberi tahu bahwa aku menerima tawarannya untuk ikut tinggal disana, dan mempersiapkan segala hal untuk hidup yang baru.

terima kasih telah berbagi cerita

tentang semua hal yang kau suka

tentang teduhnya pantai dan soremu

di ujung dermaga menanti terbenam sang fajar

meskipun sangat indah

namun selalu mengantarkan kita ke kegelapan

tanpa menyisahkan sedikit cahayanya.

tentang cara melepaskan

melepaskan apa yang terlalu erat ku genggam

bukan ingin berhenti berjuang

hanya ingin memulai sesuatu yang lebih baik

ku yakin begitu juga denganmu

Afdhan Danadyaksa


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C11
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login