June, 23. 2020
Angin berhembus pelan sembari membawa kesejukan. Suara daun daun gemerisik bertabrakan ketika tertiup angin. Perlahan mereka memainkan rambut panjang Valerie yang terurai. Sedangkan Valerie, ia menumpukan wajah di dagu sembari menghela nafas.
Duduk dibalkon ditemani dengan secangkir teh aroma bunga azalea memang menjadi kesehariannya ketika sedang diam dirumah.
Kemarin ketika sampai dirumah, Mama dan Papa Valerie langsung memarahi dia dan juga Bryan. Umm, Valerie rasa itu salah mulut Bryan yang terlalu licin. Alasannya karena dia memberitahukan semua kejadian itu pada kedua orang tuanya. Padahal, Valerie bisa saja berbohong dengan mengatakan bahwa ia berdesak desakan saat menonton. Alhasil, Valerie tidak di izinkan lagi untuk melihat konser apapun.
Huft.
Ia menghela nafas kasarnya berulang kali, membuat bibi May yang berdiri di sampingnya kebingungan.
"Kau ingin makan sesuatu nona?"
Wanita paruh baya yang memiliki senyuman indah ini bernama Bibi May. Beliau sudah mengabdikan diri di keluarga Shvlyn sejak masih muda hingga sekarang. Baginya, Bryan dan Valerie adalah anak keduanya sehingga beliau sangat sayang pada mereka.
"Ya, aku sedang menginginkan kue kering panas buatan bibi" kata Valerie
"T-tapi kau sudah habis 2 piring nona. Apa masih kurang?" Kata Bibi May menunjuk 2 piring bekas yang tertumpuk di depan Valerie.
"Benarkah? Kalau begitu aku ingin makan makanan berat seperti makan siang mungkin?" Tanya Valerie
"Ya tentu. Bibi akan masakkan dulu untukmu.. Kalau sudah jadi, aku akan mengantarnya kesini untuk nona" ucapnya halus
"Tidak usah bi. Nanti aku saja yang turun ke lantai bawah. Bibi cukup teriakkan namaku dan menyuruhku turun" kata Valerie
"Haha, bolehkan begitu?" Tanya Bibi May yang dibalas anggukan semangat dari Valerie.
"Baiklah, nona tunggu sebentar ya" ucapnya kemudian pergi membuatkan makan siang untuk Valerie.
Suasana kembali hening. Pikirannya kembali melayang pada kejadian kemarin seperti sebuah film yang berputar di kepalanya.
"Sudah 2 hari ya?" Ucapnya pada diri sendiri.
Ia melihat kearah dedaunan pohon yang berada di samping balkonnya. Pohon yang menjulang tinggi, hampir menyamai dengan atap rumahnya.
Sejenak ia melamun, mengamati pohon tersebut. Kalau di pikir pikir pohon ini usianya hampir 14 tahun semenjak kepindahannya ke kota Shewdy, Zorgenia bagian selatan.
Matanya hampir tak lepas dari dedaunan hijau selama beberapa saat,
"Sehat terus ya pohon. Kau jangan sampai stress seperti aku. Nanti bisa bisa daunmu rontok semua kalau buat berpikir terus"
Sesaat ia terdiam kembali,
"Aish.. kenapa aku sekarang jadi berbicara dengan pohon?" Pekiknya pada diri sendiri.
Segera ia mengambil sebuah handphone yang tergeletak di atas meja. Ia menekan beberapa nomor kemudian menelfonnya.
"Halo?" Tak lama kemudian suara berat terdengar dari sebrang sana.
'Oh. Dia mengangkatnya?' Batin Valerie
"I-ini aku..." Valerie nampak memberanikan diri
"A-apa kau masih membawa kalungku itu, tuan?"
"Tentu saja. Apa benda ini sangat berarti?? Kalau begitu kau harus mengambilnyakan?" Dia bertanya
"Ya, aku nanti akan mengambilnya" jawab Valerie pasrah
"Baiklah sayang. Akan aku tunggu kau malam ini" katanya kemudian mematikan telfon secara sepihak.
Huft.
Valerie menghela nafasnya kembali. 'Pria bernama Axel ini benar benar licik' pikirnya.
* * * *
Diam diam Valerie menyelinap masuk kedalam hotel. Harusnya hari ini dia sama sekali tidak boleh keluar rumah, apalagi jika tidak ada pengawalan dari Bryan atau bodyguard yang disewa ayahnya.
Dia hanya pamit pada Bryan, ia bilang padanya bahwa ia ingin pergi sebentar ke toko buku dan berjanji tidak akan pulang malam. Untungnya saja Bryan mau diajak berkompromi, kalau tidak, Valerie harus merelakan kalung berharganya diambil oleh orang asing.
"Ada yang bisa kubantu? Ah.. kau mencari ibumu ya? Siapa namanya, akan aku panggilkan dengan microfon" sambut si resepsionis
"Ibuku? Oh tidak nona. Aku sedang mencari seseorang" bisik Valerie
"Ya tentu. Kau mencari ibumu kan? Siapa namanya?"
"Tidak nona, aku ini sudah besar. Umurku sudah 20 tahun"
"Lalu, kau mencari siapa?" Tampak si resepsionis terkejut. Dilihat dari sudut pandang manapun, Valerie memang nampak seperti gadis remaja berusia 16 tahun.
"Aku mencari tuan Axel Verheaven" bisiknya lagi.
"T-tuan Axel? Benarkah? Apa kau sudah ada janji? Tanya resepsionis muda itu
"Ya tentu. Aku sudah ada janji dengannya"
Nampak resepsionis cantik ini berbicara pada teman di sebelahnya.
Apa mereka tidak percaya jika Valerie memang ingin bertemu dengan Axel? Kenapa harus dipersulit seperti ini?
"Em.. nona.. jika kalian tidak percaya padaku, setidaknya bisakah anda menelfonkannya untukku?" Pinta Valerie
Mereka nampak saling berpandangan. Kemudian resepsionis cantik tadi mendekat kearah Valerie, "sebenarnya perasaan tuan Axel akhir akhir ini sedang tidak baik, kami pun takut walau hanya menghubungi beliau. Jadi biar kutanya sekali lagi, dik.. apa kau benar benar ada janji dengan tuan Axel?"
Valerie terdiam, memandang para resepsionis itu dengan tatapan bingung. Beginikah cara resepsionis memperlakukan orang?? dengan rasa ketidakpercayaan terhadap tamunya? Cih. Memalukan.
"Apa sejak awal anda tidak percaya padaku, nona?" Tanya Valerie polos.
"Tentu saja kami percaya padamu, dik. Kami hanya ingin memastikan saja" teman si resepsionis tadi menimpali
"Kalau begitu, saya minta tolong panggilkan tuan Axel agar dia datang kemari nona" jawab Valerie penuh tekanan
"Tuan Axel saat ini sedang tidak bisa diganggu, dik. Tolong mengertilah"
"Hah... sepertinya kalian tidak percaya padaku? Apa karena aku terlihat seperti anak kecil? Aku kan sudah bilang kalau aku ini sudah berumur 20 tahun. Bahkan tuan Axel sendiri yang menyuruhku datang kemari" Valerie nampak menahan amarahnya. Ia melirik ke arah jam dinding di loby, jarum sudah menunjukkan pukul 06.45.
Brakk
Teman resepsionis itu memukul meja, membuat seluruh mata memandang kearah mereka.
"Kalau kau ingin bermain, bermainlah diluar!" Bentaknya
"Cepat katakan saja nama ibumu, biar kupanggil kesini" lanjutnya dengan nada yang tidak ramah
Valerie justru tertawa sejadi jadinya. "Kalau begitu, apa kalian percaya jika aku menyembunyikan senjata api di balik jaketku?" Tanya Valerie sambil menyeringai.
"Kau bawa senjata api?"
"Ya, revolver clot m1911" Valerie tertawa
Kekacauan dimulai. Mereka saling berteriak satu sama lain sehingga pihak keamanan mendatangi mereka dan melerai diantara ketiganya.
Dan.... disinilah Valerie sekarang. Sebuah ruangan keamanan di lantai bawah salah satu Hotel bintang 5, Hotel Scarlast.
"Sial" pekiknya
Tangan Valerie di borgol oleh keamanan disana sejak ia bilang bahwa ia membawa senjata api. Padahal itu hanya alasan karena Valerie ingin mengetes resepsionis tadi.
Dirinya dijaga oleh 2 orang keamanan hotel. Satu orang menanyainya tentang berbagai macam hal, yang satunya nampak sedang mengangkat telefon dari seseorang.
"kekacauan sudah kami tangani pak" ucapnya terdengar sampai sini
"Ya, Dia berbohong membawa senjata api"
"Namanya? Tunggu akan saya tanyakan"
"Hey, siapa tadi namanya?" Tanya orang itu pada rekannya. Sedangkan Valerie, dia hanya diam dan tidak mengindahkan siapapun disana.
"Maxie" balas pria yang berada di depan Valerie ini
"Nama orang itu Maxie, pak... halo, pak? Halo?" Entah kenapa sejak itu telfon dimatikan. Mungkin karena itu kebiasaan orang orang sini?
Tak selang beberapa menit kemudian, seorang pemuda berpakaian rapih memasuki ruangan tersebut. Kedua pihak keamanan nampak menghormati dirinya.
"Maaf, apa kau tidak apa apa?" Tanya pria berumur 50an itu pada Valerie
"Siapa kau?" Valerie nampak kebingungan dengan datangnya orang yang tak ia kenal.
"Aku Nickolas," balasnya sambil tersenyum