Download App
8.45% My promise

Chapter 17: chapter 16

Happy reading,

Jepang...

" ahhhh! " rintih Louise sambil meringis menahan sakit, saat badannya di hempaskan ke lantai yang kotor dengan kasar oleh seseorang. Dia dibawa ke sebuah ruangan gelap dan pengap.

Tenaganya terkuras sehingga dia tidak mampu menggerakkan sedikitpun badannya, tangan kirinya patah, tulang rusuknya juga ada yang bergeser, tak terhitung memar dan lebam memenuhi permukaan seluruh tubuhnya.

Gagal! Misi pertamanya gagal! dia kehilangan semua anggota teamnya. Tak ada satu pun yang tersisa, kecuali dirinya. Karena di depan matanya sendiri, dia melihat bagaimana mereka meregang nyawa saat disiksa oleh orang - orang dari organisasi tersebut, rasa penyesalan menggerogoti dirinya saat ini. Andaikan dirinya lebih hati - hati dan tidak ceroboh mungkin team mereka masih ada sampai saat ini.

" Maaf! hiks.. hiks.. Maafkan aku! " gumamnya pelan sambil memejamkan kedua matanya, dan kedua tangannya terkepal erat menahan rasa sakit yang bertubi - tubi menghujam jantungnya.

Air matanya terus mengalir membasahi kedua pipinya, sekelebat bayangan tentang teamnya sebelum kematian muncul berputar terus - menerus bagai kaset rusak yang memenuhi pikirannya.

" Dad! Maaf! aku gagal " keluhnya sambil terisak.

2 hari dia terkurung di dalam sebuah gudang bawah tanah tanpa diberi makanan atau minuman. Disana ia hanya berbaring terkapar di lantai yang lembab tanpa alas sedikitpun, hingga badannya menggigil kedinginan.

Tiba - tiba terdengar bunyi suara pintu terbuka, sayup - sayup Louise mendengar suara langkah kaki yang menghampirinya. Kemudian ia merasakan tubuhnya melayang , ia semakin merasa energi yang di milikinya semakin menipis sehingga lambat laun kesadarannya semakin berkurang dan yang ada hanyalah kegelapan tanpa batas.

***

Sinar matahari menerobos masuk melalui jendela kamar dan langsung menerpa wajah Louise. Dengan perlahan Louis membuka kedua kelopak matanya, cahayanya menusuk kedua matanya terasa perih. Sehingga ia butuh waktu beberapa saat agar bisa beradaptasi untuk menormalkan kembali penglihatannya,

Lalu ia mecoba melihat sekelilingnya perlahan, cat ruangan berwarna abu-abu di hiasi barang - barang mewah. Rasa panas dan kering menyengat ditenggorokannya hingga ia kesulitan untuk berbicara.

Dia mencoba meraih gelas diatas nakas yang ada di sebelahnya, dengan menggunakan satu tangan yang tidak di pasang perban. Louis sadar tangan kirinya patah dan ia juga kesulitan menggerakkan badannya.

" uuhh! argh! " desahnya

Frustrasi yang saat ini ia rasakan, ia berharap dia bisa segera menyusul rekan - rekannya namun, Tuhan berkehendak lain.

Tak lama kemudian pintu kamar itu dibuka oleh seseorang dari luar ruangan. Bunyi langkah kaki perlahan terdengar semakin mendekatinya,

" Anda sudah bangun nona? " tanya seorang wanita paruh baya dengan lembut.

" Siapa.. Kamu? " tanya Louisa serak sambil memegang lehernya.

" Ahh! Sebentar nona " ucap wanita itu sambil meraih gelas berisi air minum, ia langsung memberikan kepada louis.

" Bagaimana sekarang? " tanya wanita paruh baya itu sambil tersenyum.

" Sudah lebih baik, terima kasih " jawab Louise sambil tersenyum tulus.

" Tunggu sebentar ya nona, saya akan ambilkan makanan sekaligus memberitahu dokter Kenta bahwa anda sudah sadar " ucap pelayan tua itu,

Namun baru mau beranjak dari tempatnya, Louis sudah menggenggam tangan pelayan itu bermaksud menahannya.

" Ada apa ? Ada yang anda inginkan? " tanya pelayan itu dengan sabar.

" Louis! panggil saya Louis.. Ini dimana? " tanya Louis penasaran.

" Maaf nona, bukan kapasitas saya memberitahu anda " jawab pelayan itu dengan sopan sambil membungkukkan badannya sedikit lalu buru - buru pergi meninggalkan ruangan itu.

Beberapa menit kemudian datang seorang pria yang memakai jas putih diikuti seorang perawat, pria itu tersenyum dan membungkukkan badannya sedikit sebelum memeriksanya.

" Sore nona, apakah anda merasakan tidak nyaman disuatu tempat? " tanya dokter Kenta ramah.

Louis terdiam tidak berniat menjawab, ia memalingkan wajahnya mendengus pelan, namun dokter Kenta hanya tersenyum kecil melihat tingkah Louise. Dengan sigap dan teliti dokter Kenta memeriksa louis.

" Bagaimana keadaannya? " sebuah suara berat dan serak terdengar mengalun dari arah pintu ruangan, hingga semua orang menoleh kearahnya.

" Jauh lebih baik dari seminggu yang lalu tuan, masa kritisnya telah lewat " jawab dokter Kenta dengan sopan.

Diam - diam Louis mengamati pria tersebut. Memiliki postur tubuh Tinggi ideal, berhidung mancung, memiliki rahang yang kokoh, mata cokelat yang menatapnya dengan dingin, serta bibirnya yang berwarna alami kemerahan.

Dalam sekejap ia sadar bahwa pria itu adalah Ritz, namun ia tidak bisa menolak aura maskulin yang di miliki oleh Ritz, hingga ia terpesona.

" Menikmati pemandangan yang ada dihadapanmu nona? " tanya Ritz sambil menyeringai sinis.

Pertanyaan Ritz menyentak Louise, hingga membawa kembali pikirannya yang barusan melayang entah kemana.

" Apa yang kau inginkan?! Kenapa tidak kau akhiri saja hidupku secepatnya! seperti yang kau lakukan terhadap teman - temanku! " ucap Louisa dengan sinis.

Hatinya dipenuhi oleh kebencian terhadap Ritz, karena pria ini dia tidak tahu siapa pelaku penembakan terhadap ayahnya. Dan karena pria ini juga dia harus kehilangan teman - teman teamnya.

Apa yang diinginkannya? Hingga pria ini masih mempertahankan hidupnya. Rasanya ia ingin membunuh orang tersebut untuk pertama kalinya.

" Kematian! Itu terlalu mudah untukmu! Aku lebih senang melihatmu berada diantara hidup dan mati untuk menyaksikan orang - orang yang kau sayangi mati ditanganku satu - persatu! " jawab Ritz menatap Louisa dengan tajam sambil menyeringai sinis.

" Cuih! Bastard!! " teriak Louise sambil meludahi wajah tampan Ritz.

Melihat perbuatan Louise, orang - orang yang berada di ruangan itu mulai menahan nafas ketakutkan. Reflek Ritz langsung mencengkeram rahang Louis dengan kasar. Aura membunuh meliputi ruangan tersebut membuat pasokan oksigen menipis. Dan mata kecokelatan itu menyipit seolah menghina Louis. Cengkraman itu semakin mengetat hingga Louis meringis kesakitan, namun Ritz tidak sedikitpun mengurangi tekanannya malah semakin mengencangkannya karena ingin meremukkan wajah cantik milik Louise.

" Kita lihat saja sampai kapan kau akan terus sombong seperti ini!! Aku menantikan kau memohon dibawah kakiku jalang!! " desis Ritz sambil menghempaskan dengan kasar wajah Louis, lalu beranjak meninggalkan ruangan itu dengan diikuti yang lainnya.

Sepeninggalnya Ritz, Louise hanya bisa menangis frustrasi. Ia tidak tahu apa yang akan terjadi esok, di dalam lubuk hatinya ia merasa menggigil ketakutan yang amat sangat luar biasa saat bertemu dengan mata kecokelatan itu.

Louise sadar karena keteledorannya ia berakhir seperti ini, andai saja ia mau mempertimbangkan nasihat Zic dan teamnya mungkin saat ini mereka masih hidup.

" Dad, Aku merindukanmu.. " bisik Louis sambil terisak perlahan hingga tanpa disadarinya ia terlelap karena kelelahan karena kebanyakan menangis. Hati kecilnya berharap bahwa semua yang dialaminya saat ini hanya mimpi belaka.

Tidak bosen - bosen mengingatkan, jangan lupa tinggalin jejaknya yaa.. ps nya jg boleh


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C17
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login