Download App

Chapter 2: Kau Sungguh Sial

"Nona Aurora Marry Jhonson!" Seorang wanita memanggil nama Aurora di depan pintu ruang interview.

Aurora bangkit dari duduknya. Napasnya tertahan, sangat gugup. Tak hanya itu, jantungnya ikut berdebar tak karuan. Walau insiden tadi pagi sempat membuatnya berantakan, Aurora cepat-cepat melupakannya. Urusan dengan pria bernama Ben adalah nomor ke sekian kali untuknya saat ini.

Aurora membetulkan blazer coklatnya yang sedikit berantakan. Dengan cepat, tak lupa merapikan rambut kusut akibat terjangan angin pagi saat ia berlarian menuju halte.

Langkah stiletto setinggi tiga sentimeter terdengar mengetuk teratur saat Aurora melangkahkan kakinya ke dalam ruangan. Sekitar sepuluh orang wanita yang akan bersaing dengannya tampak duduk berjajar, berhadapan dengan tiga orang berpakaian resmi. Dua orang pria dan satu orang wanita, yang Aurora yakini adalah Nona Magdalena. Wanita yang kemarin meneleponnya untuk datang pada sesi wawancara.

Aurora mendudukkan tubuh di salah satu kursi. Dia sudah menuliskan data pribadinya sebelum masuk ke dalam ruangan. Matanya melirik ke arah kanan dan kiri. Ada perasaan sedikit minder di hatinya melihat lima orang gadis yang sudah bermake up sangat cantik dan empat pria tampan di sana. Tampak sekali jika mereka berusaha menarik perhatian para interviewer dengan penampilan terbaiknya.

Bagaimana ini? Aku seperti berada di tengah-tengah para wanita cantik. Ah ... andai aku bisa make up, tentunya wajah pas-pasan ku ini bisa kututupi dengan keterampilanku, keluh Aurora di dalam hati.

Tiba-tiba pintu ruangan wawancara itu terbuka. Seorang pria berjas coklat tanpa ragu masuk ke dalam ruangan. Aurora menengok ke belakang. Secepat kilat matanya membulat terkejut. Pria itu adalah Ben!

Cepat-cepat gadis itu menunduk. Tidak ingin pria itu menyadari dirinya berada di dalamnya. Teringat bagaimana insiden pagi yang membuat ia merasa sangat malu.

Bagaimana tidak? Aurora yang ceroboh dan seorang pengangguran sejati selama tiga bulan tidak membawa uang sepeser pun. Bahkan saldo dalam ATM-nya pun kosong. Uang yang semalam diberikan bibinya ternyata tertinggal di atas meja kamar. Dan pada akhirnya Ben yang membayar semua ongkos taksi dengan wajah menekuk kesal.

Aurora mengangkat kepalanya perlahan. Ia mengagumi penampilan Ben yang benar-benar sangat berbeda. Terlihat berkarisma mengenakan jas mahalnya dan sepatu pantofel berwarna senada. Langkahnya yang gagah dan elegan membuat Aurora tidak mengedipkan matanya sama sekali.

Di halte, pria itu hanya memakai kemeja tanpa jas coklatnya. Dan kali ini, wanita itu hanya sanggup bergumam dalam hati.

Semesta, apa melihat pria tampan sebanyak dua kali adalah rezekiku pagi ini?

"Ben, ada apa ke sini?" tanya salah seorang pewawancara. Dari name tag tertulis nama Brandon.

"Brandon, sepertinya aku harus ikut dalam sesi wawancara pagi ini. Aku tak bisa menunggu kalian selesai, baru ikut mewawancarai. Aku rasa, aku harus memilih sendiri timku," ucap Ben mengangkat sebelah alisnya.

Brandon menoleh ke arah Magdalena yang berada di sampingnya. Sebagai pimpinan bagian HRD, Magdalena pun mempersilakan Ben untuk bergabung.

Brandon bangkit berdiri, membawakan satu buah kursi lagi dan menaruhnya di pinggir ruangan dekat dengan jendela. Ben pun duduk di sana dengan tangan terlipat memperhatikan setiap orang yang hadir.

Ben mengernyit saat melihat Aurora duduk di antara para pelamar. Gadis itu memandangnya tanpa berkedip karena terpesona oleh wajahnya yang tampan. Ketika kedua mata mereka saling bertemu, Aurora sontak menunduk kembali.

Apa dia yang akan menginterviewku hari ini? batin Aurora bertanya. Jantungnya baru saja kembali berdetak tidak beraturan. Entah kegugupan apa yang menghampirinya saat ini.

Ben memang sangat tampan. Hal itu tidak bisa dipungkiri ketika Aurora menoleh ke kanan dan kirinya. Keempat pelamar ikut mengarahkan pandangannya ke arah Ben seperti matahari yang menjadi pusat dari galaksi bimasakti.

Seolah terbiasa dengan pandangan seperti itu, Ben makin menajamkan pandangannya, terfokus pada Aurora yang membuatnya rugi dua kali. Berbagi taksi dan membayar ongkosnya. Tanpa sadar, Ben termenung teringat kembali kejadian yang membuatnya muak.

Taksi berwarna kuning kota London itu berhenti tepat di depan lobi Diamond Smith Company. Ben menoleh gadis yang duduk di sampingnya. Pria itu menatap dengan pandangan sedikit jijik saat gadis itu merogoh tote bag yang ia bawa, lalu mengeluarkan sebuah dompet kumal dari dalam sana. Terlihat beberapa noda hitam pada dompet itu.

"Ketemu!" Aurora mengayunkan dompetnya ke arah Ben. Secepat kilat Ben menarik wajah menjauh dengan pandangan yang tidak berubah sama sekali.

Aurora yang cuek tidak memedulikan pandangan itu. Dia membuka dompetnya. Tiba-tiba terdiam begitu saat melihat isi dompetnya. Wajah pucat beserta keringat sebesar biji jagung tiba-tiba muncul di wajahnya.

"Ada apa?" tanya Ben yang yang bingung dengan perubahan wajah Aurora.

Aurora menyengir memperlihatkan barisan giginya yang rapi. "Saya tidak membawa uang."

"Cih! Gadis miskin berlagak naik taksi!" Ben mengambil dua lembar uang lagi dari dalam dompetnya lalu memberikan semuanya pada sopir taksi, "ambil saja kembaliannya."

"Ben!"

Suara seorang pria membuat Ben tersentak kaget. Ia menoleh ke sampingnya. Brandon menarik sedetik senyumnya pada Ben.

"Kau sedang melamun, ya?" Brandon bertanya sambil mengetukkan bolpoinnya di atas meja.

"Tidak!" tegas Ben.

"Giliranmu memanggil." Brandon menunjuk Aurora dengan bolpoinnya.

Mata Ben seketika tertuju pada Aurora. Gadis yang membuatnya kesal pagi ini. Ben kemudian membaca berkas lamaran gadis itu.

"Aurora Marry Jhonson? Ehm, namanya sungguh tak asing. Entah mendengarnya di mana, tapi mengetahui nama itu membuat darahku mendidih seketika," ucap Ben pada dirinya sendiri.

"Apa, Ben?" Brandon sontak bertanya.

"Ah, tidak. Yang lain sajalah. Gadis itu belakangan."

Brandon mengangkat bahunya. Ia pun memanggil nama pelamar lain untuk Ben. Sementara Aurora berharap-harap cemas menunggu giliran.

Beberapa waktu kemudian, Aurora mendapat giliran. Ben tiba-tiba memanggil namanya. Pria itu menatap dingin wajah Aurora.

Sebuah senyuman rikuh terukir di wajah Aurora. Namun, Ben tidak membalas sama sekali. Dia malah menunduk berpura-pura membaca berkas lamaran Aurora kembali. Aurora bangkit dari duduknya berjalan dengan langkah kaku menghampiri tempat duduk tepat di depan meja Ben.

Tanpa mengangkat wajah sama sekali, Ben mulai bertanya pada Aurora, "Nama Anda Aurora Marry Jhonson?"

"Ya, Tuan Ben." Aurora mengangguk kaku.

"Aneh! Sudah mengenal saya, padahal saya belum memperkenalkan diri," ucapnya sinis. Ben kemudian mengangkat wajah. Sorot matanya tajam seakan ingin menguliti Aurora saat itu juga.

"I-itu, me-mengenai kejadian tadi pagi, saya sungguh minta maaf, Tuan Amancio. Saya telah lancang memanggil dengan nama depan Anda." Aurora menyahut dengan terbata.

"Oh, ternyata sudah tahu ya, kalau sikap Anda tidak sopan sama sekali pada pria asing yang tidak dikenal sebelumnya."

"I-iya. Saya sungguh minta maaf," ujar Aurora dengan pandangan memohon.

Ben hanya bergeming dengan tatapan yang begitu meremehkan. Dia menyeringai miring terlihat puas Aurora mengakui salah satu kesalahan yang ia lakukan kepadanya.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login