Download App
80.39% Wedding Doll

Chapter 41: 41

Happy Reading and

Bodoh sekali jika Luna mengira kotak P3K bisa jadi bantuan pertama. Alhasil yang bisa dilakukan hanya menekan luka Allard agar darahnya berhenti mengalir. Sementara tubuhnya bergetar menunggu kehadiran pelayan.

Seisi kastil heboh, tangan kanan Allard yang—ia tidak tahu siapa namanya itu, langsung membawa Allard ke rumah sakit. Seharusnya Luna menunggu, tapi tanpa sadar kakinya ikut melangkah ke limusin yang membawa kepergian Allard.

Dan sekarang dirinya disini, duduk seperti orang bodoh di ruang tunggu dengan wajah pucat. Biarkan ia menyesalinya nanti, sekarang yang terpenting mengetahui Allard masih hidup.

Orang kepercayaan Allard berada di sebelahnya, duduk menunduk dengan dahi berkerut. Sejak tadi mereka duduk dalam diam, hingga Bodyguard Allard memecah keheningan dengan perkataan sinis.

"Mengapa Anda berada di sini, Nona? Seharusnya Anda tetap berada di kastil mengingat inilah yang Anda tunggu."

Luna berpaling, wajahnya yang pucat tampak tersinggung. Para pelayan dan tangan kanan Allard pasti mengira dirinya yang menusukkan gunting itu ke jantung Allard. Memang ia yang menusukkannya, tapi bukan atas kemauannya.

Oke, mungkin dirinya yang membunuh Allard tapi pria itu sendirilah yang melancarkan aksinya. Tidak ada gunanya menceritakan kejadian sesungguhnya pada tangan kanan Allard dan siapapun tentang kejadian yang sesungguhnya.

Mereka tidak akan pernah percaya orang seperti Allard yang selalu tegak dan percaya diri mempunyai keinginan untuk mengakhiri hidupnya.

Setelah berdiam cukup lama akhirnya Luna memutuskan untuk menjawab.

"Aku hanya ingin memastikan dia benar-benar mati."

Tubuh bodyguard Allard itu menegang, wajahnya tampak kaku.

"Nona, meskipun sekarang Anda istri tuan saya, tetapi jika tuan saya tidak bisa diselamatkan maka maaf, saya juga harus membunuh Anda."

Entah mengapa ancaman itu membuat tubuhnya mendingin dan … marah. Luna bersiap ingin melontarkan jawaban pedasnya, tapi suara langkah kaki yang tergesa menghampiri tempat mereka berada.

Wajah Arthur tampak panik.

"Bagaimana keadaannya sekarang, Grey?"

Grey—yang ternyata nama tangan kanan Allard itu mengangkat kedua bahu dengan muram.

"Saya harap baik-baik saja, masih menunggu kabar dari dokter."

"Luna kau disini juga?"

Pertanyaan Arthur seolah-olah lelaki itu baru menyadari kehadirannya. Luna hanya tersenyum tipis lalu menggeser tubuhnya untuk mempersilahkan Arthur duduk di sebelahnya.

"Kau percaya bukan aku yang menusuknya?" Ia berbisik pelan ketika Arthur memilih duduk di sampingnya.

Alis Arthur terangkat sebelah, ekspresi wajahnya terkejut. "Kau yang menusuknya?" tanyanya cepat.

Luna langsung menggeleng. "Bukan, tapi dia yang menusuk dirinya sendiri melalui tanganku."

"Bagaimana bisa dia menusuk dirinya sendiri melalui tanganmu?"

Luna meremas kedua tangannya gugup. "Oh, baiklah. Aku berniat membunuhnya, tapi … tapi aku tidak bisa. Dan akhirnya dia menggenggam tanganku lalu mengarahkan ke tubuhnya sendiri."

Melihat wajah Arthur yang masih tidak berubah, Luna menggigit bibir bawahnya pelan.

"Itulah yang sebenarnya terjadi, dia mabuk berat karena kekasih gaynya itu!"

"Kekasih gay?''

Luna memejamkan matanya. Berharap Arthur tidak berpura-pura bodoh dengan menutup-nutupi kelainan seksual Allard.

"Aku tidak perlu memberitahumu lebih jauh, kurasa kau sudah tahu sejak lama. Aku hanya ingin bilang jika pada akhirnya Allard mati bukan aku yang membuhnya. Aku ingin kau membelaku karena kau teman dekatnya. Mereka akan mempercayaimu."

"Mereka siapa?"

"Pelayan dan seluruh bodyguard Allard, mereka menuduhku!"

Arthur mengangguk-anggukkan kepalanya dengan sikap menyebalkan. "Baiklah, aku akan menutupi kejahatanmu." Ia terdiam sejenak, "tapi apa untungnya bagiku? Jika ada bayaran yang setimpal mungkin aku mau mempertimbangkan untuk bekerjasama."

Luna menelan ludahnya gugup. Ia tidak punya apapun, keluarganya dibunuh dan mereka mati dalam keadaan miskin. Tidak mungkin ada harta yang tersisa atau surat wasiat yang menghasilkan banyak uang untuknya.

"Kau mau berapa?"

Kedua mata Arthur tampak berbinar. "Mungkin $100jt cukup."

Luna membasahi bibirnya. "$100jt?!"

"Aku harus menutupi kejahatan seorang pembunuh dan mengelabui banyak orang agar mereka semua percaya Allard bunuh diri—meskipun itu mustahil. Jika kebohonganku terbongkar semua kesalahan akan tertimpa padaku, dan kau bisa bebas," ia berbisik, "aku tidak akan menyinggung namamu sedikitpun."

Grey yang saat itu mendengar percakapan mereka hanya bisa melihat wajah Arthur dengan pandangan seolah-olah dia sudah gila. Jika tidak mengingat Arthur teman dekat tuannya mungkin saat ini mereka bergelut di lantai.

Pintu yang mereka tunggu-tunggu akhirnya terbuka, Dokter Arnold keluar dengan raut wajah tenang. Itu pertanda yang baik, bukan?

"Bagaimana keadaannya?" Arthur yang pertama kali mengajukan pertanyaan.

"Tidak ada luka serius. Tusukan di jantungnya tidak terlalu dalam dan mungkin jika tidak mabuk Tuan Allard tidak akan pingsan."

Dokter Arnold terkekeh. "Sebenarnya itu tidak bisa dibilang pingsan, Tuan Allard hanya tertidur akibat pengaruh alkohol yang terlalu banyak."

Seketika tubuh Luna melemas, dibanjiri perasaan lega. Arthur juga tampak menghela napas sebelum wajahnya berubah kesal. Setelah mengucapkan terima kasih pada Dokter Arnold, lelaki itu berpaling ke arah Grey.

"Aku tidak percaya kau membesarkan masalah ini, Grey."

Grey berdehem salah tingkah. "Bukan saya," katanya kalem, "Nona Luna yang terlalu membesarkannya. Dia berteriak Tuan Allard kritis dan berada di ambang kematian—"

"Dan kau percaya begitu saja?" potong Arthur sinis.

"Saya tidak punya pilihan." Grey mengangkat kedua bahunya ringan. " Saya lihat kemeja tuan dilumuri darah."

Luna menatap Arthur dan Grey bergantian. Terserah kedua lelaki itu ingin berdebat tentang apa, yang terpenting Allard masih hidup dan ia tidak perlu … mengeluarkan uang untuk membayar Arthur agar bisa menutupi kesalahannya.

Tadi sebelum pergi Dokter Arnold sempat berkata bahwa Allard hanya tertidur, dan akan terbangun jika saatnya tiba dengan keadaan pusing. Luna bertanya-tanya apakah ia harus masuk dan menunggu hingga lelaki itu sadar atau memilih puang ke kastil.

Pulang adalah pilihan yang tepat, tapi entah mengapa itu terasa tidak wajar.

"Aku akan melihat dan menunggu Allard hingga sadar." Ucapannya yang tampak sederhana itu menghentikan perdebatan diantara Arthur dan juga Grey. Kedua lelaki itu menoleh ke arahnya secara bersamaan.

"Saya rasa itu bukan ide yang bagus, Nona." Grey langsung mencegah.

"Meskipun statusmu adalah istri Allard, aku tetap tidak bisa mempercayakan dia padamu. Kau bisa membunuhnya setelah tahu usahamu tidak berhasil." Arthur menimpali.

Tanpa sadar Luna berdecak. Marah kepada dirinya sendiri karena telah melembutkan hatinya pada musuhnya sendiri.

"Saya yang akan menunggu sampai tuan bangun. Saya bisa meminta supir agar mengantar Anda untuk beristirahat, Nona. Lagipula, Anda baru saja mengalami hal yang sulit, mengingat kegemaran Anda lompat dari balkon untuk berenang."

Saat itu Luna semakin sadar, ternyata mulut bodyguard Allard ini setajam mulut tuannya. Dengan kesal ia mengetapkan bibirnya hingga membentuk satu garis tipis.

"Terima kasih, tapi aku akan pulang sendiri."

"Tidak bisa, Nona. Tuan Allard akan membunuh saya jika mengizinkan Anda pulang sendiri. Baiklah saya yang akan mengantar Anda, sementara Tuan Arthur yang akan berada disini hingga saya kembali."

"Tidak!" potong Arthur cepat. "Aku mulai pusing dengan keadaan ini, sebaiknya kalian berdua bersikap normal dan waras. Allard hanya mabuk dan itu sudah biasa, bukan masalah serius. Jangan memperlakukannya seperti bayi rapuh yang butuh perlindungan. Grey, sebaiknya kau antar Luna pulang, biarkan bawahanmu yang berjaga disini. Dan tentunya aku juga akan pulang."

Arthur terdiam, melirik pintu tempat Allard tertidur. "Aku tidak tahu apa yang akan dia pikirkan setelah sadar dan mendapati kalian berlomba-lomba menjaganya sampai ia terbangun. Harga dirinya yang tinggi itu mungkin akan rusak."

Senyum keji terukir di bibir Arthur, seolah pemikiran harga diri Alard yang rusak itu adalah sesuatu yang bagus.

"Anda benar, Tuan. Mari, Nona" Grey merentangkan tangannya untuk mempersilahkan Luna jalan terlebih dahulu.

Luna mengangguk patuh, tapi sebelum ia benar-benar melangkah Arthur menahan lengannya.

"Kuharap beberapa waktu kedepan kau bisa melembutkan sikapmu pada Allard."

Luna menghempaskan lengannya hingga membuat tangan Arthur terlepas. "Melembutkan katamu? Seharusnya dialah yang melembutkan sikapnya padaku!"

"Baiklah … baiklah, kuharap untuk beberapa waktu kedepan kau tidak memancing amarahnya, atau untuk sementara menghilangkan permusuhan yang ada diantara kalian."

"Aku tidak bisa." Ia bersikeras. Melihat Allard berada di rumah sakit tidak membuat niatnya untuk balas dendam pada lelaki itu sirna. Lagipula Allard hanya pingsan, tidak ada luka serius.

Arthur menghela napas. "Aku memohon sebagai temannya—walaupun sebenarnya aku tidak mau menjadi temannya. Dia mengalami hal yang sulit, bukan tentang kekasih gaynya seperti yang berada di pikiranmu itu, tetapi karena keluarganya."

Arthur mendekat, ekspresi wajahnya tampak serius dan dingin. "Bukan kau satu-satunya yang merasa tersakiti karena keluargamu, Luna. Meskipun aku ingin sekali mengatakan semuanya padamu, tapi aku menahannya. Biar Allard saja yang akan menjelaskan kebenarannya."

Mungkin Arthur berniat memberinya nasihat, tapi entah mengapa nasihat itu malah membuatnya marah.

"Ada masalah di keluarganya itu bukan urusanku. Itu malah menunjukkan bahwa karma mendatanginya karena telah membunuh kedua orangtuaku."

Arthur mencengkram kedua bahunya. "Kau tidak mengerti, Luna. Mereka bukan orangtua kandungmu.''

"Allard juga pernah mengatakannya. Meskipun begitu, tidak bisa membenarkan perbuatan Allard yang telah membunuh mereka." Ia menghempaskan tangan Arthur yang berada di bahunya.

"Sudah kukatakan bahwa masalah yang menyangkut keluarga Allard adalah karma, sementara yang terjadi pada keluargaku adalah musibah."

Tawa sinis meluncur dari bibir Arthur. "Aku sudah tidak bisa menahannya lagi. Baiklah, Luna, akan kukasih tahu rahasia besar. Allard adalah kakak kandungmu. Ya, kau adalah adik kandungnya yang diculik ayahmu. Kenapa ayahmu menculikmu? Sebab, ayah yang kau anggap baik itulah yang membunuh ayah kandungmu."

"Tidak masuk akal!" Luna menjerit, wajahnya berubah pucat.

"Begitulah hidup. Jangan menutup matamu untuk kebenaran, Luna. Kau harus telan kenyataan pahit ini. Jika kau tak percaya, silahkan tes DNA pada kakakmu."

Ini informasi yang sangat besar dan sulit diterima. Membuat kepala Luna dipenuhi sengatan mematikan yang terasa berdenyut. Tiba-tiba saja ia merasa mual, dan pandangannya berkunang. Wajah Arthur serasa berbayang. Seharusnya Luna bisa menahan diri, nyatanya saat itu juga ia terjatuh tidak sadarakan diri.

Bersambung...

Halo👋 cerita Arthur sudah tersedia di wattpad dengan judul Slave Bird ya. Bagi yang mau kepoin cerita orangtua Arthur juga bisa baca di Innovel/Dreame dengan judul Clara Prison.

Ngomong-ngomong Wedding Doll sudah tersedia di aplikasi Play book. So, yang penasaran sama kelanjutannya bisa langsung beli ya. 🙂

Yuk intip juga instagramku bagi yang mau liat visual Allard dan Luna: Mesir_Kuno8181


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C41
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login