Aku terjaga, saat merasakan embusan angin dan rasa hangat menerpa wajah. Seperti ... desah napas.
"Morning!" Sosok itu berdiri di samping ranjang.
Aku yang masih mengantuk, hanya sanggup memincingkan mata. Setelah beberapa kali mengerjap, lalu mengucek kedua mata. Untuk memastikan, jika apa yang kudengar sama dengan apa yang kulihat.
Nyatanya, benar! Sedikit kaget menyadari dia ada di kamarku.
Jangan-jangan, tadi dia hampir menciumku sewaktu tidur?
Ciih, kenapa harus mencuri waktu selagi tidur. Kenapa tidak saat kedua mataku ini terbuka lebar?
Ingin marah, tapi takut disangka GR. Sudahlah, lupakan. Mungkin itu hanya perasaanku saja. Tidak baik berkhayal di saat baru bangun, halusinasinya bisa sampai sore. Mungkin ada nyamuk di wajahku, dan dia ingin melihat apakah itu nyamuk jantan atau betina? Hmm, masuk akal.
Akhirnya aku bangkit, menyandarkan punggung pada tumpukan bantal. "Bukannya semalam pulang?" tanyaku bernada cuek.
Zay berdehem dengan raut wajah yang menurutku terlihat gugup, lalu duduk di tepi ranjang. "Ya, dan kamu tau. Aneh rasanya tidur di kamar sendirian, sementara biasanya kulihat ada seseorang yang selalu terlelap di ranjangku," ujarnya dengan satu tangan mengusap tengkuk leher beberapa kali.
Aku berdecih, mendengar kata-katanya yang menurutku masuk ke dalam golongan gombal tingkat dewa.
Ya, sesungguhnya aku masih kesal. Gara-gara insiden yang dia perbuat, yaitu mencari tahu soal hobiku. Akhirnya aku meminta menginap di rumah Mama. Sementara dia memilih pulang ke rumah orang tuanya.
Jujur, padahal aku pun sama merasa aneh. Asing rasanya, kembali menghuni kamar yang sudah berbulan-bulan aku tinggalkan. Nyaris aku kesulitan tidur, saat menyadari keteledoranku.
Ini semua, gara-gara keluargaku! Aku yang jadi serba salah.
"Pasti hari ini jadi hari kemerdekaan kamu, bisa tidur sampai jam sepuluh," sindirnya diakhiri senyum miring.
"Ini udah biasa dulu, hanya setelah menikah denganmu, kebebasanku terenggut!" kilahku sebal.
Zay terkekeh, dengan kepala menggeleng beberapa kali.
Sinar mentari yang menembus kaca jendela, sedikit memberi silau pada wajahnya.
Itu, terlihat ... indah.
Kadang merasa tak percaya, jika lelaki yang setiap pagi kulihat ini, adalah suamiku.
Zay mengulum bibir bagian bawahnya, masih dengan senyum kecil. Sedetik kemudian, dia mengalihkan pandangan. Iris matanya tampak bersih, memesona, dan mengandung sihir. Bagiku.
Aku arahkan bola mata ke jendela. Kenapa selalu merasa malu saat bertemu pandang dengannya?
"Alena ...," panggilnya pelan.
"Hmm."
"Sebagai permohonan maaf, aku mau ajak kamu jalan-jalan. Uum, itung-itung liburan." Kedua sudut bibirnya melengkung ke atas.
Rasanya, aku yang salah. Lalu kenapa dia yang meminta maaf?
"Ke mana?" Aku bertanya masih dengan suara serak khas bangun tidur.
"Surprise!" Sebelah matanya mengedip.
Aku angkat kedua alis, sebagai pertanda kaget. Sementara itu, sisi baik dan sisi jahat mulai berdebat.
Tolak atau terima?
Tolak saja. Toh, dia sudah membuatmu kesal semalaman, tapi ... kenapa rasanya tak tega. Kulirik dia yang masih duduk dengan raut menunggu.
Oh, Tuhan. Aku harus bagaimana? Pesona di depanku terlalu sulit kutolak. Sama seperti dulu, saat dia memintaku menikah.
Setelah kuhempas sisi jahatku, dan mulai berpikir sebagai Alena yang baik hati dan tidak sombong. Baiklah, boleh juga. Sepertinya aku memang butuh piknik. Sejak menikah dengannya, hari-hari yang kulewati nyaris membuat emosi naik turun. Sekalinya hiburan, paling dengan Jihan.
Fix, aku butuh refreshing!
Aku mengangguk, lalu turun dari ranjang. "Ya sudah, aku mandi dulu." Aku berusaha terlihat tak acuh.
"Mmm," sahutnya singkat.
"Kamu enggak tunggu di luar, gitu?"
"Kenapa harus di luar?"
Spontan aku berbalik kembali. "Ini kamarku!"
"Memang aku pernah mengusirmu dari kamarku?"
"Memang kamu mau ngapain nunggu di sini?" Aku mulai kesal.
Zay malah membaringkan tubuhnya. "Nunggu istriku mandi."
Hah, what the ...?!
"Kamu mau ngintip aku?" Aku berkacak pinggang di depannya.
"Apa yang harus diintip? Aku sudah tau semuanya," sahutnya santai.
Ish, lihatlah dia?
Belum lima menit lalu dia menjadi sosok yang bijak dan berwibawa, dan sekarang dia sudah kembali kepada sifat alaminya, menyebalkan.
"Wah, kamu pasti pernah intipin aku?" Aku melangkah semakin dekat.
"Suruh siapa mandi tanpa mengunci pintu." Seringaian iblis menghiasi wajah kalemnya.
Apa?! Ini kesalahan fatal. Bagaimana bisa aku seceroboh itu, membiarkan dia melihat tubuh ini, kapan dia mengintipku?
Tidak adil! Aku saja belum pernah melihatnya telanjang. Ups!
Zay bangun, duduk menatapku. "Alena, semalaman aku berpikir. Kalau kamu memang bukan seorang dancer atau penari tradisional ... jangan-jangan, kamu penari erotis?"
Zay terjengkang.
Sebuah bantal melayang tepat mengenai wajahnya.
Rasakan! Pikiran macam apa itu?
***
Aku duduk menikmati perjalanan sambil memainkan layar ipad. Sesekali Zay berdehem, bergumam tak jelas, bahkan sampai terbatuk-batuk. Kuabaikan saja, malas menanggapi.
Bukan apa-apa. Terkadang menanggapi perhatiannya itu membuatku salah tingkah, lalu hati berdebar, dan akhirnya malu sendiri.
Ditambah lagi, otakku masih dipenuhi tentang kejadian semalam. Kenapa dia berusaha meminta izin pada Papa soal sanggar tari, yang sebenarnya hanya bualan keluargaku?
Namun, walaupun begitu menurutku ini bukan sepenuhnya salah Zay. Wajar dia mencari tahu soal fakta apa yang tersimpan di balik kenyataan bahwa aku adalah perempuan bermasalah yang berusaha dia tangani sebaik mungkin, agar bisa menunaikan janjinya untuk membuatku lulus sarjana.
Aku edarkan pandangan ke luar jendela saat mobil terasa berhenti. "Udah sampai?"
"See, kita berhenti di mesjid," ucapnya sambil melepas seatbelt. Zay pun turun dari mobil. "Ayo, salat zuhur dulu. Baru cari makan." Wajahnya muncul di samping jendela.
Kuanggukkan kepala sebagai tanda setuju.
.
Setelah keluar dari mesjid, kami mencari menu makan siang. Kebetulan ada beberapa pedagang asongan juga kios yang berjajar di tepian parkiran mesjid.
"Makan apa?"
"Terserah," sahutku tak acuh.
"Makan hati?"
Aku menolehnya dengan memiringkan bibir, tapi dia hanya tertawa.
Kami pun memilih menu makan siang berupa jajanan etnis untuk semua kalangan, siomay.
Aku duduk menunggu di bangku, Zay yang memesan.
"Mau ke mana sebenernya, sih?" tanyaku saat dia duduk.
"Nanti kamu tau," jawabnya singkat.
Aku hanya mendengkus.
"Silakan, A ... Teh!" Amang tukang siomay memberikan piring di tangannya.
"Pare semua?" Aku terbelalak melihat isi piring Zay.
"Mmm, aku suka," ujarnya sambil mengaduk isi piring.
"Enggak pahit?"
Zay menghentikan gerakan tangan, lalu menatapku. "Aku sudah biasa mengalami pahitnya kehidupan, rasa pare ini bukan apa-apa bagiku."
"Aneh!" tukasku sambil membuang pandang.
Zay tertawa. "Ayo, makan!"
Kualihkan kedua mata, mencuri pandang ke arah wajahnya yang sedang asyik menyantap siomay.
Aneh, memang aneh!
Selama enam bulan menjadi pasangan suami istri, ada beberapa perubahan yang terjadi padanya.
Kenapa aku merasa, akhir-akhir ini dia seperti berusaha mendekatiku?
Diawali dengan mengajakku ke studio fotonya dan mencari tahu masa laluku. Sekarang, sengaja mengajak liburan. Ada apa?
Ah, sudahlah. Aku tak mau terlalu peduli, sejak awal menikah aku sudah merasa kecewa. Rasanya itu cukup menahanku untuk menumbuhkan terlalu banyak rasa padanya.
.
"Kebun teh?" Aku bertanya selepas turun dari mobil.
"Kenapa? Enggak suka?" Zay mencantelkan kaca mata hitam di hidung bangirnya.
"Aku lebih suka pantai, lebih luas." Aku merentangkan tangan.
"Tapi pegunungan lebih asri, nyaman, sejuk. Udara segara bisa memberi--"
"Ini bukan waktunya memberikan materi. Kamu mau ngajak aku liburan, 'kan?"
"Of course, let's we will have fun!" Zay mengaitkan tas di lengan kanannya.
Hei, ternyata dia membawa kamera! Sejak kapan, kenapa aku tidak melihatnya?
Kami berjalan-jalan memandang keindahan alam. Dari kejauhan, tampak beberapa ibu sedang memetik pucuk daun teh sambil bercengkerama. Aku menghirup udara segar beraroma khas. Menikmati suara daun-daun teh yang bergemirisik tertiup angin, ditemani kicau burung di atas sana.
Kurasa aku mulai menyukai pegunungan. Menaiki dan menuruni bukit. Menikmati hamparan hijau yang sangat memanjakan mata. Bonusnya, sambil memerhatikan laki-laki yang sedang berjalan di depanku.
Semua tak dilewatkan Zay. Gerak tubuhnya terlihat sekali jika dia memang sering menggunakan kamera untuk mengabadikan pesona alam.
Ah, senang rasanya. Bisa melepas penat sehabis ujian kemarin, yang menurutku cukup membuat stres. Ditambah mempunyai guru les se-killer dosen tengil itu.
Zay berhenti di bawah pohon Mahoni. Aku pun menghentikan langkah, menyandarkan punggung pada batang pohon yang besarnya melebihi tubuhku.
Sedang dia masih asyik mengarahkan lensa ke berbagai sudut. Kutelusuri Zay dari kepala hingga kaki. Ya, kini aku sadar. Hari ini, aku bisa melihat lebih jelas apa yang berbeda darinya. Penampilannya yang terlihat santai ; celana jin, kaos berlapis kemeja tanpa dikancingkan, bahkan dia menggulung lengannya sampai siku. Sepatu kasual putih, dan jangan lupakan rambutnya yang sedikit acak-acakan tanpa pomade. Dengan kaca mata hitam yang dia naikkan ke atas kepala. Satu lagi, karakter dosen yang beralih menjadi fotografer.
Pantas, sejak tadi pagi melihat dia di kamar, aku merasa dia lebih memesona di banding biasanya. Jauh berbeda, tidak seperti kemarin-kemarin.
"Why?"
Astaga! Dia kembali memergokiku saat sedang asyik memandangnya.
"Enggak, aku hanya merasa kamu ... berbeda," dalihku sambil memalingkan wajah. Agak malu sebenarnya.
"Alena!"
Sinar blitz menyala dari kameranya.
"Oh, no! Kamu ...!" Sigap tanganku mencoba merebut kamera dari tangannya.
"Hey, what are you doing?" Secepat kilat Zay menyembunyikan kamera di belakang punggung.
"Sini!"
"Enggak!"
"Sini!"
"Kenapa?"
"Aku jelek!"
"Kata siapa?"
"Aku jelek!" rengekku semakin kencang.
"Kamu cantik!"
Jleb.
Kaku.
Seluruh urat di tubuhku sulit bergerak. Perlahan aku mendongkak, menatap wajahnya yang berada di atas mataku.
"Kamu cantik, istriku," bisiknya.
Demi Tuhan, kenapa rasanya segugup ini?
Aku menelan ludah, tak sanggup lagi berkata.
"Wajahmu memerah," lanjutnya setengah terkekeh.
Aku menjauh darinya, lalu menatapnya tajam. "Terserah!"
"Kenapa? Kamu malu." Zay memasukkan kamera ke dalam tasnya.
Aku berbalik segera, melipat tangan di dada.
"Alena, kenapa selalu malu saat aku memujimu?"
"Kamu hanya menggodaku, aku tau itu!" sergahku.
"Aku serius."
"Bohong!"
"Kamu lucu, kamu manis dan kamu cantik!"
"Kamu cuman mau bikin aku baper. Iya, 'kan?" bantahku lagi.
"Siapa bilang?"
"Aku!"
"Aku serius, Alena."
"Aku juga!" Aku berbalik dan berkacak pinggang. "Aku enggak pernah percaya sama kamu. Dosen tengil, galak, genit, sok pinter, sok ganteng, sok--"
Telunjuknya menempel di bibirku. "Cukup," ucapnya pelan.
Bibirku merapat seketika. Hening beberapa detik. Desau angin menyibak dedaunan di sekitar kami. Rambut Zay bergerak tertiup angin, pun rambutku. Dan dia lebih memilih menyibak helaian anak rambut yang menutup wajahku.
Oh, astaga. Mendadak aku merasa nervous!
"Alena, jika aku bertanya satu hal. Apakah kamu akan menjawabnya dengan jujur?" Zay menyelipkan rambutku ke belakang telinga.
"Apa?" tanyaku kaku.
"Do you love me?" Matanya kini menatap lurus.
Hah! Pertanyaan macam apa itu? Kini debar jantungku bertalu-talu. Bertambah kencang, semakin hebat.
Aku panik, gugup, takut. Ah, entahlah. Sulit kuungkapkan dengan kata. Hanya aku dan Tuhan yang tahu.
Kugerakkan bibir, tapi tak tahu harus berkata apa. "A-a ... aku ... aku ...." Akhirnya malah menggigit bibir.
"Boleh kuminta satu hal?"
Aku mengangguk.
"Belajarlah mencintaiku. Karena, aku sudah mulai mencintaimu."
Rasanya, seperti disambar petir di siang bolong. Oh, tidak. Itu perumpamaan yang kejam.
Rasanya seperti terjatuh dari ketinggian seratus meter, dan saat jatuh ... Zay memelukku.
Wait! Dia benar-benar memelukku.
"Apa maksudnya?" Aku bergumam, yang ternyata didengar olehnya.
"Apa pun itu, yang jelas ... I love you, Alena." Zay melepas pelukannya.
Lagi-lagi suasana kembali hening. Kali ini desau angin berlomba lebih kencang dengan detak jantung di dadaku. Tubuhku gemetar, saat wajahnya semakin mendekat.
"Semua yang aku katakan itu benar, Alena. Kamu lucu, manis, cantik. Dan aku ... mulai mencintaimu."
Perlahan, kaki ini mundur. Dengan tatapan yang tak lepas darinya, tapi dia malah ikut melangkah. Hingga akhirnya punggungku terbentur, menempel kembali pada pohon besar di belakang kami.
Dia mencekikku, dengan sorot matanya. Kali ini aku benar-benar tak bisa berkutik.
Refleks kupejamkan mata saat bulu matanya menyentuh pipiku.
Mati, semua logika seorang Alena mati seketika!
"Alena."
"Ya?"
"Siapa yang melepas kacamata dan menyimpan bukuku di setiap malam?"
Aku membuka mata.
Dia tersenyum.
Aku melotot, dan akhirnya ... itu terjadi.
Kusentuh bibir, mengusapnya pelan. Benarkah ini?
Saat menegakkan kepala, Zay malah berbalik membawa senyum di wajahnya. Dia memunggungiku dengan satu tangan menggaruk bagian belakang kepalanya.
Aku diam. Masih terkesima.
Ah, luruh sudah hatiku. Mudah-mudahan Zay tidak melihatnya.
*****
--bersambung--