Download App

Chapter 44: SI PENAGIH HUTANG DATANG LAGI

-POV Reza-

Sesampainya di kantor. Saya mengantar sampai basemant saja, tidak ikut masuk ke dalam.

"Pak Reza nggak masuk?" tanya Nayla saat melihat saya tetap duduk di dalam mobil.

Saya menggeleng, "Saya sedang ada urusan di luar."

Kalau saya ceritakan kebenarannya. Nanti Nayla akan merasa bersalah. Saya tidak mau dia menjadi sedih.

"Oh, sampai berapa hari, Pak?" tanyanya terdengar lemah.

Saya tersenyum. Ini merupakan tanda-tanda bahwa dia sudah merasakan hal berbeda. Ketidakhadiran saya di kantor, bisa jadi akan berdampak pada moodnya. Lihat saja, baru diberitahu saja tidak masuk kantor, wajahnya langsung berubah muram.

"Saya tidak tahu. Tapi, saya akan selalu ada untuk kamu."

Wajahnya bersemu merah jambu saat saya katakan hal tadi. Itu bukanlah semacam gombalan, saya tidak bisa menggombal.

Nayla tidak menyahut, ia hanya menunduk sambil tersenyum malu-malu, lalu keluar dari mobil.

"Nayla."

Saya menyusulnya, ada yang tertinggal.

Gadis itu lalu berbalik, ia menanti langkah saya mendekat.

"Ada yang tertinggal, Nayla."

Mata Nayla melebar, saat tangan saya menyentuh pipinya, lantas bibir ini terdorong begitu saja untuk singgah di keningnya.

Apa ini yang tertinggal? Saya jadi kaku sekali. Gadis bermata cantik itu masih menatap dengan matanya yang semakin melebar.

"Sa -sampai jumpa nanti sore. Saya akan jemput. Bye. Semangat bekerja ya. Fighting!"

Dengan cepat saya memutar badan, dan menghempaskan tubuh di dalam mobil. Nayla terlihat tak berkedip, dan masih mematung di sana. Hingga tak lama, Arka datang mengejutkan dan menarik tangannya untuk masuk bersama.

Ya Tuhan, kenapa degupnya masih begitu terasa? Dan kenapa bibir ini lancang sekali mencium keningnya?

Hah! Sukar untuk dipercaya, perbuatan saya sangat tidak terpuji.

Maafkan saya Nayla.

Saya pun akhirnya keluar lagi dari gedung itu. Mencoba memusatkan pikiran akan tujuan yang hendak saya lalui pagi ini. Tetapi, belum terlalu jauh dari lokasi gedung, saya seperti melihat dua pria yang selalu mengejar-ngejar Nayla.

Mereka pasti ingin memburu Nayla lagi. Seolah tidak sabar menunggu waktu satu bulan, yang hanya tinggal hitungan hari saja.

Benar-benar rentenir celaka.

Saya akhirnya kembali memutar. Dan jalan yang ditempuh, panjang sekali, apalagi harus menghadapi macet seperti ini. Padahal, gedung itu sangat dekat, kalau berlari bisa dicapai dalam waktu yang tak lebih dari delapan menit.

Pikiran saya langsung kacau. Nanti kalau mereka merusuh di kantor dan mengganggu Nayla, bagaimana?

Akhirnya, saya ketepikan saja mobil ini di jalan itu. Macet seperti ini pasti akan lama. Lihatlah, tidak ada yang mau mengalah. Saya lalu berlari menuju kantor, setelah menekan tombol kunci.

Dugaan saya tidak melesat. Ketika saya sampai di depan kantor, mereka tampaknya juga sedang melihat Nayla dari balik pintu kaca. Tampak akan menerobos, meski sudah dilarang petugas keamanan.

"Hallo. Maaf bicara dengan saya saja."

Dengan nafas yang masih memburu, saya menghentikan langkah mereka.

Penjaga keamanan kantor mengangguk, saat saya katakan demikian pada dua orang itu. Saya ajak dua rentenir itu untuk duduk di ruang tamu kantor.

Beberapa kali saya harus menahan nafas, karena mereka bau sekali. Seolah semua aroma busuk sudah tercampur di tubuh mereka. Reseptionis pun sampai menutup hidung beberapa kali. Seolah berharap, dua orang ini cepat pergi.

"Bagaimana ini, Bosku? Katanya mau bayar lunas hutang si kribo itu. Mana? Mana?"

Saya tidak tahu nama mereka, anggap saja si A dan Si B.

Yang tadi si A yang bicara, dengan ciri-ciri kumis tebal.

"Perjanjiannya kan satu bulan. Ini masih belum genap satu bulan. Saya pasti bayar."

Mereka seolah tidak percaya dengan apa yang saya ucapkan.

"Kami tidak terima janji-jani Heti Kus Endang, bayar aja lah sekarang. Capek tahu, main kejar-kejaran begini. Kalau si Bos ini nggak sanggup, biar kita urusan sama si Kribo lagi aja."

Ini si B yang bicara, ciri khas, cambang tebal di sekitar wajah. Saya sempat bingung dengan janji-janji Heti Kus Endang, apa maksudnya?

"Jangan, 'kan saya sudah bilang, yang akan bayar itu saya."

"Ya sudah, ayo bayar sekarang! Kami tunggu," kata si A.

Saya jadi bertambah pusing ini. Gaji 'kan belum masuk.

"Gimana? Lama banget mikirnya! Katanya Bos, masa uang tujuh belas juta aja lama banget mikirnya."

Si B menyahut.

Baiklah, dari pada mereka mengejar-ngejar Nayla terus, saya akan berhutang dulu pada kantor, sebab, saya tidak punya dana tunai sebanyak itu.

"Baiklah, bapak tunggu di sini ya, jangan kemana-mana."

Saya baru akan berdiri, tapi, saya ingat nominalnya.

"Tunggu dulu, bukankah nominalnya lima belas juta? Lantas kenapa bisa jadi tujuh belas juta saja. Dua juta lagi itu, apa?"

Mereka tersenyum jahat sambil menatap saya.

"Makanya kami tagih terus, biar denda dan bunganya tidak terus naik. Setiap kelipatan tujuh hari, bunga dan dendanya naik satu juta."

Si B menjelaskan. Membuat mata saya melotot.

"Apa? Ini saya tidak salah dengar 'kan?"

"Oh, tentu tidak. Sediakan saja sebanyak itu, dan si Kribo bebas merdeka."

Si A menjawab.

Ya Tuhan, rentenir ini luar biasa sekali mafianya. Terlambat satu minggu saja, naik satu juta rupiah.

"Ya sudah, tunggu sebentar."

Saya baru akan mendorong pintu kaca. Tetapi, mereka memanggil lagi.

"Apa nggak ada minum di sini? Kantor se besar dan se megah ini, pelit banget kasih minum."

Si B menggerutu. Dua resepsionis yang mendengar, menatap saya, lantas menelpon bagian dapur.

Sebelum tersambung, saya langsung menyambarnya. Jangan sampai mereka menyuruh Nayla yang membawakan minum untuk dua orang ini.

"Jangan suruh Nayla yang mengantarkan, yang satu lagi saja suruh ke depan. Ini perintah saya."

Resepsionis terkejut, ia lantas mengangguk sambil melihat aneh kepada saya.

Tapi, entah kenapa perasaan saya tetap tidak tenang, saya segera berlari ke arah dapur, memastikan bukan Nayla yang menerima telpon.

Langkah kaki saya terdengar cukup membuat orang-orang ini terkejut. Saya tahu, ada sebagian yang mengintip keluar.

Saya mendorong pintu dapur, dan melihat Nayla sedang bicara dengan Ovhie. Tumben sekali Wapemred satu ini masuk ke dalam dapur. Menurut penyelidikan saya, dia tipikal yang malas berjalan jauh, hobinya hanya bekerja dan diam di ruangan.

"Pa -Pak Reza."

Takut-takut Ovhie melihat saya yang datang lalu mendekati mereka dengan nafas memburu.

"Ada apa ini?"

Saya lihat Nayla tampak menunduk ketakutan! Saya menatap tajam pada Ovhie, jangan lakukan apapun pada Nayla saya, kalau tidak ingin bermasalah dengan saya.

***

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C44
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login