Download App
16.66% Hesitate

Chapter 2: Luna Sarasvantika

"Kak Lunaaaaaa.." Aku tersentak mendengar seruan dari balik pintu. Tanganku yang bergerak diatas buku terhenti seketika. Bibirku menyunggingkan senyuman ketika kembali mendengar seruan itu dengan lantang. "Ya sayang, kamu bisa langsung membukanya, kakak tidak mengunci pintunya." Sahutku dari dalam, tak lama aku mendengar pintu terbuka dan langkah kaki kecil yang mendekat. Aku tahu siapa yang baru saja datang, si kecil periang yang nakal. Umurnya baru enam tahun, penghuni kesayanganku di panti ini, sebenarnya aku sayang semua, tapi Zoe spesial.

"Ada apa?" Tanyaku saat merasakan pergerakan pada ranjangku, sepertinya Zoe tengah memanjat ranjang ini. Aku memindahkan buku yang baru saja kubaca di atas pangkuan berpindah ke sampingku lalu meraba tubuh Zoe untuk membantunya dengan mengangkatnya dan mendudukannya di atas pangkuan.

"Kakak! Uwi tadi dapat nilai A. Bu guyu kasih uwi es kim." Aku tersenyum mendengarnya. Zoe salah satu penyelamat diriku, maksudku benar-benar hidupku. Aku tidak bisa membayangkan hidup tanpa ada dirinya, Zoe memberikanku keceriaan, kehidupan yang kupikir tidak akan pernah datang kepadaku. Duniaku terlalu gelap, aku ketakutan hingga merasa mengakhiri hidup adalah jalan terbaik untukku.

Sampai saat aku benar-benar ingin melakukannya, suara tangis Zoe menyentakku dan menarikku kedalam kesadaran. Aku menemukan Zoe ditinggalkan seorang diri di depan pintu panti. Saat aku menggendongnya dalam pelukanku, aku bergetar. Tubuh kecilnya dan suara tangisnya seolah mengingatkanku bahwa banyak orang-orang yang membutuhkan pertolongan seperti diriku, aku berpikir jika memang pada akhirnya aku masih dibiarkan Tuhan untuk hidup maka inilah kesempatanku untuk menerima takdirku, aku dihidupkan untuk membantu orang-orang seperti Zoe. Dan kehadiran Zoe enam tahun lalu memberikanku cahaya. Zoe bagai lilin penerang hidupku. Aku sangat menyayanginya melebihi diriku sendiri.

"Kak! Kakak! Kakak dengal tidak sih?" Zoe menggoyang-goyangkan tubuhku, dia kesal karena aku diam melamun. Aku mencium pucak kepalanya gemas "Dengar sayang. Lalu mana es krimnya? Kakak tidak dibagi?" Tanyaku sembari mengusap kepala zoe. Aku hanya bercanda, Zoe sangat suka makanan manis yang dingin itu. Jadi tidak mungkin dia menyisakannya padaku, lagipula itu pasti sudah cair.

Tapi ternyata dugaanku salah dengan suara sendu Zoe menyerahkan sesuatu di tanganku. Terasa seperti plastik berisikan air. "Uwi ingin kasih ke kakak, Uwi tidak memakannya, jadi Uwi masukan kedalam tas. Tapi..." Suara Zoe tertahan, aku mulai mendengarnya menangis, Ya Tuhan anak ini..

"Es kimnya hilang... telus es kimnya belubah jadi ai kak.." Aku terkikik geli diselimuti rasa haru, niat baik anak ini sangat tersampaikan padaku, tapi bagaimana mungkin eskrim akan bertahan jika berada di suhu panas?

Aku mengusap-usap punggung kecilnya, menenangkannya bahwa itu bukan masalah besar. "Tidak apa-apa sayang, kakak menerima hadiahmu. Terimakasih banyak ya?" Aku merasakan Zoe mengangguk dalam pelukanku. Tapi tangisnya tak kunjung berhenti. "Terus kenapa lagi? Kok masih menangis?" Zoe menggeleng lemah membuatku bingung. Ah aku mengerti..

"Ayo, temani kakak, kita beli lagi yang baru?"

"Betulan?" Zoe berseru keras, aku terkekeh mendengarnya, dia sangat bersemangat.

"Hmm, sekarang bantu kakak, ambil tongkat kakak." Zoe memberikan tongkatku, sebenarnya aku sudah hafal seluk beluk rumah ini, tanpa menggunakannyapun aku bisa menuju kemanapun disini, beberapa kepekaan inderaku juga meningkat kala mata ini tak mampu melihat, pendengaranku menjadi lebih tajam, aku mampu mendengar suara yang kecil, tapi karena kami akan pergi ke luar, aku tetap membutuhkannya.

"Uwi mau eskim cup ya kak."

"Iya sayang, uwi mau berapa? Satu atau dua?" Zoe menggandengku dan menuntunku kedepan pintu. "Dua!! Satu buat uwi satu lagi buat kakak! Uwi tidak mau kasih yang lain. Nanti uang kakak habis! Stop! Putli Kakak diam saja, biar pangelan uwi yang buka." Aku kembali tertawa. Sekarang mengertikan kenapa aku sangat menyayanginya. Zoe melepaskan genggamannya. Namun aku segera menariknya kembali karena aku mendengar suara seseorang mendekat, dan benar saja tak lama pintu kamarku terbuka.

"Oh astaga!! Kakak kok di depan pintu? Bintang hampir menabrak kakak!"

"Kak Bintang ih gak hati-hati!"

"Bawel kamu."

"Kak Lunaa...." aku menghela nafas, Bintang dan Zoe memang tidak pernah akur. Bintang selalu mengerjai adik kecilnya, makanya dia selalu bertengkar dengan Zoe dan sangat suka membuatnya menangis. "Bintang.. kok begitu sama adiknya."

"Soalnya Uwi memang bawel kok."

"Enggak! Uwi gak bawey."

"Iya, tuh buktinya bibirnya lebar. Kata orangkan kalau bibirnya lebar sukanya menangis terus, seperti Uwi, sudah bawel, cengeng lagi. Nanti kalau doyan menangis, Ka Luna ninggalin Uwi loh."

"Enggak mau!!! Uwi gak cengeng.. kakak!!! Kak Bintang nakal." Kontras dengan ucapannya, zoe menangis menutup wajahnya di kakiku. Memeluk erat kakiku karena mendengar ucapan Bintang. Aku mendengar Bintang tertawa keras karena berhasil mengerjai Zoe. Sejujurnya aku juga ingin tertawa, tapi menangis seperti itu, aku jadi tidak tega.

"Loh kalian kok masih disini. Bintang tadi ibu menyuruh apa. Bu Dina sudah menunggu sejak tadi." Bu panti yang merawat kami sejak kecil tiba-tiba saja datang. Namanya bu Sarah tapi kami sudah menganggapnya sebagai ibu kami sendiri sehingga kami hanya memanggilnya ibu.

"Oiyah maaf bu, Bintang lupa!"

"Ini lagi kenapa Zoe nangis? Pasti kamu usilin adik kamu lagi ya?" Aku mendengar Bintang terkekeh sembari mengelak. "Enggak bu, uwi aja yang tukang nangis!"

"Ngggghhh enggaak!." Zoe semakin menangis kencang, aku hanya bisa tersenyum geli, mengusap pucak kepalanya. Omong-omong Mengingat ibu tadi menyerukan nama Bu Dina, aku mulai menengahi keduanya untuk berhenti, aku takut bu Dina semakin menunggu lama.

Dan disinilah aku sekarang duduk di ruang tamu panti bersama ibu, bu Dina dan Zoe dalam dekapanku. Bintang sudah kembali bermain dengan teman-temannya yang lain.

"Tante senang tiap kali lihat kamu Luna, sosok keibuan kamu kental sekali." Entah apakah hanya perasaanku saja, tapi suara ibu Dina terdengar sedih. Aku tersenyum sebelum menanggapi. "Berarti Luna seperti ibu-ibu doang ya?" Candaku seperti biasa, aku mendengar bu Dina sedikit tergelak.

"Pasti menyenangkan kalau punya mantu seperti kamu."

"Jangan ah bu, nanti malah menyusahkan saja." Kataku menanggapi perkataanya sembari tertawa, aku benar-benar merasa canggung dan beliau kali ini tidak tertawa, bu Dina tidak sungguh-sungguh mengatakannya kan?

"Enggak kok, ibu tidak merasa seperti itu."

"Tapikan Luna—"

"Tidak bisa melihat?" Aku kembali tersenyum saat bu Dina mengatakannya. "Iya." Terdengar helaan nafas keluar dari bu Dina. Lalu detik berikutnya aku mendengar ibu tengah menenangkan bu Dina yang menangis. Loh ada apa?

"Setidaknya kamu jauh lebih baik dari orang itu."

"Orang itu?" Aku semakin tidak mengerti kemana arah pembicaraan bu Dina, dan bermenit-menit yang lewat. Aku masih bungkam menunggu bu Dina menghentikan tangisannya. Setelah tangis bu Dina terhenti, beliau mulai meneceritakan alasan kenapa dia menangis, aku cukup terkejut dengan apa yang diceritakannya dan seakan belum cukup membuatku terkena serangan jantung permintaan Bu Dina kini yang membuatku ingin menangis.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login