Download App

Chapter 45: Chapter 44

"Zea tidak apa-apa. Tidak perlu khawatir."

"Jangan bohong, Dok. Saya tahu kalau dokter lagi bohong dan saya juga tahu bahwa kakak saya punya riwayat penyakit yang serius."

Dokter hanya tersenyum mendengar perkataan Ana. Memang betul, Dokter Andi mengatakan sebuah kebohongan kepada Ana. Bahkan dokter lebih tahu semua ketimbang Ana. Kembali lagi pada permintaan Zea yang tidak ingin mengumbar penyakitnya.

Sebenarnya Andi juga ikut merasakan sedih ketika melihat Zea tidak berdaya. Terkadang Andi ingin mengadopsi Zea untuk dijadikan anaknya. Sudah cukup Zea merasakan penderitaan dan Zea juga berhak mendapatkan kebahagiaan. Lagi pula Andi dan Arini tidak memiliki anak perempuan, hanya Dian saja anak semata wayang.

Andi baru menyadari bahwa tidak ada orang tua maupun kerabat yang datang mengantar Zea, kecuali gadis remaja di depannya ini. Ternyata apa yang dikatakan Zea benar, orang tuanya tidak peduli kepada Zea. Dalam kondisi seperti ini pun Diana masih saja tidak peduli dengan keadaan Zea.

Wajar kalau pada waktu itu Zea menangis karena terlalu banyak beban. Tidak semua orang bisa tahan dalam posisi Zea. Andi paham mengapa Zea pernah mengatakan ingin memilih mengakhiri hidup saja daripada tidak mendapatkan kasih sayang dari keluarga dan merepotkan orang lain.

Rahasia memanglah sesuatu yang harus dijaga. Andi memilih menghindar dari Ana daripada harus membocorkan segala sesuatu yang sudah dijanjikan pada dirinya. Lagi pula Andi tidak tahu pasti bagaimana sifat gadis di depannya ini, tapi Andi akan memastikan terlebih dahulu bahwa gadis di depannya ini adalah adik Zea yang bernama Ana.

"Apakah kamu yang bernama Zea?" tanya Andi.

"Iya, betul dengan saya sendiri. Ada apa ya, Dok?"

"Tidak apa-apa. Saya hanya mau bilang bahwa Zea baik-baik saja. Setelah ini, dia akan dipindahkan ke ruang opname. Saya permisi dulu karena lagi ada urusan." Andi meninggalkan Ana yang masih mematung. Ana bingung mengapa dokter yang menangani Zea bisa mengenalnya.

Ana merasa bahwa Zea ada hubungan dengan dokter tersebut. Dia semakin curiga ketika melihat Andi memasuki mobil. Aneh, setelah menangani Zea, dia langsung pulang. Ana kira Dokter Andi akan ada jadwal untuk mengurus pasien lainnya. Namun, Ana akan menyelidiki hal ini nanti. Dia akan mengurus administrasi Zea terlebih dahulu.

Ini kali pertama Ana langsung turun tangan mengurus administrasi. Sebenarnya dia bingung bagaimana cara mengurusnya, tapi dia bertekad tetap memberanikan diri untuk bisa mengurusnya. Ini semua demi Zea. Ana menarik napas dahulu kemudian menghembuskannya secara perlahan agar bisa sedikit merasa tenang.

Ketika sudah sampai di depan tempat administrasi, dia merasa gugup. Bukan gugup karena berhadapan dengan orang baru, tetapi dia takut jika uangnya tak cukup untuk melunasi biaya Zea. Semua tabungannya sudah dia bawa karena dia tahu bahwa biaya pengobatan Zea tidaklah murah.

"Permisi, Mbak. Saya mau melunasi biaya pasien yang bernama Zea," ujar Ana.

"Pasien bernama Zea sudah lunas biaya pengobatannya."

"Loh, siapa yang melunasi, Mbak? Saya belum membayarnya dan saya juga tidak menyuruh orang lain untuk membayarnya."

"Biayanya gratis karena sudah ditanggung Dokter Andi."

"Dokter Andi?" gumam Ana memikirkan siapa pemilik nama itu. Rasanya nama itu tak asing lagi bagi Ana.

"Dokter Andi yang tadi menolong pasien Zea. Dia yang sudah melunasi semua biaya pengobatannya."

"Ya sudah, terimakasih, Mbak."

"Sama-sama."

Sejak tadi, pikiran Ana tertuju kepada Dokter tadi. Selain tidak memberi tahu penyakit Zea, dia juga melunasi biaya pengobatan Zea. Ah sudahlah, sekarang bukan waktunya untuk terlalu memikirkan siapa dokter tersebut, mungkin besok Ana akan menemui dokter untuk menanyakan apa maksud dari semua ini. Lebih baik Ana menanyakan dimana Zea akan di opname.

"Maaf, Sus. Pasien Zea sudah dipindahkan ke ruang mana?" tanya Ana ketika bertemu dengan suster yang mendampingi dokter Andi dalam menangani Zea.

"Di ruang Anggrek satu VIP," jawab suster membuat Ana terkejut.

Ruang VIP untuk Zea. Mau dapat uang dari mana untuk mengganti uang dari dokter Andi. Hal itu tidak membuat Ana merasa senang walaupun biayanya sudah ditanggung Dokter Andi. Menurutnya meminta bantuan besar kepada orang lain sama saja memberikan beban hidup. Saling tolong menolong memang hal yang wajar, tetapi jika kebanyakan sama saja merepotkan orang lain. Ana sangat takut jika ada maksud jahat dari Dokter Andi.

"Terima kasih, Sus."

Ana segera menuju ke ruang Zea di opname. Ketika sampai di ambang pintu hati Ana terasa perih. Jagoan yang dulu dia banggakan kini terlihat tak berdaya di atas ranjang. Kabel-kabel yang berada di tubuh Zea membuatnya ikut merasakan bagaimana perjuangan Zea melawan penyakitnya.

Tanpa Ana sadari, kedua sudut matanya kembali meneteskan air mata. Ana mendekati Zea yang tengah terbaring dan belum sadarkan diri. Wajah Zea terlihat pucat. Tangan kanan Ana mengusap rambut Zea kemudian mencium pipi kiri Zea.

Ana sangat merindukan Zea kecil. Dia selalu kuat dan cerita. Ternyata kapan seseorang akan sakit tidak ada yang tahu. Ana kira dirinyalah yang lemah ketika melihat bagaimana Zea menghadapi anak-anak laki-laki yang menjahilinya. Kenyataannya Zea juga terlihat lemah ketika sakit dan belum sadarkan diri.

"Kak, Ana sayang banget sama Kakak. Cepat sembuh ya, Kak. Di sini Ana sangat membutuhkan Kakak. Bunda lagi ke luar kota dan Ana sendirian di rumah. Ana mau nungguin kakak di sini biar kita selalu bersama dan tidak merasa sendiri," ujar Ana tanpa ada jawaban dari Zea.

"Kakak tahu kan bagaimana Bunda saat pergi ke luar kota, Ana selalu sendiri. Ana jadi ingat waktu kita masih kecil dulu. Kakak selalu belain Ana, nemenin Ana, jagain Ana, sekarang gantian ya Kak, kali ini gantian Ana yang menjaga Kakak."

"Terkadang Ana merasa kalau hidup itu lucu. Ana tidak menyangka bahwa wanita sekuat kakak akan menghadapi ujian seberat ini, tapi Ana yakin Kakak bisa melewati ujian ini semua."

Begitu Ana mengajak bicara Zea walaupun Ana sudah tahu bahwa Zea tidak akan meresponnya. Ana mencium tangan kiri Zea, begitu juga air matanya menetes di tangan Zea. Ana menangis sambil memegang tangan kiri Zea.

Ketika Ana mendongakkan kepala menahan air matanya tidak jatuh lagi, dia melihat sudut mata Zea mengeluarkan air mata. Ana segera menghapus jejak air matanya kemudian mendekati kepala Zea. Dia tidak menyangka kejadian ini seperti yang terjadi pada film ataupun novel. Apakah Zea dapat merespon ucapan Ana walaupun dia belum bisa membuka mata? Ana tidak tahu pasti mengapa hal itu bisa terjadi, tapi dia senang karena setidaknya mendapat respon bahwa Zea akan baik-baik saja.

"Kakak, cepat sembuh ya. Ana selalu do'a kan Kakak agar cepat sembuh."


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C45
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login