Download App

Chapter 2: SATU

Alif baru saja memasuki ruangan pribadi miliknya sesaat setelah melakukan rapat kurang lebih tiga jam bersama rekan-rekan.

Pria itu tengah resah di tengah ruangan sambil memegang ponsel.

"Kenapa Givana tidak mengangkat telpon? Apa dia masih sibuk?" Alif tak sadar saat gerutuan keluar dari mulutnya begitu saja membuat Rey--asisten pribadinya--yang sedari tadi berdiri tegap di belakang, nenjawab spontan.

"Mungkin Nona Givana masih ada sesi lagi, Tuan."

Alif menoleh, mengangkat alis. "Begitu, ya?"

Rey mengangguk dua kali.

"Apa perlu aku menyusul? Aku berjanji akan mengajaknya makan malam ini."

"Boleh, Tuan. Sekarang sudah sore. Mungkin Nona Givana juga sedang menunggu."

"Benar juga." Alif memasukkan kembali ponsel pipihnya ke dalam saku jas. "Kalau begitu, menyetirlah untukku karena aku lelah. Kita jemput Givana setelah itu kau ku traktir makan."

Rey mengulum senyum. Sudah terbiasa dengan sikap Alif yang suka seenaknya. Rey cukup tau diri karena memang ia adalah seorang asisten pribadi. Hal yang masih membuatnya canggung adalah ketika Alif tanpa sadar membuatnya menjadi seperti orang ketiga, seperti saat ini.

"Baik, Tuan."

Memangnya Rey bisa apa selain menurut? Toh, nantinya ia diberi jatah makan juga 'kan?

***

Givana mengikuti instruksi dari depan untuk melakukan pose terakhirnya. Sekali jepretan dari kamera, riuh rendah tepuk tangan terdengar mengakhiri sesi pemotretan sore ini.

Erfan--si fotografer yang menawan--yang terlihat tampan seperti biasa, mendatanginya yang tengah melepas anting berlian di telinga. Pria itu tersenyum padanya.

''Perfect Gi. Seperti biasa."

Givana membalas Erfan dengan senyuman. "Ini semua berkat kerja kerasmu juga yang telah membuatku terlihat sempurna."

Erfan tertawa renyah. "Bahkan tanpa dipotret, kau memang sudah terlihat menawan, Gi."

"Jangan memuji berlebihan. Aku tak mau menanggung beban," kelakar Givana.

"Aku mengucapkannya tulus, jangan dijadikan beban. Anggap saja sebagai bentuk solidaritas pertemanan."

Kini, Givana yang tertawa. "Kalau begitu izinkan aku juga untuk memujimu."

"Baiklah terserah kau saja."

"Sesama teman 'kan memang harus saling memuji."

Erfan terdiam. Entah apa yang salah dengan ucapan Givana barusan sampai membuat pria berkaus lengan panjang di depannya itu tersenyum canggung. Givana jadi merasa tak enak.

Karena tak mau berlama-lama berada dalam situasi seperti ini, Givana memilih undur diri untuk menuju ruangan lain di tempat ia melakukan pemotretan hari ini. Ruangan itu terletak agak jauh di pojok kanan.

Di dalam ruang ganti, Givana terlebih dahulu membuka tas selempang yang biasa ia bawa, kemudian mendengus kesal mendapati ponselnya habis baterai. Ia kemudian teringat jika sore ini ada janji dengan Alif. Kekasihnya itu mengajak makan malam. Givana tebak Alif sudah mencoba menelpon atau setidaknya mengiriminya pesan, lalu kesal karena ponselnya tidak bisa di hubungi.

Tak mau membuang waktu hanya untuk mengisi daya ponsel, Givana lekas mengganti gaun yang sedang ia pakai dengan baju yang ia pakai sebelum pemotretan. Kemudian melesat keluar untuk meminta tolong pada Nuri--asistennya--untuk menghubungi Alif bahwa ia menunggu untuk dijemput.

Sebelum sempat keluar, Givana berpamitan pada semua orang yang ada di ruangan. Tak lupa mengucap terima kasih dan maaf karena pulang terlebih dahulu. Ia juga berpapasan dengan Erfan yang tengah membereskan peralatan miliknya sendiri. Meski aura canggung masih terasa, Givana tetap tak lupa untuk menyapa. Yang untungnya ditanggapi oleh pria itu dengan senyuman pula.

***

Alif memasuki lift untuk turun ke lobi. Sambil tak lupa masih terus menghubungi Givana. Ia mengabaikan Rey yang berjalan mengikuti dari belakang.

Kesal karena masih tidak mendapat jawaban ataupun balasan dari Givana, Alif menggeram. Menoleh ke samping, ia bertanya pada Rey. "Pukul berapa sekarang?"

Rey dengan sigap menjawab. "Pukul setengah enam sore, Tuan."

Alif merasa gusar sekarang. Tidak biasanya Givana tak bisa dibubungi. Atau mungkin ponsel wanita itu kehabisan daya?

Lift berdenting. Alif menatap ke depan, bersiap melangkah keluar. Sampai pada saat pintu lift terbuka, tubuhnya menegang kaku. Kaki kanan Alif yang tadinya sudah terayun maju, kembali ia mundurkan bersamaan dengan napasnya yang terasa tercekat. Rey di sampingnya mengernyit bingung.

"Tuan tidak keluar?" tanya Rey.

Pertanyaan Rey itu seperti tak di dengar. Alif masih berdiri kaku di tempat. Rey bolak-balik memandangi antara bos dan seseorang di depan pintu kemudian tersenyum singkat.

"Nona mau masuk?" tanya Rey lagi, kali ini pada seseorang di depan pintu.

Seseorang-di-depan-pintu itu mengerjap kaget saat ditanya. Namun tak lama kemudian berhasil menormalkan ekspresi. Ia menatap salah satu pria di depannya dengan tegas lalu bertanya dengan suara lembutnya. "Aku ada perlu dengan Tuan Alif. Bisa tolong beri tahu aku dimana ruangannya?"

Rey mengangkat alis. Menoleh pada bosnya yang masih bergeming. Pria itu merasa kebingungan karena orang yang dicari oleh wanita di depan pintu itu ada di sisinya sekarang dengan tubuh kaku dan linglung.

"Tolong katakan padanya, aku ingin bicara. Sangat penting."

Sebelum Rey merespon, Alif berdehem. Melangkah keluar dari lift yang tentunya Rey mengikuti dari belakang.

"Saya Alif. Ada perlu apa?" Alif berharap semoga suaranya terdengar tegas.

Wanita itu tersenyum. Matanya mengerling. "Lama tidak bertemu. Ternyata kau semakin 'berbeda'. Aku hampir saja tidak mengenalmu tadi."

Alif terdiam. Dalam benak dan juga hatinya sedang terjadi pergolakan. Wanita itu ... kenapa kembali datang?

"Apa kau masih mengingatku?"

Secara tiba-tiba, bersamaan dengan pertanyaan wanita itu, ponsel di tangannya bergetar halus. Alif mengintip sedikit, ada notifikasi pesan masuk dari asisten Givana.

"Apa kita bisa bicara?"

Alif masih menunduk. Melihat layar ponselnya perlahan kembali redup.

"Tuan?" Rey menegur. Ia merasa ada yang salah di sini.

Mata Alif terpejam. Diam-diam ia menghembuskan napas. Persetan dengan acara makan malamnya dengan Givana. Sepertinya ada hal yang perlu Alif bereskan sekarang. Nanti ia akan meminta maaf dan mencoba membujuk untuk makan malam di hari lain jika seandainya Givana marah.

"Sepenting apa hal yang akan kau bicarakan?" Alif akhirnya mendongak kembali untuk menatap wanita di depannya. Memantapkan hati untuk jangan lagi ada rasa takjub padanya. Namun ternyata efeknya masih sama. Wanita itu masih bisa membuat hatinya berdesir halus untuk sekali tatap.

"Tentunya penting. Karena aku ingin bicara hanya berdua denganmu." Wanita itu melirik Rey sekilas, lalu kembali menatapnya.

Rey yang mencoba paham akan situasi segera pamit undur diri. Namun ia masih sempat mengingatkan pada bosnya untuk jangan lupa menjemput kekasihnya.

Alif gamang. Ia diambang kebimbangan. Hal yang ingin ia lakukan saat ini pada wanita di depannya setelah Rey pergi adalah ...

... memeluknya.

Di lain sisi, ia teringat Givana yang harus di jemput. Semoga Rey tidak mengadu macam-macam pada Givana. Semoga Rey setelah ini tidak ingat apa-apa. Semoga ....

"Alif?"

Pandangan Alif meredup saat wanita itu memanggilnya dengan suara yang 'sama lembutnya seperti dulu'. Kemudian saat wanita itu menyentuh lengannya ....

Baiklah, Alif butuh bicara.

'Maafkan aku Gi.'

***


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C2
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login