Download App

Chapter 2: Ayat-ayat Cinta

Satu Minggu sudah ku lewati. Dan kini tinggal menunggu hasil tes masuk PTN. Karena pengumumannya dilakukan secara Online, dengan mudah ku buka website yang di dalamnya sudah terdaftar namaku. Ku keluarkan HP dan menunggu beberapa sesaat. Saat-saat yang cukup menegangkan dan membuat hati berdegup.

"Selamat bagi Muhamad Fadhil, Anda telah lulus tes masuk Perguruan Tinggi Negeri."

Pesan pendek itu benar-benar sangat membahagiakan bagiku. Kalau saja aku bisa terbang, pasti sudah ku kelilingi Jogja dan sekitarnya. Aku berteriak kegirangan seperti mendapat hadiah uang dua milyar. Ku langsung hubungi keluarga agar ikut merasakan senang dan gembira ini. Berbagi kegembiraan adalah kebaikan yang luar biasa.

Sekarang, ku lebih fokus menyiapkan barang-barang berhubungan kuliah dan belajar. Seperti buku tulis, celana bahan, kemeja, dan beberapa buku bahasa Inggris. Ya, cukup mudah untuk mendaptkan itu di tempat ini. Karena toko pakaian murah-murah. Sampai ada kemeja yang harganya Cuma 20 ribu. Itu kalaupun bahannya sangat buruk, tidak akan ditemukan kemeja seharga itu di tempat lain. Dan lagi, buku-buku referensi, hiburan, dan majalah juga sangat banyak dijual di kota ini. Harganya tidak semahal di tempat lain. Makanya ku berniat untuk membeli banyak buku sebelum disuruh beli oleh dosen.

Setelah puas membeli baju dan celana di Malboro, kini ku berjalan menuju toko buku yang tak jauh dari tempatku sekarang. Nampak berjejeran toko-toko buku kecil di pinggir jalan. Ku mulai dari toko buku satu. Ku lihat-lihat sepertinya cuma ada buku berbahasa Indonesia. Ku pindai ke sebelahnya. Ya, nampak majalah National Geographic dan beberapa novel remaja seperti robomum, Spy dog, Avanta, dan lain sebagainya. Wah, keren juga.

"Bu, ada novel 'ayat-ayat cinta'?" tanya seorang gadis yang pernah ku temui satu minggu yang lalu. Pakainnya sama dengan kemarin hanya saja model bajunya agak berubah.

"Itu yang mana, ya?" jawab ibu penjual buku.

"Yang penulisnya Habiburrahman El-sirazy."

"Siapa itu, ya. Ibu nggak tahu. Ibu masih baru di sini." Ini mana mungkin penjual buku nggak tahu judul buku. Meskipun baru, seharusnya penulis sehebat Kang Abik dia kenal. Aneh.

"Mungkin bisa saya bantu cari, Bu." Kataku sambil mencari-cari di tumpukan buku yang sangat banyak. Dan, hap, ku dapatkan buku itu.

"Ini, bukan?" ku berikan buku itu kepada gadis yang sedari tadi berdiri di belakangku.

"Iya, Bener. Makasih, Mas." Kata gadis itu sambil tersenyum.

"Sama-sama. Suka baca novel juga, ya?"

"Nggak terlalu, sih. Ini buat hiburan ajah."

"Kenapa beli novel ini? Padahal masih banyak yang lebih bagus dari pada ini."

"Ya, kata temenku isinya bagus dan islami. Aku penasaran dan ingin membelinya. Alhamdulillah sekarang ku dapat buku ini. Aku pergi dulu, ya, Mas. Ada kegiatan organisasi di masjid Gedhe. Sekali lagi terima kasih." Gadis itu langsung membayar dan pergi meninggalkan jejak.

Aku tak menyangka akan bertemu dengannya lagi setelah seminggu yang lalu. Kini ku tahu kalau dia punya kegiatan organisasi setiap minggu. Kayaknya seperti itu. Sepertinya minggu depan dia akan balik ke sini lagi. Dan lagi, kayaknya dia masih SMA. Ku lihat dari gantungan tasnya tertulis "Graduate 2010".

Tapi, lupakanlah. Ku harus fokus kepada pelajaran. Masih terlalu banyak yang harus ku pelajar sebelum masuk ke ranah percintaan. Ku tak mau tersesat seperti teman-temanku di rumah. Sibuk mengurusi cinta, malah lupa belajar. Padahal dulu orang pintar dan terpelajar. Gara-gara "kecelakaan", putus pendidikan. Kasihan. Makanya, ku tak mau seperti mereka. Ku tak mau hal itu terjadi dalam kehidupanku. Telah ku putuskan untuk "tidak pacaran". Sudah terpendam tekad dalam diriku untuk menahan diri dari perbuatan zina ini. Meski budaya dan lingkungan semua mendukung untuk berbuat seperti itu, tapi aku tak akan mau tergoda.

Ku menaiki bus untuk balik ke kos-kosan. Aku yakin Mas Hasan pasti nunggu ayam goreng yang tadi dipesannya. Aku tak mau terlambat dan mengecewakannya. Seperempat jam kemudian ku sudah sampai di depan kos-kosan. Ternyata benar, Mas Hasan sudah menunggu di ruang tamu dengan memegangi perutnya.

"Maaf, Mas. Aku agak terlambat."

"Aku wes ngenteni kaet mau. Tapi ya nggak apa-apalah. Biasa anak baru, belum kenal lingkungan." Jawab Mas Hasan dengan mimik wajah yang agak kecewa. Kami pun akhirnya makan siang dengan lahap. Es kelapa yang dibeli Mas Hasan menambah kenikmatan makanan pada siang hari ini.

"Dhil, udah tahu informasi mengenai OSPEK?" tanya Mas Hasan sambal menikmati ayam goreng.

"Belum tahu, Mas. Nanti aku coba cari tahu di website."

"oh, iya. Aku ingin mencari kos-kosan untuk tempat tinggalku, Mas. Boleh minta bantuannya?" tambahku.

"Kapan?"

"Kalau bisa ya secepatnya."

"Oke, besok ku antar cari kos-kosan. Ya, memang daerah ini cukup jauh dari kampusmu. Kalua kamu tinggal di sini bisa terlambat nanti kuliahnya. Apalagi kamu nggak punya motor."

"Iya, Mas."

***

Aku dan Mas Hasan kini sudah berada di daerah dekat kampus negeri yang akan menjadi tempat kuliahku. Ya, suasananya nggak seramai daerah kos-kosannya Mas Hasan. Kami mulai memasuki pemukiman dekat kampus. Ya, banyak kos-kosan, warung makan, fotocopy, laundry, dan lain sebagainya. Sepertinya suasanya mendukung untuk ditempati.

Cukup banyak kos-kosan. Tapi yang aku inginkan adalah yang lokasinya dekat dengan masjid, agar mudah untuk ibadah. Aku takut kalau kos-kosannya jauh dari masjid, ibadahku bisa terbengkalai. Selain itu aku juga memperhatikan harga. Kalau harganya mahal, ya, nggak mau aku. Uang bakal habis hanya buat kos-kosan. Aku tidak peduli kualitas kos-kosan bagaimana, ku bisa tinggal di tempat yang sederhana, yang penting sehat dan layak untuk ditinggali. Itu saja.

Sampailah kami pada sebuah kos-kosan yang dekat dengan masjid dan nampaknya nggak bagus-bagus amat. Sepertinya harganya kompromi dengan dompet.

"Assalamualaikum.." tegur Mas Hasan.

Tiba-tiba keluar seorang wanita paru baya berbadan gendut dengan memakai daster sambal merapikan rambut panjangnya. "waalakumsalam.."

"Ibu, mau tanya, apa benar di sini menyediakan kos-kosan?"

"Iya, benar."

"Ngomong-ngomong masih ada yang kosong?"

"Masih ada tiga kamr yang kosong. Kalau kalian ingin melihat tempatnya silakan masuk."

Kami pun mengikuti ibu itu masuk ke kos-kosan lewat belakang rumahnya. Luas ruangannya sekitar 4 x 4 m. cukup untuk satu orang. Kamar mandinya berada di luar. Bagiku itu lebih baik daripada di dalam. Kenapa? Karena ku tak suka bau kama mandi. Harganya juga Cuma 300 ribu perbulan. Tidak terlalu mahal bagi mahasiswa kere sepertiku. Kami sudah fix dengan tempat ini. Besok aku akan pindah ke sini. Hidup sendiri untuk yang pertama kali.


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C2
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login