Download App
71.42% Bunga Lentera

Chapter 30: Regresi (1)

Ibu memiliki kebiasaan yang aneh. Setiap pagi ketika matahari terbit, Ibu akan memainkan sebuah melodi yang sama dengan suara pelan seperti mengendap-endap di rumahnya sendiri. Tetapi melodi itu, sudah seperti ayam berkokok pagiku yang setia membangunkan dan menyihir diriku melihat Ibu memainkan pianonya dengan anggun.

Tetapi, kontras dengan keceriaan pagi hari, lagu itu justru terdengar layaknya hujan yang deras. Hatiku terenyuh tiap kali mendengarnya. Hanya saja, tak ada seorang pelayan pun yang mempertanyakan kebaisaan ibu. Seolah-olah ada aturan tak tertulis yang melarang mereka.

Suatu hari, tak tahan, aku pun turun dari kamarku dan menemui ibu di ruang tamu, yang sedang memainkan melodi sedih itu. Aku pun bertanya kepadanya,

"Mengapa Ibu... memainkan lagu yang sedih seperti itu? Kenapa nggak mainin twinkle twinkle little star aja? Kan lebih ceria!"

Ibu menghentikan permainannya dan melihat kepadaku. Dewan wajahnya yang beku tanpa ekspresi, ia menjawab, "... Karena aku telah lupa dengan melodi lainnya. Lagipula... bukankah lagu yang kamu sebutkan itu adalah lagu pengantar tidur?"

"Bukaaan, itu lagu anak-anak, Bu. Masa Ibu tidak tahu?"

"Oh, lagu anak-anak untuk mengantar tidur bukan?" tanya Ibu balik.

Gemas, aku pun duduk disampingnya dan mencoba memainkan lagu itu dari ingatan. Akan tetapi, tanpa guru pengajar piano, yang terdengar hanyalah irama kacau balau. Akhirnya, ibu menuntun tanganku sambil berkata, "Coba senandungkan iramanya."

Menuruti perkataan Ibu, aku pun mulai bersenandung. Dengan sabar Ibu membawa jemariku menekan tuts piano yang sesuai, ditemani tangan kanannya memainkan irama pendamping yang cocok.

Aku pun tersenyum lebar ketika pertama kali memainkan piano, tetapi hal yang paling membuatku senang ialah mendengarkan Ibu memainkan lagu dengan irama yang lebih cerah.

"Gimana Bu? Lebih baik, bukan? Hihi," kataku tersenyum meringis.

Ibu menutup matanya, "Aku tak tahu. Terdengar asing bagiku.... hingga tubuhku menolaknya," kata Ibu.

"Yaah... Apa boleh buatlah," gumamku kecewa. Tetapi segera aku menggelengkan kepalaku dan tersenyum bertanya pada Ibu, "Hmm, kalau begitu, apa sih nama lagu yang ibu mainkan tiap pagi?"

"Carnation... Lagu ini... adalah hadiah ulang tahun untukku dari seorang teman lama," jawab Ibu menekan tuts piano dengan lembut. Aku dapat melihat bulu mata lentiknya yang mencoba menutupi kesedihan yang terpancar dari cahaya matanya yang redup.

Penasaran, aku pun bertanya lagi, "Apa maknanya?"

"Apakah kamu bahagia sekarang? Pertanyaan itulah yang terdengar setiap kali aku memainkannya,"

"Lagu yang aneh," balasku bingung, "tetapi... apakah mungkin Bu, bahwa arti sebenarnya lagu ini adalah... tolong, berbahagialah untukku? Aku kok denger kayak... itu arti sebenarnya ya?" tanyaku lagi.

Ibu terdiam dan melebarkan matanya. Ia pun mencoba memainkan lagu itu kembali daan mendengarkannya dengan seksama. Tetpai kini, jauh dari rasa sepi dan seidh, lagu ini terdengar penuh kehangatan dan kasih sayang. Seakan-akan lagu ini adalah surat cinta yang tersembunyi dibalik nada-nada.

Sinar mentari menembus kaca jendela, disaat Ibu selesai memainkan lagu itu. Sinar terang itu, menyembunyikan wajah ibu... tetapi jika aku tak salah lihat... saat itu Ibu tersenyum walaupun tipis. T-Tapi, mungkin itu hanya perasaanku saja.

"Jadi begitu rupanya," ucap Ibu yang kemudian menoleh kepadaku dengan wajah dinginnya lagi, "Eclair... apakah kamu sekarang bahagia?"

Terkejut dengan pertanyaan mendadak itu, aku pun keceplosan, "Ng-Nggak tahu. T-Tapi setidaknya, ketika ada Ibu disini... aku tak merasa kesepian," katanya.

"Jadi, tanpaku... kamu akan kesepian?" kata Ibu yang kemudian memainkan lagu carnation dengan tangan kirinya, "Kalau begitu... aku ingin kamu mengingat lagu ini. Disaat suatu hari nanti, aku tak lagi ada disisimu."

Akhir mimpi membangunkanku. Perjalanan dengan kereta kencana tak kusangka memakan waktu selama ini. Didepanku duduk Arielle dengan Arthur yang beristirahat di pundaknya. Sedangkan, berbaring di pangkuanku, Luciel tertidur dengan pulasnya.

Ingatan masa kecil yang menguak setelah pertemuanku dengan Tao membuatku bertanya-tanya, mengapa ia muncul sekarang? Tetapi setelah pertemuanku dengan Tao, aku pun penasaran... mengapa Tao menginginkanku mengingat lagu itu saat ia telah pergi, seolah-olah dia telah merencakan kepergiannya dariku sejak aku kecil.

Seminggu telah berlalu sejak gempa bumi besar yang memporak-porandakan Pei Jin. Langit kini tak bersinar, sebagai gantinya, bunga-bunga lentera bermekaran dari rumah ke rumah menjadikan langit penuh bintang di muka bumi. Tetapi, semua itu tak tampak indah sama sekali, sebab dimana-mana aku selalu melihat oranorang berbaring di jalanan.. mengerang penuh kesakitan. Dan tak sedikit dari mereka yang berakhir dalam gerobak mayat yang membawa mereka ke penguburan masal.

"Miris sekali. Mengapa tiba-tiba wabah Nyght meledak seperti ini? Disaat semua orang sedang bersedih kehilangan rumah, keluarga dan orang dicintainya karena gempa?" gumam Arielle melihat keluar jendela kereta, "Aku tidak bisa memaafkan penyihir itu," lanjutnya.

"Ya... kita harus menghentikan Tao segera," jawabku.

Setelah pertemuanku dengan Tao, aku pun menceritakan semuanya kepada Arielle dan Arthur. Mereka tampak terkejut dan marah ketika mendengarnya dan ingin membantuku menghentikan Tao. Kami bertiga pun menyusun rencana yang diawali dengan melacak asal mula wabah Nyght muncul di kota Pei Jin. Distrik Agneyastra, pusat perindustrian dan perumahan buruh, dengan harapan kami dapat melacak keberadaan Tao.

Kereta kencana kami pun berhenti di depan kompleks perumahan buruh yang kumuh atau... sisanya. Sebab hampir seluruh bangunan disana hancur lebur. Ketika kami turun, orang-orang menatap kami dengan penuh harap. Mereka pun berlarian dan menarik tangan kami sambil berkata,

"S-Syukurlah! K-Kamu bangsawan atas bukan? Kamu akan menyelamatkan kami, bukan?" tanya seorang ibu dengan wajah penuh dengan retakan mengeluarkan darah. Dia... terjangkit penyakit Nyght.

"T-Tolong, selamatkan anakku!" pintanya dengan wajah mengisak tangis, berlutut di tanah, memohon kepada kami dengan sangat.

"Dame... bagaimana ini? Haruskah kita membantunya dulu?" tanya Arielle kepadaku.

Aku menggelengkan kepalku, "M-Maafkan aku, Madame... tetapi kami bukanlah orang yang Madame maksud," jawabku terpaksa.

Seberapapun aku ingin menolongnya, waktu tak mengijinkanku. Aku berusaha melepaskan genggaman erat tangannya pada kakiku namun sia-sia... dia tak ingin melepaskanku.

Tiba-tiba, Luciel berlutut merangkul wanita itu, "Tolong, tunjukan kepadaku dimana anakmu, Madame," katanya yang membuatku terkejut... tetapi, helaan nafas mengikutinya kemudian sebab meskipun baru 1 minggu aku mengenal Luciel, aku tahu bahwa gadis ini sangat keras kepala.

Aku pun mengikuti Luciel menemui anak dari wanita itu. Kami sampai di kumpulan tenda yang penuh dengan bau darah dan luka busuk. Erangan kesakitan terdengar jelas dari tenda tempat kami tertuju.

Kubuka mulut tenda itu dan menemukan seorang anak manusia laki-laki, terbaring dan berdaya mengerang kesakitan sambil menangis... menahan nyeri dari luka-luka retakannya yang mengeluarkan darah. Keadaannya sama seperti aku melihat Luciel pertama kalinya. Anak ini.. tak memiliki waktu yang lama untuk hidup.

"I-Ibu.. tolong... tolong! Obat.. Bu... Sakiiit!"

Sang wanita itu segera memeluk anaknya dengan erat, berusaha menenangkannya. Tetapi Luciel pun tak kalah cepat mendahuluiku melihat anak itu. Mataku terbuka lebar ketika Luciel memanjangkan telunjuk belatinya dan menusik jarinya hingga berdarah.

"Luciel!" teriakku.

Gadis itu tak mendengarkan. Ia mengoleskan darahnya pada tiap retakan bocah itu. Dalam sekejap luka-luka bocah itu pun sembuh dan ia berhenti menangis kesakitan. Namun, kelelahan, bocah itu terlelap tanpa dapat melihat Luciel dengan benar.

Arielle melihat semua itu dengan takjub, "T-Tak kusangka... Luciel memiliki kekuatan seperti ini?" gumamnya pelan.

Aku tak dapat membalas Arielle, sebab aku belum pernah memberitahu kedua manusia itu tentang kebenaran kami, para Ancient.

"Sudah, Bu. Nyawa adik sudah aman. Biarkan ia beristirahat dahulu dan setelah bangun, alngsung kasih makan banyak ya," kata Luciel.

Sang Ibu menangis penuh syukur kemudian bersujud berterima kaish kepada Luciel. Aku tertegun kala kali pertamanya melihat wajah luciel terlihat begitu cerah dan bahagia... mengingatkan diriku saat pertama kali berhasil menyembuhkan seseorang.

Telingaku menangkap suara orang-orang mulai rusuk diluar tenda ini. Mereka mendekati kami karena penasaran dan putus asa. Ini bahaya, bila sampai mereka tahu darah Luciel bisa menyembuhkan luka mereka, nyawa luciel akan terancam.

Aku pun segera menarik tangan Luciel dan membawanya pergi ke sebuah gang sepi disana, menembus ombak manusia dengan harapan... mereka belum mengetahui apa yang sebenarnya terjadi.


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C30
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login