Download App

Chapter 3: Chapter 3

2 bulan lagi adalah ujian kenaikan kelas. Hawa ujian semakin terasa. Semua guru mulai memperketat jadwal mereka. Biasanya telat 5-10 menit masuk kelas, ini kurang 5 menit udah stand by di dalam kelas buat ngajar.

Aku-pun merasa perubahan dari wajah guru-guru itu. Apabila guru-guru masih suka bercanda didalam kelas, ini boro-boro. Senyum aja ngga. Rasanya sangat frustasi. Apalagi ada beberapa pelajaran yang masih belum ku kuasai. Aku jadi ngeri sendiri bagaimana nanti menghadapi ujian. Apalagi ini ujian kenaikan kelas.

Tapi, dibanding mengkhawatirkan diriku sendiri, aku lebih khawatir pada Felix. Cowok itu kan sering sekali tidak masuk kelas karena harus menjalani hukuman. Seperti hari ini, aku melihatnya sedang menyapu halaman sekolah ketika aku ijin untuk ke toilet.

Aku bertanya-tanya, kenakalan apalagi yang diperbuat oleh 2 orang brengsek yang memfitnah Felix sampai-sampai cowok itu harus menghabiskan waktu belajarnya hanya untuk membersihkan halaman.

"Lo lama banget ke wc doang," kata Rani, dia bicara sambil tangannya lincah menyalin catatan fisika dari papan tulis ke bukunya.

"Ngantri," kataku. "Oh ya, tadi gue liat si Felix lagi nyapu halaman. Emang dia kenapa lagi?" tanyaku penasaran.

Jujur saja, Rani itu seperti informan berjalan. Semua kejadian yang terjadi di sekolah bahkan di luar sekolah dia bisa tahu dengan cepat. Mungkin karena dia tergabung dalam anggota klub majalah sekolah sehingga dia punya banyak jaringan dan relasi yang luas.

"Dia telat datang ke sekolah," kata Rani santai.

"Telat?" aku bertanya-tanya, memang tadi pagi sewaktu Elia, adiknya Felix berangkat ke sekolah, cowok itu tidak nampak pergi bersama dengannya. Aku menghela napas, untung saja bukan karena 2 cowok brengsek itu. Kalau memang karena mereka, aku sudah tidak sabar untuk melaporkan mereka pada pak Kepsek.

Sambil mencatat, aku terpikirkan satu ide yang menurutku gila. Mungkin akan lebih baik jika aku mengajak Felix belajar bersama. Kebetulan rumah kami berdekatan jadi lebih mudah jika ingin belajar bersama. Aku memutuskan untuk mendatangi rumahnya nanti siang. Meskipun mama pasti melarang, tapi dengan alasan kemanusiaan, mama pasti mengerti.

***

Aku memperhatikan Felix yang lagi-lagi sedang mendorong sepedanya. Ban sepedanya kempes lagi dan aku bisa tahu siapa pelakunya.

Aku ingin menghampirinya tetapi Rani sedang bersamaku. Aku tidak ingin dia salah paham dan berpikir kalau aku lagi pedekate sama Felix. Jadi aku mengurungkan niatku untuk mengikutinya, lagipula rencanaku siang ini akan pergi ke toko buku bersama Rani untuk membeli beberapa buku referensi menghadapi ujian.

"Si Felix itu kasian banget yah, kerjaannya disekolah bukannya belajar malah ngejalanin hukuman," gumamku.

"Hah, apa?" Rani yang sedang memilih-milih buku dari rak melirik Sasha yang sedang berbicara sendiri.

"Felix. Gimana dia bisa naik kelas kalau ga belajar?" kataku.

Rani menyikutku. "Sejak kapan lo mulai perhatian sama dia?" godanya.

Aku meliriknya. "Gue ga bilang kalau gue perhatian. Gue cuma kasian sama dia. Kalau dia ga naik kelas gimana," kataku membantah.

"Lo tenang aja. Kalo Felix sih ga mungkin ga naik kelas," kata Rani, dia berjalan mengitari rak buku dan mencari-cari buku referensi bahasa inggris.

Aku mengerutkan kening.

Rani hanya tertawa melihat kebingunganku.

"Lo liat aja nanti," katanya penuh rahasia.

Mekipun aku penasaran, aku tidak bertanya lebih jauh karena aku takut nanti Rani salah paham mengenai aku dan Felix.

***

Aku tidak menemukan mama di rumah saat aku tiba. Kata mbok Yem, pembantuku, mama sedang pergi bersama beberapa ibu-ibu tetangga. Aku tersenyum dalam hati, mama memang sangat mudah bergaul dengan orang lain. Tapi untunglah mama tidak ada jadi aku bisa pergi ke rumah Felix siang ini untuk belajar bersama.

Aku makan dengan kecepatan penuh.

"Non, makannya pelan-pelan aja. Nanti tersedak," kata mbok Yem yang sedang mengepel lantai.

Aku tidak menjawab karena mulutku penuh dengan nasi.

"Uhukkk," benar saja apa yang dikatakan mbok Yem, aku tersedak nasi. Dengan tergopoh-gopoh mbok Yem memberikan segelas air.

"Tuh kan non. Mbok bilang juga apa. Pelan-pelan aja makannya," kata mbok Yem. Aku hanya nyengir.

Selesai makan, aku membawa tas keranjang yang berisi buku-buku dan bersiap menuju rumah Felix.

"Loh, mau kemana non?" Tanya mbok Yem.

"Mau belajar kerumah teman," kataku sambil memakai sandal dan segera melesat pergi sebelum mbok Yem bertanya lagi.

Aku menekan bel rumah Felix dengan tidak sabar. Jam segini cowok itu pasti ada dirumah.

Dari dalam rumah keluar Eli yang menatapku keheranan. Mungkin dia bingung untuk apa aku datang bertamu sore-sore begini sambil membawa tas keranjang pula.

"Hai Eli, tidak bimbel?" tanyaku menyapanya dengan ceria. Eli menghampiriku.

"Tidak kak. Gurunya sedang tidak ada," katanya. Tangannya membuka kunci gerbang dan menyuruhku masuk.

"Ada apa, kak? Kok, tumben main kesini?" tanya Eli memperhatikan penampilan dan bawaanku yang kelihatan cukup berat.

"Kakakmu ada?" tanyaku.

"Ada didalam," jawab Eli. Aku mengikutinya masuk kedalam rumah. Ini pertama kalinya aku main kerumah Felix. Apalagi sampai masuk kedalam rumahnya.

Rumahnya tampak rapi, dengan sebuah foto keluarga tergantung di dinding ruang tamu. Dan ada beberapa pajangan. Di foto keluarga itu hanya ada foto Tante Margaretha, mama Felix, Felix sendiri dan Elia. Mereka tampak masih kecil ketika berfoto.

Aku bertanya-tanya kemana bokap Felix. Apa sudah meninggal? Pantas saja kelakuan anaknya seperti itu, pasti karena kurang kasih sayang dari orang tuanya. Yang aku tahu tante Margaretha bekerja sebagai sekretaris disebuah kantor di daerah Bandung utara. Biasanya mama Felix itu pulangnya sore hingga malam.

"Kak, ada kak Sasha nih," kata Eli ketika kami masuk kedalam ruang keluarga. Ada satu buah televisi ukuran besar dan sebuah sofa panjang.

Felix sedang sibuk bermain playstation dan tidak menghiraukan kedatangan kami. Ada sebungkus keripik kentang yang remah-remahnya berhamburan disekitar karpet dan sekaleng jus yang terbuka.

"Silakan duduk, kak," kata Eli. Aku mengangguk dan duduk di sofa panjang. Memperhatikan Felix yang memunggungiku. Dia tampak berkonsentasi dengan games perang di playstationnya.

"Ada apa?" tanyanya tanpa menoleh. Aku yang sedang melihat-lihat sekeliling kaget mendengarnya tiba-tiba bertanya.

"Ehem, gue mau ngajak lo belajar bareng," kataku.

"Belajar?" Felix mengerutkan keningnya. Tangannya merogoh kantung keripik dan mengambilnya.

"Iya. Kan sebentar lagi mau ujian kenaikan kelas. Jadi gue mau ajak lo belajar bareng. Gue tau lo sering ga masuk kelas karena," aku tidak meneruskan kata-kataku karena Eli datang membawakan segelas limun dingin.

Felix mem-pause plasystationnya. Dia membalikkan badannya.

"Lo belajar aja sama Eli," katanya lalu bangkit dan mengambil tas bola basketnya. Aku melongo.

"Kakak," Eli berusaha mencegah kakaknya yang hendak pergi itu.

Felix menatap Eli sebentar. "Kakak langsung pergi. Nanti bilang aja ke nenek sihir itu kakak pulang pagi," kata Felix yang langsung ngeloyor. Aku tidak bisa mencegahnya sementara Eli mengikuti Felix yang bergegas menuju pintu depan.

"Kak, kak Sasha udah repot-repot datang kesini," kata Eli.

"Kakak ga minta dia datang kesini. Udahlah. Kakak mau main basket dulu," kata Felix.

"Kak," Eli merajuk tapi Felix tidak menghiraukannya.

Aku bisa mendengarnya menutup pintu depan.

Eli menghampiriku yang masih termangu didekat sofa ruang keluarga mereka.

"Kak Sasha, maafin kelakuan kak Felix, yah," kata Eli.

Aku mengibaskan tangan dan berusaha menanggapinya dengan santai meskipun aku merasa sedikit sakit hati karena Felix menolak mentah-mentah niat baikku.

"Tidak masalah, Eli. Mungkin kakak juga datang disaat yang tidak tepat," kataku.

Eli masih tampak merasa bersalah. Aku benar-benar tidak habis pikir. Felix beruntung mempunyai adik sebaik Eli.

"Oh ya, ngomong-ngomong dia mau kemana?" tanyaku. Aku memutuskan untuk mengobrol saja dengan Eli di teras depan.

"Main basket dilapangan kompleks," kata Eli.

"Oh, dilapangan itu, ya. Lalu kenapa dia bilang pulang pagi?" tanyaku lagi. Aku penasaran dengan kata-kata Felix yang bilang kalau dia langsung pergi dan pulang pagi.

"Dia akan langsung pergi kerja, kak," jawab Eli. Gadis kecil itu tampak lebih dewasa dari usianya.

"Kerja?" aku mengerutkan kening.

Eli mengangguk.

"Dia kerja dimana?" kali ini aku benar-benar penasaran. Felix kerja? Untuk apa dia kerja. Bukankah nyokapnya masih bisa membiayai hidupnya.

"Jaga warnet di komplek Nusa Makmur," kata Eli.

"Untuk apa dia jaga warnet? Memangnya dia kekurangan uang jajan?" Tanyaku.

"Hanya untuk mengisi waktu, kak. Kak Felix suka main game online, jadi dia sekalian saja jaga warnet disana," kata Eli.

"Mamamu tidak marah kalau tahu Felix jaga warnet?"

"Tidak. Mama tahu kalau kak Felix jaga warnet dan sering pulang pagi. Cuma mama gak bisa berbuat apa-apa," ku dengar Eli menghela napas panjang.

Kelihatannya keluarga Felix ini benar-benar kacau.

"Kok dia gitu, sih? Sebentar lagikan ujian kenaikan kelas. Mana bisa naik kelas kalau dia bekerja sampai pagi begitu," kataku kesal. Si Felix itu, dia punya otak ga, sih?

"Kalau mama melarang, nanti kak Felix bisa kabur lagi dari rumah," kata Eli.

"Kabur?" aku melotot.

"Kak Felix pernah kabur dari rumah waktu SMP," kata Eli.

Aku terhenyak. Si Felix, cowok sinting tidak punya otak itu benar-benar keterlaluan. Wajar mamanya marah, itu karena memang anaknya yang tidak bisa diatur.

"Kakak tenang saja. Kalau kak Felix pasti bisa naik kelas," kata Eli sambil menatapku. Wajahnya tampak sungguh-sungguh.

Antara setengah percaya-setengah tidak aku hanya mengangguk. Buat apa aku mengkhawatirkan cowok gila itu kalau dia saja tidak mengkhawatirkan sekolahnya.

"Lama-lama aku yang bisa gila," kataku sambil jalan pulang kerumah.

Aku sudah memutuskan untuk masa bodoh dengan Felix, mau dia dihukum, mau dia tidak naik kelas, aku tidak peduli.

***

Seminggu menjelang ujian, tempat favoritku untuk menghabiskan waktu istirahat siang adalah diperpustakaan.

Mengumpulkan dan mencatat rumus-rumus serta artikel yang kira-kira akan keluar di ujian yang akan diadakan minggu depan. Rani sedang komat-kamit didepanku. Sesekali kacamatanya melorot dari hidungnya yang pesek.

Untung saja aku mendapatkan teman yang kutu buku seperti Rani dan bisa membantuku belajar. Dari yang aku dengar dari anak-anak sekelas, semester 1 kemarin Rani mendapat peringkat 5 besar dari total murid kelas 2 yang kurang lebih 120 orang.

Aku benar-benar tidak habis pikir, Rani pasti menghabiskan sebagian besar waktunya dirumah untuk belajar. Pantas saja gadis itu memiliki sedikit uban di rambutnya.

"Kalau lagi belajar tuh yang konsen," kata Rani yang mendongak menatapku.

Mulutku menggigit pulpen dan mataku menerawang.

Aku menatapnya.

"Lo pasti lagi mikirin si Felix yah?" Tanya Rani sok tahu.

Aku mendengus mendengarnya.

"Lo tuh ga usah khawatir soal dia," kata Rani.

"Enak aja. Siapa juga yang khawatir sama dia," kataku kesal.

"Ucapan dan hati tidak sejalan," kata Rani menyindirku. Aku mendelik.

"Bercanda, Sha. Jangan mendelik ke gue kayak gitu dong. Gue merinding nih," kata Rani. Aku cemberut dan tidak menanggapinya. Rani ini orangnya menyebalkan juga.

Sebenarnya aku masih penasaran kenapa Rani tampak santai saja menanggapi kekhawatiranku pada si Felix. Jujur saja, sejak insiden dirumahnya beberapa minggu yang lalu, aku jadi jarang bertemu dengannya. Meskipun aku masih sering melihatnya membersihkan halaman sekolah.

Baru saja akan bertanya pada Rani, bel istirahat selesai berbunyi. Aku terpaksa mengurungkan niat untuk bertanya padanya.

Ketika keluar dari perpustakaan dengan menenteng sejumlah buku tebal, aku berpapasan dengan Felix di koridor. Cowok itu berjalan dengan santai ke arah kelasnya dan bahkan tidak berusaha menyapaku. Sementara gadis-gadis di belakangnya menatapnya dengan wajah kesenangan.

"Gadis-gadis itu bodoh sekali mengidolakan Felix," kataku sambil berjalan menuju kelas.

Rani tertawa disebelahku. Aku memandangnya dengan bingung.

"Huh, dasar cowok sombong. Andai saja tadi dia menyapaku, aku pasti akan memaafkan kelakuannya yang tidak sopan waktu itu," umpatku dalam hati.

***

Mama mulai lebih ketat mengawasiku belajar dari biasanya. Beliau tidak ingin aku sampai mendapatkan nilai jelek apalagi sampai tidak naik kelas.

"Sha, nih minum dulu susunya," kata mama. Mama meletakkan segelas susu hangat yang masih mengepulkan uap disebelahku.

"Thanks ma," kataku.

"Bagaimana pelajarannya? Ada yang tidak kau mengerti?" Tanya mama.

"Hmmm, lumayan mengerti. Aku hanya tinggal belajar lebih giat," kataku.

"Baguslah. Kalau begitu mama tinggal dulu," mama kemudian menutup pintu kamarku dan kembali ke kamarnya.

Sedang asik-asiknya belajar, aku mendengar suara kasak kusuk dari depan. Aku membuka tirai kamar sedikit dan melihat Felix yang sedang mengeluarkan sepedanya dan kembali mengunci gerbang rumahnya.

Rupanya cowok itu masih saja bekerja menjaga warnet. Pantas saja sering telat ke sekolah. Sepeninggal Felix, aku menutup tirai dan kembali berkonsentrasi belajar. Berusaha tidak peduli pada cowok itu.

***

2 minggu telah berlalu. Masa ujian telah lewat. Meski aku yakin bisa mengerjakan semua soal ujian tetapi untuk urusan nilai aku tidak terlalu yakin.

Kata Rani, nilai-nilai semua murid akan di pasang di papan mading sekolah. Dari mulai peringkat atas sampai peringkat bawah. Untuk yang masuk peringkat atas sih bisa bangga nilainya di pajang begitu, tapi untuk yang peringkat bawah siap-siap saja untuk dipermalukan satu sekolah.

Aku benar-benar berharap nilaiku tidak masuk kategori peringkat bawah. Di sekolah lamaku dulu di Jakarta, aku selalu mendapatkan peringkat minimal 10 besar meski tidak pernah masuk peringkat 1.

Hari itu aku baru saja tiba disekolah ketika Rani berlari-lari menghampiriku untuk melihat nilai yang sudah keluar. Aku-pun bergegas bersama Rani menuju mading sekolah yang sudah lebih dulu dikerumuni oleh murid-murid lain.

Tiba-tiba saja aku merasa deg-degan dan takut nilaiku anjlok.

Kami-pun berusaha masuk kedalam kerumunan anak-anak kelas 1 yang menyemut didepan mading. Wajah mereka tampak ada yang kecewa dan ada pula yang kesenangan. Aku bisa mendengar ada yang bilang peringkat mereka naik ada juga yang turun.

Rani bersorak ketika menemukan namanya di jajaran peringkat 4.

"Yes, naik satu peringkat. Aku bisa minta hadiah ke papa," katanya senang. Aku menatapnya ikut senang. Padahal aku sendiri khawatir tentang keberadaan peringkatku.

"Lo di peringkat 11 tuh, Sha," kata Rani ketika menemukan namaku ada di urutan 11 dibawah nama Ajeng, anak kelas 2-B.

Dan tidak tahu kenapa aku menghela napas lega. Walaupun sedikit kecewa karena tidak berhasil menembus peringkat 10 besar namun aku bisa berbangga hati karena sebagai anak baru aku bisa mendapat peringkat yang cukup tinggi.

Setelah tahu aku diperingkat 11, kali ini aku penasaran dengan peringkat Felix, oleh karena itu aku kembali menyusuri nama-nama anak kelas 2 yang peringkatnya di bawahku.

"Kok tidak ada," pikirku.

"Lo nyari nama siapa?" Tanya Rani heran.

"Felix," jawabku singkat.

Rani tertawa. "Jangan nyari dibawah dong, Sha. Nyari di atas," katanya.

Aku mengerutkan kening.

"Tuh," tunjuk Rani pada satu nama yang berada di urutan teratas. Di urutan peringkat 1 itu tertulis nama Felixius Julian.

Aku melotot. Nama Felix tertera di sana.

"Kok bisa?" kakiku tiba-tiba terasa lemas.

Rani memegang pundakku dan mengajakku duduk.

"Kan udah gue bilang. Lo ga usah khawatir sama dia. Dia pasti naik kelas," kata Rani.

"Kenapa lo ga bilang dari awal kalo dia itu juara umum disini?" kataku.

Rani tertawa. "Gue cuma pengen ngerjain lo aja. Lagian disini ga ada yang ga kenal sama dia. Anaknya cerdas walaupun sering difitnah sama orang-orang yang ga suka sama dia dan juga sering kena masalah sama guru BP, guru-guru yang lain sih tahu kalau itu bukan salah dia," kata Rani. "Cuma yah kalau pak Yudi, beliau menutup mata. Beliau tidak mau tahu itu salah Felix atau bukan. Yang penting ada orang yang bisa disalahkan dan diberi hukuman."

Aku tertegun. Rupanya Rani dan hampir seisi sekolah tahu kalau Felix itu korban fitnah orang tidak bertanggung jawab. Aku pikir hanya aku yang tahu tentang hal itu.

Felix lewat dihadapan kami.

"Hai, Lix," sapa Rani. Felix tidak menjawab, dia berlalu begitu saja dan anak-anak gadis dibelakangnya menatapnya dengan wajah memuja.

Rasanya aku tahu kenapa Felix menjadi idola disini. Gadis-gadis lebih suka dengan cowok yang dingin, cuek dan misterius. Ditambah lagi Felix itu cukup tampan dan cerdas. Pastilah gadis-gadis tambah klepek-klepek.

Aku pernah bilang gadis yang mengidolakan Felix adalah gadis bodoh, tapi kenapa aku yang merasa seperti gadis bodoh sekarang?


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login