Download App

Chapter 15: 15 - Anggota Keluarga Baru

"Terima kasih banyak, Erza." Mata Wika tiba-tiba berbinar.

"Ayo pergi, cari tempat makan. Kamu sepertinya belum makan siang." Erza melihat jam. Saat ini sudah sekitar jam empat sore, jadi dia tidak perlu kembali ke perusahaan.

Begitu mereka tiba di sebuah restoran, telepon Erza berdering.

"Erza, kamu pergi ke mana? Mengapa kamu tidak masuk kerja pada hari pertamamu sebagai wakil manajer?" Suara kecewa Alina terdengar di telepon.

"Alina, aku ada urusan mendesak di sini. Aku tidak bisa kembali ke kantor sore ini," jelas Erza.

"Apa ada yang tidak beres saat kamu makan siang dengan Pak Doni?" tanya Alina khawatir. Erza menjawab singkat, "Tidak, kok."

"Ya sudah. Tidak apa-apa. Aku akan meminta izin untukmu, tapi kamu harus masuk kerja besok." Nada suara Alina sangat menenangkan.

"Terima kasih, Alina," jawab Erza.

Setelah menutup telepon, Erza mulai makan. Setelah selesai makan, dia langsung mengeluarkan lima ratus ribu yang diberikan oleh polisi lalu lintas tadi sebagai ganti rugi kerusakan di mobilnya. Erza merasa beruntung karena Farina menghancurkan mobilnya. Jika tidak, dia pasti tidak akan bisa membayar semua makanan ini.

Ketika mereka keluar, hari sudah gelap. Erza dan Wika mengobrol sebentar sampai jam sembilan malam. Saat ini sepertinya Lana hampir sampai di rumah. Erza mengantar Wika kembali ke rumahnya terlebih dahulu, dan kemudian mengantar Wina menuju rumahnya.

Dalam perjalanan, hati Erza juga sedikit kacau karena saat ini Erza benar-benar tidak tahu bagaimana menjelaskannya kepada Lana. Jika tidak memungkinkan, dia hanya bisa mengembalikan Wina untuk tinggal bersama Wika.

"Kak Erza, apakah kamu sedang kebingungan? Apakah karena aku?" Meskipun Wina baru berusia enam belas tahun, dia cukup bijaksana.

"Oh? Ya, aku sedikit bingung. Ada saudara perempuan di rumahku, tapi dia sedikit dingin. Nanti cobalah untuk tidak main-main dengannya, ya? Kalau tidak kita berdua bisa diusir, mengerti?" jelas Erza. Dia tersenyum tipis saat melihat wajah Wina yang manis. Wina mengangguk, tetapi matanya kecewa, khawatir, dan takut. Namun, Erza yang selalu melihat ke depan tidak menyadari ekspresi Wina.

Kini mobil sudah memasuki halaman depan rumah.

"Erza sudah pulang? Siapa gadis ini?" Setelah mobil memasuki rumah, Bu Siska juga menyambut dan berkata dengan sopan pada Erza. Tetapi, ketika dia melihat Wina, wajahnya berubah sedikit.

"Bu Siska, ini adikku. Ngomong-ngomong, apa Lana sudah pulang?" Erza tidak tahu bagaimana menjelaskan kepada Bu Siska, dan berpikir lebih baik berbicara dengan Lana secara langsung.

"Nona sudah pulang, tapi suasana hatinya tidak terlalu bagus. Sekarang dia ada di ruang kerja. Kamu bisa pergi menemuinya." Bu Siska juga mengerti bahwa Wina jelas bukan saudara perempuan Erza, tapi Erza membawanya ke sini pasti karena suatu alasan.

"Baiklah, Wina, tunggu aku di sini. Aku akan memberitahu adikku bahwa kamu ada di sini. Bu Siska, aku titip Wina dulu," ucap Erza. Meskipun Erza agak takut untuk menemui Lana, dia masih harus berbicara tentang Wina.

"Jangan khawatir. Aku akan menjaga Wina." Bu Siska mengangguk.

Erza naik ke lantai tiga. Dia tidak tahu mengapa, tapi ketika dia sampai ke lantai tiga, dia merasa sedikit cemas. Jika Lana menolak, apa yang harus dia lakukan? Sekarang Erza benar-benar merasa seperti pengecut yang ketakutan.

Ketika Erza tiba di ruang kerja Lana yang menyatu dengan kamarnya, dia membuka pintu geser ruangan itu dengan ragu-ragu. Tetapi, ketika Erza baru saja membuka pintu, dia langsung tertegun. Dia melihat Lana di depannya. Tiba-tiba ada dorongan yang sangat kuat di tubuhnya. Erza seperti akan mimisan ketika melihat Lana.

Saat ini Lana sedang berdiri di sana dengan handuk mandi di tubuhnya. Dia sedang mengeringkan rambutnya. Kulitnya seputih salju, dan kakinya panjang bak model. Dadanya yang berisi dan rambutnya yang basah membuat Erza tidak bisa bergerak.

Setelah Lana mendengar suara pintu terbuka, dia melihat Erza berdiri di sana. Tetapi, karena kemunculan Erza sangat tiba-tiba, Lana tidak bereaksi sama sekali.

"Kamu keluar dulu. Aku mau ganti baju." Melihat Lana akan meledak, Erza yang enggan keluar akhirnya menutup pintu secepat mungkin. Namun, saat pintu tertutup, Erza mendengar suara cangkir jatuh.

"Brengsek!" Pada saat yang sama, terdengar suara Lana sedang marah. Erza yang masih berdiri di belakang pintu merasa sedikit tertekan di dalam hatinya.

"Masuklah." Setelah beberapa saat, pintu terbuka lagi. Lana sudah berganti dengan piyamanya, tapi sorot mata Erza masih ingin menyerangnya. Sedangkan, Lana menatapnya dengan tatapan yang lebih dingin dari sebelumnya.

"Lana, aku ingin berbicara denganmu," kata Erza membuka pembicaraan.

"Kamu mencariku?" Sebelum Erza selesai berbicara, Lana menyela dia secara langsung.

"Uh, i-itu…" jawab Erza dengan terbata-bata.

"Kenapa kamu tidak pergi kerja sore ini?" tanya Lana dengan nada tegas. Erza disela lagi.

"Aku pergi, kok," jawab Erza.

"Apa maksudmu? Kamu tidak ada di kantor saat aku mencarimu tadi," ucap Lana. "Lana, apakah kamu tidak mengizinkanku untuk berbicara?" tanya Erza memelas. Lana pun akhirnya menyerah, "Katakan."

Setelah disela oleh Lana beberapa kali, Erza tidak tahu bagaimana cara berbicara lagi. Dia pun akhirnya memberitahu Lana apa yang terjadi dengan terbata-bata. Tentu saja, Erza hanya mengatakan bahwa Wika adalah teman baiknya, dan sekarang Wika harus pergi bekerja. Kemudian, Erza berkata bahwa Wina tidak bisa tinggal sendirian karena dia dalam bahaya dan sedang sakit. Setelah berbicara tentang apa yang terjadi pada Lana, meskipun istrinya itu bersikap dingin, tetapi Erza percaya bahwa Lana adalah wanita yang sangat baik.

"Jadi, Wina akan tinggal di sini mulai sekarang?" tanya Lana. Entah kenapa, ketika mendengar Erza membawa seorang gadis, padahal usianya baru enam belas tahun, Lana merasa sedikit tidak nyaman. Dia tidak tahu apakah itu cemburu atau kesal. Tetapi ketika dia memikirkan Wina, Lana merasa bahwa situasi gadis itu saat ini sangat menyedihkan.

"Ya, betul." Erza mengangguk. Saat ini, dia juga sangat gugup.

"Apakah kamu meminta persetujuan dariku?" Lana bertanya lagi. "Ya, Wina bisa tinggal di sini, tapi jika hal serupa terjadi lagi, kamu harus memberitahuku sebelumnya." Pada akhirnya, Lana mengangguk.

"Terima kasih. Ngomong-ngomong, Lana ada sesuatu lagi." Erza diam-diam menghela napas lega, tetapi kemudian dia mengingat satu hal lagi. Kali ini lebih sulit untuk dikatakan.

"Apa?" tanya Lana.

"Bisakah kamu meminjamkan aku uang 2 juta dulu?" Akhirnya, Erza mengatakannya. Setelah mendengar kata-kata Erza, Lana juga sedikit terkejut, tapi dia langsung memberikan kartu kredit pada Erza, "Kartu ini bisa ditarik tanpa batas. Kamu bisa menggunakannya dulu. Kata sandinya adalah hari ulang tahunku, 891101."

Setelah menerima kartu tersebut, Erza merasa sungkan. Dia merasa tidak berdaya sebagai seorang suami. Jika saja dia bisa bertukar posisi dengan Lana. Erza tidak punya pilihan lain selain berkata, "Terima kasih." Lana hanya mengangguk.

"Ngomong-ngomong, aku ingin menanyakan sesuatu padamu lagi." Melihat suasana hati Lana yang sepertinya bagus, Erza memutuskan untuk bertanya tentang hubungan mereka. Lagipula, itu masih sangat penting baginya.

"Aku akan menemui Wina dulu." Namun, Lana sepertinya tidak memberi Erza kesempatan ini. Setelah berbicara, dia dengan cepat keluar dari kamarnya.

Saat melihat punggung Lana, ada segala macam ketidakberdayaan di hati Erza. Kejahatan macam apa yang dia lakukan di kehidupan sebelumnya? Bagaimana dia bisa menikahi istri yang begitu cuek terhadapnya?

"Halo, kakak." Wina juga sedikit terkejut saat melihat Lana berjalan keluar.

"Halo, Wina. Kamu akan tinggal di sini mulai sekarang. Jika kamu butuh sesuatu, kamu dapat berbicara dengan Bu Siska." Lana juga memasang senyuman di wajahnya seolah-olah dia sangat menyukai Wina.

Ketika Erza melihat adegan ini, dia bahkan tidak bisa berkata-kata lagi. Dia berpikir bahwa Lana tidak akan tersenyum sama sekali, tetapi dalam situasi ini, gadis itu justru tersenyum lebar.

"Kakak, kamu tampak sangat baik. Mengapa Kak Erza mengatakan kamu galak?" Wina bertanya dengan ekspresi polos di wajahnya.

Erza yang sedang turun ke lantai bawah hampir terjatuh dari tangga. Dia berpikir apakah Wina sengaja melakukannya. Begitu Erza tiba di lantai bawah, dia melihat Lana menatapnya, matanya seolah ingin membunuhnya.

"Nona, Wina, Erza, makan malam sudah siap, mari kita makan malam." Saat ini, Bu Siska juga dengan cepat membantu Erza terbebas dari tatapan membunuh Lana.

"Ayo, Wina, makan malam dulu." Lana tersenyum sedikit dan mengajak Wina menuju ruang makan, sementara Erza merasa lega dan memandang Bu Siska dengan rasa terima kasih.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C15
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login