Download App
42.85% Desersi

Chapter 3: Tiga

[PERINGATAN: ada adegan penyerangan]

Cahaya berebut masuk melalui celah mata Artha yang perlahan terbuka. Bersamaan dengan itu, rasa nyeri menyerang kepalanya. Tubuhnya juga terasa begitu lemas.

Artha mengedarkan pandangannya ke sekitarnya. Selama beberapa detik, ia baru menyadari dirinya berada di kamarnya yang luas. Di sampingnya, Solar terduduk dengan wajah cemasnya. Begitu melihat Artha tersadar, ia langsung senang bukan main.

"Artha? Kamu sudah bangun? Apa ada yang sakit?" tanyanya khawatir. Artha mengangguk lemah.

"Kepalaku... pusing." Artha menyentuh kepalanya. Solar membelai rambutnya yang lembut lalu memijatnya perlahan.

"Kemarin kamu kabur lagi ya?" Solar membuka suara. Artha tertawa pelan.

"Aku bosan Bu, lagipula Nona Rosetta marah-marah terus. Suasana hatiku menjadi buruk, lalu aku pergi," ucapnya jujur.

"Tapi kenapa kamu pergi ke hutan Bidden? Ibu sudah sering memperingatimu untuk tidak pergi ke sana."

Artha mengerjap, mencoba mengingat-ingat kejadian beberapa waktu lalu sebelum dirinya jatuh pingsan. Kilasan-kilasan kejadian acak melintas di kepalanya dan membuat kepalanya semakin sakit.

"Aku tidak ingat kalau aku pergi ke hutan. Aku hanya pergi ke pasar lalu mengembalikan barang seseorang yang jatuh." Artha berucap pelan. "Seingatku, aku tidak ke hutan itu."

"Tapi ada yang mengatakan kalau kamu berjalan ke hutan—ah sudahlah, lupakan saja. Yang terpenting, kamu tidak terluka sedikitpun. Sekarang, kamu istirahat dulu. Jangan pikirkan apapun, oke?"

Artha mengangguk patuh. Solar mengecup keningnya lalu segera berjalan keluar meninggalkan ruangan diikuti beberapa pelayan. Tinggallah Artha bersama seorang pelayan yang bersiaga di sampingnya.

Artha mengubah posisi tidurnya dan terperanjat ketika merasakan lengannya menindih sesuatu. Tangannya meraba-raba ranjangnya dan mendapati sebuah gelang berwarna oranye yang berkilauan tertimpa cahaya. Gelang itu tampak cantik. Ia merasa familiar dengan gelang itu.

"Bi, ini milik siapa?" tanya Artha pada si pelayan yang tampak lebih tua dari ibunya itu.

"Maaf Tuan Putri, saya tidak mengetahuinya."

"Kalau begitu, apakah ini milik pelayan yang lain? Kak Delia atau Bibi Marty mungkin?" tanyanya lagi. Pelayan itu menggeleng.

"Tidak ada di antara kami yang memiliki gelang seperti itu, Tuan Putri. Mustahil pelayan seperti kami memiliki gelang seperti itu."

"Ah iya, kamu benar. Lalu ini milik siapa ya?"

"Itu milik Anda, Tuan. Saat Anda ditemukan tadi, Anda sudah menggenggam gelang itu."

Artha mengerutkan dahinya tak mengerti. Ia menatap gelang itu sambil mengingat-ingat penyebab gelang ini ada di tangannya.

"Mungkin gelang ini diberikan oleh paman berbaju lusuh tadi."

°°

Orang-orang memenuhi pelataran istana Kerajaan Ales. Hari ini, mereka merayakan pesta ulang tahun Ratu Solar. Raja Kris mengundang anggota kerajaan lain dan juga mengundang para rakyatnya untuk ikut serta meramaikan pesta ulang tahun Ratu Solar. Hari itu, Kerajaan Ales tengah bersukacita.

Artha sibuk memilih gaun yang akan ia kenakan. Para pelayannya berdiri di hadapannya sambil memegangi belasan gaun yang cantik. Biasanya Artha tidak peduli dengan model gaun yang dipakainya, namun hari ini berbeda. Selain ibunya, ia juga harus tampil cantik.

"Maaf Tuan Putri Artha, acaranya sebentar lagi akan dimulai," ucap seorang pelayan yang tangannya mulai keram karena sudah lebih dari sepuluh menit memegangi gaunnya. Artha mengangkat tangannya, memberi isyarat pada pelayannya untuk memberinya waktu sedikit lagi.

"Maaf jika saya lancang, Tuan. Saya ingin memberi Anda saran, bagaimana jika pilih beberapa gaun yang Anda suka lalu menyeleksinya lagi?" ucap pelayan yang lain. Artha mengangkat kepalanya lalu tersenyum lebar.

"Wah iya, kamu benar! Aku akan melakukannya." Artha menatap satu persatu gaunnya lalu mengambil beberapa darinya. Para pelayan itu menghela napas lega setelah cukup lama menahan diri untuk tidak meluruskan lengannya. Dari sepuluh gaun, ia memilih empat. Dari empat gaun, ia memilih dua. Setelahnya, ia kesulitan lagi.

"Aduh, kenapa ini sangat menyulitkanku?" gumamnya frustrasi. "Kak Lany, menurutmu mana yang bagus?"

"Jika Anda menanyakannya pada saya, tentu saya tidak tahu. Saya takut pilihan saya tidak tepat."

"Aih, tidak usah takut! Aku benar-benar menanyakannya padamu, aku saat ini benar-benar bingung," gerutunya. "Aku akan bertanya juga pada kalian semua."

Ekspresi wajah mereka menunjukkan keterkejutan setelah Artha menyelesaikan ucapannya. "Apa Anda yakin?"

"Tentu saja aku yakin, kenapa kalian selalu heran saat aku menanyakan pendapat kalian?"

"Maaf, Tuan Putri. Tentu saja kami heran dan juga terkejut. Keluarga Kerajaan tidak pernah menanyakan hal itu pada kami sebelumnya, karena mereka pikir kami hanyalah para budak dan mengajaknya bicara dengan topik di luar pekerjaan kami adalah sebuah ketidakwajaran."

Artha berdecak. "Aku sudah berkali-kali mengatakan hal ini pada kalian semua. Santai saja padaku, aku ini lebih muda dari kalian. Keluarga Kerajaan yang lain boleh menganggap kalian seperti itu, tapi aku tidak. Pokoknya, anggap saja aku ini adik kalian, anak kalian, atau apalah terserah. Aku ini lebih muda dari kalian, ok?"

Semua pelayan terdiam dan saling memandang satu sama lain. Tepukan tangan Artha menarik perhatiannya kembali.

"Kembali ke permasalahan. Ayo kita musyawarah dan tentukan mana gaun yang cocok untuk aku pakai hari ini."

°°

"Selamat datang rakyatku! Hari ini kita merayakan ulangtahun ratu kita, Ratu Solar!"

Suara riuh penuh kegembiraan bergaung di langit Ales. Seluruh rakyat turut bersukacita merayakan pertambahan umur sang ratu. Semua orang mendoakan yang terbaik untuknya, juga memberikan hadiah terbaik yang bisa mereka berikan.

"Selamat ulang tahun, Yang Mulia Ratu Solar!"

Artha bertepuk tangan hebohnya. Gadis kecil itu berdiri di samping ibunya dengan mengenakan gaun berwarna merah muda—pilihan finalnya setelah berunding dengan para pelayannya. Meskipun hari ini adalah hari ulangtahun Solar, justru dirinyalah yang paling gembira. Sedari tadi ia terus-menerus bersorak-sorai. Mungkin hari ini ia sedang kelebihan energi.

"Bu, ini hadiah dariku!" Artha menyodorkan sebuah kotakm beludru berwarna merah muda dengan pita di atasnya.

"Terima kasih, Cantik. Ada apa di dalamnya?"

"Ada deh, nanti saja bukanya."

"Selamat pagi, Yang Mulia Ratu Solar." Josh datang menginterupsi percakapan ibu dan anak itu. Ia membungkukkan badannya dengan sopan. Di belakangnya, ada Xenna dan Reitz yang tengah memamerkan senyum ramahnya.

"HAI JOSH!" sapa Artha penuh semangat. Josh langsung melemparinya tatapan tajam.

"Aku tidak menyapamu," tukasnya. Ekspresinya melunak ketika matanya kembali bertemu dengan Solar. "Selamat ulangtahun, Yang Mulia. Saya selalu mendoakan yang terbaik untuk Anda."

"Ini hadiah dari kami untuk Anda, Yang Mulia." Xenna menyodorkan sebuah kotak bening berisi kalung, gelang, dan sepasang sepatu berkilauan. Solar tampak senang menerimanya.

"Terima kasih banyak atas hadiahnya," ucap Solar.

Di hari berbahagia itu, mereka semua melupakan segalanya. Seolah-olah tidak akan ada bahaya yang mungkin menimpa mereka, atau yang tengah menunggu waktu yang tepat.

Seorang pria dengan pakaian serba hitam berdiri menatap orang-orang yang berkumpul di depan pelataran istana itu. Ia mengamati satu persatu ekspresinya dari balik cadar yang ia gunakan. Di balik punggungnya, terdapat sebuah busur panah yang sudah ia siapkan.

Artha menatap pria itu dari tempatnya berdiri. Penampilannya yang terlihat mencolok di antara ribuan rakyatnya yang menggunakan pakaian berwarna tentu saja sangat menarik perhatiannya. Ia menyenggol lengan Josh yang masih sibuk menyimak pembicaraan para orang dewasa.

"Apa?" tanyanya. Artha mengedikkan dagunya ke arah pria itu yang masih sibuk mengamati mereka.

"Lihat pria itu," bisik Artha di dekat telinganya. "Apa dia terlihat mencurigakan?"

Josh ikut menatap pria itu. "Entahlah, tapi sepertinya begitu."

"Apa kita harus memberitahukannya pada Ayahku?"

Josh menggeleng. "Aku rasa selama dia tidak membahayakan, kita tidak perlu memberitahunya."

Artha menuruti perkataan Josh. Entah kenapa Artha memiliki firasat buruk tentangnya, namun ia hanya berharap tidak akan terjadi sesuatu yang buruk.

"Eh? Katanya kamu tidak mau, makanya aku tidak memberikan."

"Oh iya, bukankah kemarin kamu ingin memberikan bonekamu padaku? Kamu malah langsung pulang tanpa memberikannya padaku," ujar Josh dengan nada merajuk.

"Aku berubah pikiran."

Artha menghela napas. "Baiklah, ayo ke ruang bermainku. Di sana aku meletakkan bonekanya."

Artha menarik-narik pakaian Kris untuk menarik perhatiannya. Kris menunduk lalu menoleh kepadanya.

"Ada apa, Tuan Putri Artha?" tanyanya dengan nada lembut. Artha menyengir lebar.

"Apa aku boleh ke ruang bermain sebentar? Aku ingin memberikan beberapa mainanku pada Josh."

"Hanya sebentar Kak, boleh ya?" pinta Artha dengan wajah memelas.

Mendes yang tadinya hanya diam sambil menatap sekelilingnya, langsung menoleh begitu mendengar ucapan Artha. "Apa tadi? Kamu mau pergi ke ruang bermain? Sebentar lagi aku tampil, apa kamu tidak ingin melihatnya?"

"Baiklah, baiklah. Kamu boleh pergi dengan Josh, tapi hanya sebentar ya? Segera kembali secepatnya."

"Baik Ayah!" seru Artha. Ia menarik tangan Josh lalu menyeretnya masuk ke dalam istana. Mendes menggeleng-geleng melihat tingkah dua bocah itu.

"Mana mungkin mereka kembali dengan cepat, satu jam lagi baru mereka akan kembali," gumam Mendes. Kris tertawa mendengarnya.

"Biarkan saja, toh mereka hanya bertemu dan bermain saat ada kunjungan saja."

"Tapi Artha sudah berjanji akan melihatku tampil, Yah."

"Kamu tenang saja. Artha tidak akan mengingkari janjinya," sahut Solar.

Sementara itu di tempat yang sama, pria berpakaian hitam itu masih berdiri di tempatnya. Ia memundurkan langkahnya lalu mencari tempat untuk bersembunyi. Mata tajamnya menyorot Kris yang tengah berbincang-bincang.

Tangannya bergerak mengambil sebuah anak panah yang ia siapkan. Ia hanya membawa sebuah busur panah dan satu anak panah, karena ia sangat yakin ia tidak akan meleset. Ia menaruh anak panah itu di busurnya lalu menariknya. Pria itu memusatkan targetnya pada Kris yang sama sekali tak menyadari nyawanya sedang dalam bahaya.

"Matilah kau, Kris."

Dengan sekali tarikan, anak panah itu melesat. Tidak ada yang menyadari kehadirannya hingga Xenna tak sengaja melihatnya. Menyadari anak panah itu mengintai Kris, cepat-cepat ia mendorongnya.

"RAJA KRIS! AWAS!"

Bagai mimpi buruk, Reitz mematung menyaksikan bagaimana anak panah itu tepat menusuk leher istrinya. Suara ribut yang berasal dari rakyatnya yang panik berbaur dengan detak jantungnya yang bergemuruh. Tangannya gemetar menatap tubuh istrinya yang perlahan-lahan kehilangan tenaganya.

Hal yang sama terjadi pada Solar yang langsung berhadapan dengan kejadian mengerikan itu. Ia membisu bak patung yang tak bisa melakukan hal lain selain terdiam. Mendes gemetar ketakutan di tempatnya. Sementara Kris, pria itu terkejut dengan aksi Xenna tiba-tiba dan tak pernah menduga Xenna bermaksud melindunginya.

Semuanya terjadi begitu cepat, sampai-sampai mereka tak bisa menduga atau menghindari petaka itu.

"XENNA!!"

°°

"Ini bonekanya! Lihat, bukankah dia tampan?"

Josh meneliti rupa fisik boneka di tangannya itu. Boneka itu memang terlihat bagus, namun tetap saja ia tidak tertarik dengan benda mati yang satu ini. Lalu mengapa Josh justru memintanya dari Artha? Gadis itu sudah berjanji akan memberikan boneka itu padanya dan Josh tidak bisa membiarkannya mengingkari janjinya.

"Iya."

"Benar 'kan aku bilang? Boneka ini memang tampan! Ayahku memang tidak salah beli." Artha tersenyum lebar hingga matanya berbinar-binar. Josh menatap wajahnya yang tampak bersinar saat ia tersenyum. Ia terpaku cukup lama. Bukan kali ini saja ia dibuat terdiam karena senyumnya, sudah cukup sering dan Josh tidak tahu penyebabnya apa.

"Artha,"

"Iya?" Artha menyahut.

"Aku menyukai senyummu."

Artha menghentikan kegiatannya merapikan boneka-bonekanya. Ia mengalihkan atensinya menuju Josh yang tengah menatapnya intens.

"Hah? Kamu menyukai senyumku?" tanyanya sambil tertawa pelan. "Benarkah? Apa senyumku seindah itu?"

"Entahlah, tapi aku suka melihatmu tersenyum."

Dahi Artha berkerut kebingungan. "Apa maksudmu-"

"TUAN PUTRI, TUAN PANGERAN!"

Keduanya sangat terkejut begitu seorang pelayan menerobos masuk sambil berteriak panik. Artha berdecak kesal lalu bersiap memarahinya saat pelayan itu menyela kesempatannya bicara.

"Maaf jika saya lancang, tapi ini gawat," ucapnya terengah-engah. "Ratu Xenna telah diserang."

Josh berubah panik lalu menjatuhkan boneka pemberian Artha. Tanpa menunggu lagi, Josh berlari keluar dari ruangan itu. Pikirannya negatif mendominasi dirinya, meskipun di sisi lain ia terus memanjatkan doa agar tidak terjadi hal buruk pada sang ibu. Namun, kenyataan berkata lain.

Di depan kamar tamu kerajaan, orang-orang berkumpul dengan ekspresi putus asanya. Reitz memisahkan dirinya dan berdiri menghadap jendela besar. Tatapannya kosong, seolah-olah jiwanya tak lagi eksis di dalam raganya.

"Ayah, apa yang terjadi?" tanya Artha yang baru saja berhasil sampai. Kris menatap Artha, namun tak kunjung menjawab.

"Ayah? Jawab aku," lanjutnya. "Bu, Ratu Xenna kenapa? Kak, kenapa kamu diam saja? Biasanya langsung menyahut."

Josh berjalan menghampiri Reitz yang masih belum menyadari kehadirannya. Ia menyentuh tangannya yang mengepal. "Ayah, apa yang terjadi pada Ibu?"

Reitz tidak menjawab dan masih melempar pandangnya pada pemandangan di luar sana. Josh menghela napasnya, seolah sudah tahu jawabannya.

Seorang tabib keluar dari ruangan itu. Sesaat setelahnya, ia dihujani berbagai macam pertanyaan. Semua orang langsung terdiam begitu wanita tua itu membuka suaranya.

"Lukanya terlalu parah untuk disembuhkan. Maaf, Ratu Xenna tidak bisa diselamatkan."

Kalimat itu bagai belati tajam yang menusuk Josh. Seketika tubuhnya melemas, bahkan untuk bicara pun rasanya ia tak sanggup.

"Bohong!" teriak Reitz dengan suara parau. "Kamu berbohong 'kan?!"

"M-maaf Yang Mulia. Anak panah itu menembus lehernya, dan mustahil untuk menyelamatkannya."

Tangis Reitz yang sedari tadi ia tahan akhirnya pecah. Ia memeluk Josh yang masih terdiam. Suasana di ruangan itu menjadi suram, seluruh penghuninya tenggelam dalam duka.

"Maafkan aku Reitz, aku turut berduka cita," ucap Kris dengan penuh penyesalan. Reitz mengangkat kepalanya lalu melemparinya tatapan tajam.

"Aku tidak butuh maafmu," ucapnya dingin. "Aku mau kau mencari siapa pembunuh istriku."


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login