Download App

Chapter 94: Pertanyaan awal

"Aku sibuk... apa kau pikir aku anak TK yang tak punya kerjaan selain bercerita dan mendengarkan cerita!" Ryan malas menanggapi dokter Farida.

"Hmmm.. Baiklah, kalau kau tak ingin bercerita denganku, aku akan bertanya pada istrimu di dapur. Dia tampaknya jujur dan pasti memberitahu informasi yang aku inginkan.." Dokter Farida menunjukkan mimik wajah sedang berpikir pada Ryan

"Ah, kau benar Farida.. Lebih baik kau cepat ke dapur.. Kira selalu jujur.." Tante Lusy berbisik ke Dokter Farida di depan Ryan, yang tentu saja bisa didengar oleh Ryan, karena suara dokter Lusi cukup kencang untuk didengar Ryan.

"Baiklah.. Apa yang mau kalian berdua tanyakan! Jangan pernah ganggu ShaKira Chairunisa!" Ryan tak dapat berbuat apa-apa lagi.

"Dua wanita tua ini... Huffff. Awas kau Andi! Habis ini, kau akan aku hajar habis-habisan!" Ryan menatap Andi penuh makna, dari posisi duduknya

"Uuh, pasti dia berpikir aku menyuruh Dokter Lusy membawa Dokter Farida.. Hahahah.. Baiklah Tuan Muda, kau menang.. Aku memang menyuruhnya seperti itu.. Aku sangat khawatir pada keadaanmu, apalagi dengan kehadiran penyihir itu. Maafkan aku tuan Muda." Asisten Andi sudah tahu arti dari tatapan Ryan padanya, dan menerima pasrah apa yang akan dilakukan Ryan padanya.

"Apa kau masih sering bermimpi.. Tentang tentang rel kereta api itu?"

Ryan menggeleng

"Apa ayah dan ibumu masih suka datang setiap malam memintamu menuntut balas?"

Ryan menggeleng

"Apa kau masih sering mengalami gangguan berkonsentrasi?"

Ryan tak menjawab.

"Kenapa tak menjawabku? Apa kau masih merasakan seperti itu?"

"Andi pasti sudah memberitahumu, kan!" Ryan menatap tajam ke Asisten Andi

"Hanya sampai Stella datang ke apartemen dan kau tak menyadarinya." Dokter Farida mengerti kalau Ryan sudah tahu semuanya, sehingga dia memilih memberitahu Ryan yang diketahuinya. Lagi pula, Dokter Farida tak ingin membohongi pasiennya sendiri.

"Itu yang terakhir. Aku tak pernah mengalaminya lagi."

"Bagaimana dengan kepergian Kira saat kau bertemu Cassandra. Apa kau tak sadar juga melepaskan tangannya?"

Ryan mengangguk.

"Tapi malam sebelumnya, aku sudah memberitahunya, untuk terus memegang tanganku saat aku lupa."

"Kira tak melakukannya hari itu?"

Ryan mengangguk. "Dia takut pada Cassey. Dia takut aku akan kembali pada Cassey." Ryan bicara masih menatap lekat ke Asisten Andi, tanpa merubah pandangannya sama sekali, membuat yang dipandang hanya menunduk.

"Huuuh. Tuan Muda sepertinya sudah sangat marah.. Aku rasa aku harus meminta tolong pada Kira supaya dia tak membunuhku!" celetuk Asisten Andi dalam hatinya.

"Apa yang kau rasakan saat kau menyadari Kira pergi?"

"Gila." jawab Ryan jujur

"Ryan, kau tahu siapa dia.. Apa kau masih ingin membunuhnya?"

Ryan menggeleng

"Apa ibu dan ayahmu, masih sering menyuruhmu untuk membunuhnya dan ayahnya?"

Ryan menggeleng

"Apa kau masih ingin menyiksa fisiknya?"

Ryan menggeleng

"Apa yang kau rasakan saat dia menangis?"

"Dadaku sakit."

"Apa yabg kau rasakan saat Cassey datang?"

"Aku ingin membunuhnya!"

"Apa kau merasa sesuatu saat kau berdekatan dengan Cassey?"

Ryan menggeleng

"Apa kau merasa membutuhkan wanita lain selain Kira?"

Ryan menggeleng

"Apa kau memaksa Kira unutuk memuaskanmu?"

Ryan menggeleng

"Lalu apa yang kau lakukan saat bersamanya?"

"Berusaha membaca pikirannya yang bodoh!"

"Lalu?"

"Mencoba memuaskannya"

"Lalu?"

"Mengikuti keinginannya"

"Lalu?"

"Memastikan dia tak akan pergi dariku."

"Apa kau sudah berbicara dengan anakmu, Ryan?"

"Belum"

"Kau tak ingin berbicara dengannya?"

Ryan tak menjawab.

"Kau tak ingin memberitahuku?"

"Aku tak ingin menyakiti ShaKira Chairunisa." Ryan menelan salivanya saat menjawab. Bicaranya pelan, tak selantang tadi.

"Hmmm.. Baiklah, Apa yang kau rasakan saat melihat foto pernikahanmu dengan Cassey?"

Ryan menengok ke Dokter Farida. "Apa kau tahu.. Kalau Cassey yang berusaha membunuhku saat kecelakaan itu?"

"Aku tidak tahu!" Dokter Farida berkata jujur. Dia berani menunjukkan tatapan matanya ke Ryan. "Darimana kau berpikir begitu?"

"Laki-laki yang berada di sebelah anakku.. Aku melihatnya di helicopter. Aku ingat dia ada di lokasi kecelakaanku." Ryan menatap Dokter Farida. "Apa aku berhalusinasi lagi?"

"Kapan kau sadar?"

"Saat aku melihat wajahnya, aku ingat pernah bertemu dengannya. Tapi aku baru sadar malam saat aku berada di kamar istirahatku di kantor."

"Apa kau pernah memimpikannya?"

Ryan menggeleng.

"Delapan puluh persen aku yakin kau tak berhalusinasi. Apa itu angka cukup bagus?" Dokter Farida mengernyitkan dahinya.

"Baiklah, lumayan." Ryan tersenyum sinis. "Apa aku masih membahayakn untuk ShaKira Chairunisa?"

Dokter Farida mengangguk.

"Kalau kau tak bisa mengontrol kebencianmu padanya dan kalau kau tak bisa menguasai rasa cemburumu. Kau ingatkan, saat kau membunuh anakmu sendiri dalam kandungan Kira?"

"Jadi aku harus bagaimana sekarang?"

"Kau bisa menjauh dari Kira?"

Ryan menggeleng. "Apa aku harus menjauhinya?"

Dokter Farida menggeleng. "Aku hanya bertanya, bukan berarti kau harus menjauhinya."

"Hey, nenek tua! Bicaralah yang jelas! Jangan berikan aku pertanyaan yang bisa membuatku berpikir ambigu!" Ryan protes pada dokter Farida

"Ryan.. Kenapa kau mencintai Kira?"

"Hey, jangan membuat kesimpulan sendiri.. Kapan aku bilang begitu? Kau mau mati, hah?"

"Apa maunya nenek tua ini.. Apa dia tak tahu, dia sudah menyinggung harga diriku.. Mencintai...hah dia bilang apa tadi? Untung wanita itu tak ada di sini!" Ryan sudah kesal dengan dokter Farida yang langsung menebak perasaannya di depan Tante Lusi dan Asisten Andi.

"Ryan tak mencintainya, Farida.. Makanya, aku akan mengembalikan Kira pada Willy." Tante Lusi nyeletuk dari belakang Ryan.

"Kau.. Apa kau tak tahu kalau Willy sudah menyakiti Kira? Bahkan dia menduakan Kira sejak dua tahun lalu?" Ryan sangat kesal dengan tante Lusi.

"Tapi dia mencintainya, kan Ryan.. Dia bisa berubah kok.. Setiap orang kan membuat kesalahan.. Apa kau pikir kau tak menyakiti Kira? Kau lihat, bagaimana luka di punggungnya? Itu akan membekas, Ryan.. Kecuali dioperasi. Kau membunuh anaknya, kau tahu bagaiamana kondisi psikis seoranag wanita yang kehilangan anaknya? Apa kau berpikir kau lebih baik dari Willy? Willy tak pernah menyakiti tubuhnya bahkan tak pernah menghina dan menghancurkannya seperti itu!" Tante Lusi bicara berbisik ke Ryan. Tapi, masih bisa didengar oleh Dokter Farida dan Asisten Andi.

"Apa mau kalian menemuiku hari ini?"

"Mengecek kondisimu... Istrimu yang meminta Andi meneleponku, kan?" Dokter Lusi tetap tersenyum tanpa memperdulikan Ryan yang sudah emosi.

"Ryan, kau ingat apa yang kau katakan saat ibu dan ayahmu dibunuh dulu?" tanya dokter Farida.

"Ryan mengangguk. Aku bahkan masih ingat menit jam saat aku mengatakannya."

"Lalu apa rencanamu sekarang?"

"Aku harap kau tak membohongi hati kecilmu terus Ryan. Kau sudah lebih baik.. Lebih stabil daripada setahun lalu." harapan dokter Farida pada Ryan, yang hanya diucapkannya dalam hati.

"Menjadi nomor satu kembali untuk bisnisku. Aku juga ingin.."

"Ryan, makanlah dulu. Aku sudah siapkan, ayo!" Kira bicara sambil berteriak dari dapur, datang berlari menarik tangan Ryan untuk makan.


Load failed, please RETRY

Gifts

Gift -- Gift received

    Weekly Power Status

    Rank -- Power Ranking
    Stone -- Power stone

    Batch unlock chapters

    Table of Contents

    Display Options

    Background

    Font

    Size

    Chapter comments

    Write a review Reading Status: C94
    Fail to post. Please try again
    • Writing Quality
    • Stability of Updates
    • Story Development
    • Character Design
    • World Background

    The total score 0.0

    Review posted successfully! Read more reviews
    Vote with Power Stone
    Rank NO.-- Power Ranking
    Stone -- Power Stone
    Report inappropriate content
    error Tip

    Report abuse

    Paragraph comments

    Login