Download App

Chapter 3: Serangan Kompeni

"Anii.. Anii... sebelah sini.. Mas Us disini, nduk!"

Suasana begitu genting. Entah suatu sebab apa, tiba-tiba terjadi perlawanan warga pribumi pada kompeni. Setahu Mahani, mereka selama ini hidup berdampingan. Status menjajah itu ada, tapi kemudian keduanya saling menyatu dan berbaur, berasimilasi, saling membutuhkan satu sama lain.

CEEESSS !!

DOR !!

Suara dentuman meriam terdengar.

Mahani memekik, menutup telinganya. Dia tak tahan mendengar suara lengkingan itu. Pendengarannya terasa sakit. Dia terus merunduk melindungi kepalanya. Bapaknya menghilang entah kemana. Hanya Mas Usman, yang dilihatnya sedari tadi dengan Mas Armadi.

"Ibu mana, Mas?"

"Ibu sudah di bunker, dengan yang lain."

"Ayo, Ani.. lari lebih cepat."

Mas Usman terus memegang erat tangan Mahani. Tak akan pernah lepas adik kecilnya itu dari perlindungannya. Mahani bahkan belum hafal, ke arah mana bunker tempat persembunyian keluarganya berada.

DHUAR !

Suara dentuman yang lebih kencang terdengar.

Mahani berteriak, bersamaan dilihatnya Mas Armadi jatuh. Peluru dari senapan kompeni menyasar melukai perut sebelah kanannya.

"Maass Madiii!" teriak Mahani dan Usman nyaris bersamaan.

Armadi merangkak. Jaraknya dengan adik-adiknya sekitar sepuluh meter. Namun terasa jauh bagi mereka karena hujan peluru menderu tanah menjadikan mereka sulit mencari pijakan yang aman.

"Ayo, Mas. Ke bawah pohon belimbing situ. Cepetan, Mas!"

Usman terus menyeru memberi semangat pada Armadi. Di dekat pohon belimbing dilihatnya ada ceruk tanah yang sedikit dalam. Armadi bisa berlindung sementara disitu, pikirnya. Usman mengangkat tangannya, memberi tanda agar Armadi berhenti dan menunggu bantuan disana. Armadi mengangguk, lalu Usman menyentak tangan Mahani, melanjutkan berlari.

Usman terus berlari dengan langkah kakinya yang lebar. Badannya tinggi besar, khas perawakan orang Belanda. Tapi jiwanya adalah jiwa Indonesia. Dia tak peduli apapun, Indonesia adalah tumpah darahnya.

Mahani yang berselisih usia cukup jauh dengan Usman, memiliki tinggi badan nyaris sepadan dengan kakaknya itu. Tubuhnya kurus ceking dengan kakinya yang jenjang bak model catwalk. Rok jarik ia angkat tinggi nyaris selutut untuk memperlebar jangkauan larinya.

Dalam pelarian di bawah kecamuk suara meriam dan desing peluru, tangan Mahani mendadak terlepas dari kakaknya. Dia terperosok beberapa meter ke jurang yang untungnya tidak terlalu terjal. Akar pohon pinus mengikat tanah di sekitarnya menjadi padat sehingga Mahani tak sampai terguling-guling lebih jauh.

Usman tak berani berteriak. Dia simpan kepanikannya dalam cekat tenggorokannya sendiri. Beberapa meter di depannya, barisan tentara kompeni membawa bedil sedang menderap dengan langkah kaki yang teratur dan berima.

Di balik sebuah pohon pinus dengan batang yang paling besar, Usman menyembunyikan dirinya. Dari situ dia bisa sekaligus mengawasi Mahani sebelum sempat ia tolong. Jarinya menunjuk ke arah tentara itu berasal, lalu dia memberi tanda agar Mahani diam tak bersuara di tempatnya sekarang.

Mahani mengangguk, dia paham betul maksud kakaknya. Sebenarnya kakinya tergores akar tajam, menyebabkan darah mengucur meski tak terlalu deras. Dia hanya menutupi lukanya dengan tiga jari tangan kirinya. Dia menghirup dan membuang nafas cepat-cepat, agar berkurang sedikit perih yang ia rasakan. Selain itu, tak ada gerakan lain yang nampak.

Drap.

Drap.

Drap.

Tentara kompeni melewati pohon tempat Usman bernaung. Karena semak yang tinggi, penyamarannya tak diketahui. Usman nyaris tak bernafas sama sekali saat mereka melintas. Dan kini, dia melepaskan udara di dadanya. Lega.

Beberapa meter kemudian jaraknya dengan tentara itu, Usman merasa posisinya aman. Dia bergerak perlahan menuruni lereng landai itu. Menyusul Mahani yang rupanya masih memendam kesakitan di kakinya.

"Ani, kenapa?"

Baju Mahani dilihatnya sedikit terkoyak. Mungkin karena sasaran batu dan akar saat dia terjatuh tadi. Tapi robekannya di sekitar lengan, bukan masalah besar, pikir Usman.

"Sakit, Mas. Gak kuat lari lagi," rintih Mahani memegangi kakinya.

Usman kebingungan melihat luka di kaki adiknya. Mahani masih terlalu muda untuk menahan rasa sakit semacam itu. Meski bukan luka besar, tetap itu menyakitkan bagi cah ayu seusia Mahani.

"Mas gendong, naik punggung Mas. Cepet!"

Usman meringkuk agar Mahani mudah menaiki punggungnya. Tak banyak membantah, Mahani segera menjalankan instruksi kakaknya, lalu memeluk leher Usman kuat dan merapatkan kakinya di pinggang sang kakak.

Tentu saja dengan kesulitan Usman menaiki kembali jurang itu untuk kembali ke jalan utama. Tapi tubuhnya yang kekar masih mampu menopang berat tubuhnya beserta tubuh sang adik. Nafasnya melemah tapi semangatnya terus menguat.

Usman berlari sambil menggendong Mahani. Dia hanya perlu segera tiba di bunker, menempatkan adiknya bersama sang ibu kemudian berbalik menolong kakaknya -Armadi.

Lima menit berlari dengan memikul beban, akhirnya dia tiba.

Secepat kilat dia berbalik arah, terus berlari, menyusuri tepian jurang. Dia khawatir akan bertemu tentara serupa di jalan utama. Harapannya, semoga Mas Armadi masih baik-baik saja.

Peruntungan baik masih berpihak. Mas Armadi mengerang kesakitan menahan perihnya robekan di perut, segera mendapat pertolongan dari Usman. Tak berselang lama, mereka bertemu seorang teman yang satu tujuan mengarah pada bunker.

Di dalam bunker, Mahani yang mulai tenang, hanya duduk meringkuk memeluk kedua kakinya. Dia dan beberapa anggota keluarga lain hanya bisa menunggu, kapan serangan akan berakhir. Bayangan akan warga lain yang bisa saja tak selamat, terus membayangi angannya. Bagaimana tidak, Mas Armadi saja nyaris kehilangan nyawa, begitu pula dirinya.

"Ani.. makanlah, kamu pucat sekali."

Ibunya menyodorkan sepiring nasi tanpa lauk. Serangan mendadak itu tak sempat membuat mereka mempersiapkan jatah makanan untuk disimpan di bunker. Biasanya bunker hanya digunakan untuk bencana alam misalnya ketika Gunung Arjuno meletus. Tapi kali ini hal diluar dugaan terjadi sehinga cadangan makanan yang tersedia hanyalah beras dan umbi kayu.

Tatapan mata Mahani masih kosong. Seperti trauma mendalam ketika dia melihat bagaimana dia dan kakak-kakaknya nyaris terbunuh tadi. Dia masih terlalu muda untuk mengalami sentakan yang membabi buta seperti itu.

Usman menggoyangkan bahu Mahani yang masih saja melamun. Dia pun menepuk perlahan pipi adik kecilnya itu. Sang adik masih diam, sedikit menoleh namun tanpa ekspresi.

"Kakimu sudah tidak berdarah. Jadi makanlah! Lukanya akan lekas menutup jika kamu banyak makan," bujuk Usman.

"Mas Madi, apa baik-baik saja?" tanya Mahani cemas.

"Sudah, dia baik-baik saja. Jadi, makanlah!"

"Aku ingin bertemu Mas Madi.."

"Dia tidur setelah diobati tadi."

"Mas Usman tidak membohongiku?"

"Tidak, Ani. Dia beristirahat sekarang."

"Lalu kenapa aku tak boleh menengoknya?"

"Bukan tidak boleh. Tapi makanlah dulu. Mas Madi pun masih tidur. Apa guna?"

Mahani mengerjapkan matanya. Dia merasa sesak, kembali teringat bagaimana mencekamnya pelariannya tadi. Sebisa mungkin dia tak ingin airmatanya tumpah. Kakak tertuanya tengah sekarat. Hanya dirinya dan Usman yang terbilang baik-baik saja meski mendapat luka lecet di sana sini. Kakaknya yang lain, belum diketahui keberadaannya. Begitu pun dengan sang bapak.

Salah seorang pemuka adat yang mengenal Mahani dengan baik, terus memperhatikan dari kejauhan. Dia merasa iba melihat kecemasan, ketakutan, dan trauma yang dialami Mahani. Dia kemudian beranjak, mendekati Bu Aminah seraya menundukkan kepalanya.

"Bu, kasihan anak bungsumu," ujarnya.

"Iya, saya tahu, Amangku. Dia memang lemah."

"Jangan sampai masa depannya kelam karena trauma yang ditanggungnya."

"Lantas, apa yang bisa saya perbuat, Amangku?"

"Atas ijinmu, sebagai ibunya. Mahani harus dibekali perlindungan."

"Oh, baiklah. Saya faham maksud Amangku.."

***


Load failed, please RETRY

New chapter is coming soon Write a review

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C3
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login