Download App

Chapter 4: The Red Thread That Starts to Connect

- benang merah yang mulai terhubung -

>> hari-hari berlalu...

Tidak ada hal spesial yang terjadi di antara Alana dan Gavin lagi. Mereka belum bertatap muka sejak dari ruang musik itu. Mereka bahkan tak pernah bertukar nomor telepon atau bahkan sekedar bertegur sapa.

Waktu mungkin memberi mereka sedikit ruang untuk menyiapkan hati pada segala hal yang akan terjadi di masa depan.

~

Alana berjalan dengan santai menuju kampus. Karena penasaran, Alana menanyakan tentang sosok Gavin ke teman-temannya. Ternyata, ia sangat terkenal di seantero universitas. Namun, mengingat sosoknya yang sangat tertutup, informasi mengenai dirinya sangatlah terbatas.

Layaknya tambang langka yang sangat sulit digali, susah sekali bagi Alana untuk mencari tahu tentang sosok Gavin. Yang ia tahu, kebanyakan gadis hanya mengagumi ketampanannya.

Astaga, ayolah! Sangat banyak pria tampan di dunia ini. Alana mungkin masih bisa menerima alasan jika seseorang mengagumi Gavin karena segala prestasi yang telah ditorehkannya.

Namun ini? Memang ya, jaman sekarang seseorang hanya menilai dari luar saja. Jika rupanya menarik, dikagumi. Tapi jika rupanya kurang menarik, pasti malah dikucilkan dan kurang dihargai.

~

Pagi ini, Gavin melajukan sepedanya dengan cepat. Ia diburu waktu, 10 menit lagi kelasnya akan dimulai dan bahkan ia belum mendudukan diri di ruang kelas. Padahal, biasanya ia telah bersiap di dalam kelas 20 menit sebelum pelajaran dimulai.

Naasnya, sepeda Gavin menabrak seorang gadis yang sedang menyebrang dengan santai tanpa melirik kiri dan kanannya. Alhasil, Gavin menyerempet perempuan itu.

Alana. Gavin sempat terkejut melihat siapa yang ditabraknya. Namun ia sadar, ia tak memiliki cukup waktu untuk itu.

Seakan tahu bahwa ia tetap harus bertanggung jawab, Gavin meminta nomor telepon Alana dengan gesit. Alana sempat terkejut dengan sikap Gavin, namun ia dengan tanggap memberikan nomornya.

Alana pikir, setelah itu Gavin akan langsung memapahnya ke unit kesehatan. Namun lagi-lagi realita harus menampar Alana dengan keras-keras.

Setelah mendapatkan nomor Alana, Gavin langsung melajukan kembali sepedanya. Meninggalkan Alana yang meringis akibat lecet di kaki dan tangannya.

Sementara itu, Alana mendengus kesal karena Gavin bahkan tak membantunya berdiri. Ia dibiarkan terduduk di aspal yang kasar dengan luka-luka lecet dan memar.

Alana terpaksa bersusah payah untuk bangkit dan berjalan pincang menuju unit kesehatan di kampusnya. Untung saja, kejadian itu terjadi tepat di depan gerbang universitas. Jadi, Alana tak perlu berjalan jauh mencari klinik terdekat untuk mengobati lukanya.

ALANA'S POV

Sungguh, aku benar-benar membenci hari ini. Seseorang merusak mood ku yang tadinya sangat baik. Mungkin memang salahku karena menyebrang tanpa waspada akan keadaan sekitar.

Namun, hei! Kenapa juga Gavin harus melajukan sepedanya dengan cepat padahal ia sudah berada tepat di depan gerbang kampus. Aku jadi harus menanggung akibatnya.

Lihatlah! sekarang tangan dan kakiku dipenuhi oleh memar dan lecet. Belum lagi, aku juga harus menanggung malu akan tatapan orang-orang di sekitarku.

Ah, menyebalkan! Sudahlah, aku harus mengobati lukaku terlebih dahulu.

POV END

Gavin menghela napas dengan lega, ia tidak jadi terlambat hari ini. Jika 1 menit saja tadi waktunya terkuras, maka jangan harap ia diperbolehkan mengikuti kelas.

Sebenarnya, sepanjang pelajaran Gavin selalu memikirkan keadaan Alana. Ia sungguh merasa bersalah karena telah meninggalkan Alana begitu saja tadi.

Untung saja, sedikit akal sehatnya masih berjalan. Jadi, ia sempat meminta nomor telepon Alana. Tentu saja, itu karena Gavin ingin mengganti rugi biaya pengobatan Alana.

Setidaknya, Gavin harus bertanggung jawab untuk hal ini bukan?

GAVIN'S POV

Sial! Aku bahkan tak mampu berkonsentrasi di kelas tadi. Salahkan alarm ku yang rusak! Aku jadi harus bangun kesiangan dan hampir terlambat.

Belum lagi, aku bahkan menabrak Alana dan meninggalkannya begitu saja. Sungguh, bukannya aku tak bertanggung jawab. Hanya saja... waktunya tidak tepat.

Harusnya ia melihat kanan dan kiri saat ingin menyebrang. Sudahlah, ini juga salahku yang ceroboh.

Semoga setelah ini, aku tak akan memiliki urusan apapun lagi dengannya. Gadis itu sedikit merepotkan. Meskipun jika diperhatikan, ia gadis yang manis...

Astaga, berhenti Gavin! Jangan berpikir yang aneh-aneh lagi.

Tanpa pikir panjang, ku hubungi nomor Alana yang telah ku dapatkan. Setelah sekian lama, ia akhirnya menjawab teleponku.

POV END

"Halo?" sapa Alan di seberang sana.

"Halo, maaf mengganggu. Saya Gavin, yang tadi pagi menabrak kamu" ucap Gavin terus terang.

Memang niatnya menelpon Alana adalah untuk bertanggung jawab atas kerugian yang telah disebabkan olehnya.

"Oh, kenapa?" ucap Alana.

Bisa Gavin rasakan, intonasi Alana cukup berubah. Ia seperti sedang... menahan kesal. Gavin menjadi semakin merasa bersalah pada Alana.

"Kapan kita bisa ketemu? Saya harus mengganti uang pengobatan kamu" ucap Gavin setelah menenangkan diri.

Alana terdiam sebentar. Tak bisa dipungkiri, ia memang kesal karena tadi pagi gavin sama sekali tak bertanggung jawab akan kejadian yang menimpanya. Namun kemudian, Alana menghela napasnya.

"Ga usah" tolak Alana pada akhirnya.

"Tidak bisa" sanggah Gavin.

"Saya sudah menabrak kamu. Jadi, saya harus bertanggung jawab" lanjut Gavin.

Gavin tak mau berhutang budi pada Alana karena kecerobohan yang disebabkannya.

"Ga usah, gapapa. Itu juga salah aku yang tadi nyebrang ga liat-liat" ucap Alana melembut. Ia juga menyadari kesalahan dan kecerobohannya tadi pagi yang menyebrang tanpa bersikap waspada.

"Tidak bisa, Alana" sanggah Gavin lagi dengan cepat menggunakan suara rendahnya.

Deg...

Jantung Alana berdegup kencang saat Gavin memanggil namanya dengan lembut. Ini pertama kalinya Gavin mengucap nama Alana secara intens.

- hening sejenak

Sungguh, Alana memang tak membutuhkan uang untuk mengganti rugi biaya pengobatannya. Karena sebagian dari kejadian itu, juga merupakan salahnya.

Namun, mengingat Gavin yang ternyata lebih keras kepala dari Alana. Ia jadi harus berpikir keras agar tidak membiarkan Gavin terus berkutat dengan rasa bersalahnya.

Apa hal yang dapat membantu Alana untuk sekarang? ....

Sebuah ide terlintas di pikiran Alana. Ia tahu harus bagaimana.

"Kalo gitu, bisa bantu aku nyelesaiin tesis? Aku rasa kamu lebih cakap dalam hal ini" jawab Alana pada akhirnya. Ia menanyakannya dengan hati-hati, takut Gavin tak bersedia.

Gavin terdiam. Kenapa semua harus menjadi rumit untuknya?

"Apa... tidak ada cara lain?" ucap Gavin seakan keberatan dengan pernyataan Alana.

Alana menghembuskan napas pelan, seakan sudah menduga jawaban Gavin.

"Kalau begitu, gausah. Aku bener-bener ga butuh ganti rugi atas biaya pengobatannya" ucap Alana mengikhlaskannya.

Daripada ia harus berdebat dengan Gavin lebih lama lagi, Alana memutuskan sambungan teleponnya secara sepihak.

Di sisi lain, Gavin mengernyit heran kenapa sambungan teleponnya terputus secara tiba-tiba. Ia tenggelam dalam pikirannya sendiri.

Apa ia benar-benar harus membantu Alana sebagai bentuk pertanggung jawabannya? Sesungguhnya, ia benar-benar tak ingin berurusan lagi dengan Alana. Ia tak terbiasa bersosialisasi dengan orang, apalagi perempuan.

Bahkan, tesis Alana sama sekali tak ada hubungannya dengan Gavin bukan? Mungkin Alana meminta bantuan Gavin karena tahu ia adalah anak yang berprestasi.

Kemudian, dengan segala pertimbangannya, Gavin memutuskan untuk membantu Alana. Ia tak ingin lari begitu saja dari tanggung jawabnya. Ia tak ingin berhutang budi lagi pada Alana.

Lagipula, setelah ini maka urusan mereka akan sepenuhnya tuntas kan?

~

Notif pesan masuk di handphone Alana.

"Baik, mari bertemu Jumat ini pukul 14.00 di ruang musik waktu itu" begitulah isi pesan tersebut.

Tanpa sadar, Alana tersenyum tipis ketika melihat pesan itu. Artinya, 3 hari lagi ia akan bertemu dengan Gavin untuk keempat kalinya.

Mungkin, ia lega karena akhirnya akan ada yang membantu mengerjakan tesis yang ia pusingkan

atau...

Mungkin ia gembira karena dapat bertemu dan mengenal Gavin lebih dekat lagi.

Siapa yang tahu bukan?

Tak ada seorangpun yang tahu kemana arah kisah mereka akan terus berlanjut.

Waktu...

yang akan menjawab semuanya,

tentang segala tanya dan rasa.

Mungkin, dengan ini benang merah mereka mulai sepenuhnya terhubung...


Load failed, please RETRY

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C4
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login