Download App

Chapter 31: Spheecless

.

.

.

.

.

Raiga POV

"Rai ... Bangun. Udah pagi, nanti kita telat ke sekolah, lho."

"Raiga ...,"

Suara Preinan terdengar begitu jelas mengisi indra pendengaranku, saja aku tidak mau bangun terlalu cepat. Aku akan membiarkan dia mengusap rambutku lebih lama. Dan mengecup keningku beberapa kali.

"Raiga! Aku tahu kamu udah bangun, yah. Jangan pura pura, deh." Preinan menggerutu. Aku cekikikan saat actingku ternyata sudah ketahuan.

Aku menarik tubuhnya dan langsung merengkuh dia agar tidak bisa lagi memukul lenganku. Hawanya masih terasa dingin, tapi kenapa Preinan bisa bangun lebih awal? Aku saja masih ingin membungkus diri dengan selimut di kasur.

"Kenapa sih sayang, aku kan masih ngantuk." sahutku dengan suara serak khas bangun tidur.

"Bangun, nggak? Atau aku seret, nih ke kamar mandi?."

Mataku mendadak terasa segar saat mendengar ancaman itu. "Mandi bareng? Yaudah, ayok!"

Aku menyingkap selimut di tubuhku dengan cepat kemudian memangku tubuh Preinan menuju kamar mandi. Dia berontak, sampai dadaku terasa sakit karena terus di dorong dorong. Tapi, itu tidak akan mengurungkan niatku untuk menculiknya ke dalam ruang sempit itu.

"Lepas nggak!"

"Nggak!. Kan, kamu yang ngajak. Jadi kamu nggak boleh ngehindar,"

Bibir pinky nya manyun, dibarengi kulit pipi yang memerah sampai telinga. Dia ini, benar benar menolak atau cuma malu malu? Aku terkekeh sendiri.

...

Aku mengunci pintu kamar mandi agar dia tidak bisa kabur. Preinan mematung di samping wastafel, menatapku dengan gugup dan kikuk. Aku memegangi kedua bahunya. Dan memberikan kecupan manis di bibir bawahnya. Dia mengerang, lalu mendorong dadaku menjauh.

"Kamu, belum gosok gigi. Jorok," protesnya.

"Aku kan, cuma mau kasih morning kiss, biar romantis," desahku pelan, memberi kesan sensual saat hembusan napasku mengusap daun telinganya.

..

Aku menyalakan keran air pada shower di atas kami, yang langsung membasahi dua tubuh kami yang masih lengkap dengan pakaian tidur. Seketika kain tipis yang menutupi kami itu berubah transparan dan menampakkan seluruh lekuk tubuh kami.

Preinan manatapku sayu, sayup dari rintikan yang jatuh lengkungan senyum tergurat indah di bibirnya. Dengan kedua tangannya melingkar pada lenganku. Aku mengusap lembut pelipisnya dan menyisir surai basahnya dengan jari.

"Kenapa?"

Dia menggeleng cepat lalu menautkan menarik leherku hingga jarak diantara kami semakin dekat. "Aku ... Cinta sama kamu,"

"Aku juga cinta ...," cup. Ciuman manis mendarat di bibirnya "... sama kamu," Aku tempelkan keningku pada keningnya hingga hidung kami ikut bersentuhan.

Di bawah jatuhan air yang dingin, hati kami berdua terasa kian menghangat.

----------

Author POV

"Hei,"

Mendengar suara dari belakangnya, Abi mempercepat langkahnya tanpa menoleh. Dia tahu betul kalau itu adalah suara dari orang yang selalu ingin dia hindari, Erik.

"Abi," panggil Erik lagi dengan terus mengimbangi langkah Abi.

"Bi ...!"

Abi berbalik. "Apa sih! Nggak punya kerjaan, yah ngikutin aku terus," matanya mendelik sinis.

Erik tertegun sesaat, dengan cepat dia menarik lengan Abi agar lebih rapat dengan tubuhnya. Kemudian berbisik pelan. "Resleting kamu kebuka, ..."

Abi melongo, seketika pandangan matanya beralih ke bawah. Dengan sigap dia menaikan resleting celananya seraya mengerling Erik dengan kikuk. Erik terkekeh, lalu melenggang pergi meninggalkan Abi yang menggaruk tengkuknya karena malu.

"... Cuma begitu doang?" tanyanya pada diri sendiri. "Dia nggak ada niat nganter aku ke kelas, gitu?" desisnya kesal. Ya, sepertinya dia mulai berharap Erik benar benar serius mendekatinya.

Dengan langkah ketus, Abi melanjutkan perjalanannya menuju kelas.

...

Seorang gadis berambut hitam yang sengaja di kuncir kuda, dengan kacamata besar yang setia mengait di antara hidungnya mengetuk pintu sebuah apartemen yang ada di lantai tiga. Tangannya meremas erat sebuah tote bag berisi nasi goreng yang dia masak sendiri subuh tadi, dia mengatur detak jantungnya agar siap dengan reaksi kekasihnya saat membuka pintu.

Krriitt!

Pintu terbuka, dibarengi sosok wanita setengah telanjang yang berdiri dibalik pintu dan menatapnya dengan penuh tanda tanya. "Nyari siapa?"

Fiya meneguk ludahnya yang tertahan, lalu menundukan mata. Dia sangat canggung saat ini. Bagaimana bisa kekasihnya membawa wanita lain ke apartemennya dengan tubuh yang nyaris bugil, hanya sehelai selimut putih yang dia tempelkan secara tergesa gesa agar menutupi dada dan bagian kewanitaannya.

"Aku ..."

Belum sempat kalimatnya usai, seorang pria yang hanya memakai boxer datang menghampiri mereka dari dalam ruangan. Fiya makin mengeratkan jarinya pada tali tote bag. Dan memandang bergantian pada dua orang dewasa yang ada di hadapannya.

"Fiya?" tanya Ariel dengan wajah yang sedikit terkejut. Buru buru dia menarik lengan wanita simpanannya agar masuk ke dalam. Dan kini hanya tinggal dia yang berdiri menghadap Fiya dengan hati yang gusar.

"M-mau apa kamu pagi pagi kemari?" tanya Ariel putus putus.

Fiya membuang napas kasar, lalu menatap mata Ariel dengan matanya yang nyaris memerah. "Aku, bawain kakak sarapan. Tapi, ini cuma buat satu orang," kemudian dia memberi senyum yang terkesan dipaksakan. "Aku, nggak tahu kalo kakak punya tamu,"

"Oh, makasih." dengan cepat tangannya mengambil alih tote bag yang Fiya pegang. "... Gak apa apa, dia juga mau pergi, kok. K-kamu mau masuk dulu?" Ariel masih berusaha agar bersikap seperti biasa.

Fiya menggeleng lemah. "Aku mau langsung ke sekolah. Aku, duluan, yah." tanpa menunggu sahutan Ariel, Fiya berbalik dan pergi.

Apa dia boleh berperasangka buruk? Dia kini merasa Ariel adalah tipe pria hidung belang. Dengan adanya wanita tadi, apa itu kurang jelas untuk menjadi sebuah bukti? Otak kecilnya terus berpikir kritis dalam perjalanan menuju sekolah.

...

Preinan POV

Hari hari berlalu seperti biasanya, setiap pagi melihat wajah Raiga yang menunggu di depan pintu rumah. Lalu, dengan ciuman manis yang menjadi kebiasaan kami kala berjumpa, aku menjalani hari dengan rasa bahagia.

Hari ini, seperti biasa aku dan Rai akan berakhir pekan dengan kencan berdua. Kami memilih sebuah tempat di mana ada pameran bunga sakura, aku sebenarnya baru tahu kalau di Jakarta ada tempat yang menjadi destinasi bunga asal Jepang itu. Raiga lah, yang memberitahukan semuanya padaku.

"Kamu udah siap?"

Aku mengangguk cepat, kemudian duduk di bagian belakang motornya.

Tempatnya memang cukup jauh, tapi sungguh, aku sangat menikmati perjalan ini. Apalagi, saat memeluk tubuh harum Raiga dari belakang.

...

Hamparan pohon berwarna pink berjejer rapi sampai ujung mata memandang, aku berdecak kagum sembari menyapu segala arah, memandangi indahnya guguran kelopak bunga yang jatuh. Lalu mataku dengan cepat beralih pada Raiga. Aku baru sadar kalau dia kini memakai setelan yang senada dengan warna sakura.

"Rai?" panggilku saat dia sama sibuknya menikmati pemandangan.

Kemudian dia menoleh. "Mm?"

"Kok, kamu pake baju merah muda, sih?" aku terkekeh.

"Emang kenapa? Nggak bagus, yah?" sahutnya dengan mengecek ulang pakaian yang dia pakai.

Aku menggeleng, lalu mengambil alih tangannya yang sibuk merapikan diri. Dengan seringai manis yang menghiasi wajah, aku memeluk pinggangnya dengan lembut. "Kamu cute," ucapku nakal.

Dia mencubit hidungku gemas, lalu ku balas dengan cubitan mematikan di perutnya. Dia menggelinjang menahan nyeri sementara aku tertawa menikmati penderitaannya. Tak lama dia menarik kedua tanganku agar berhenti. Kemudian melayangkan ciuman panas pada bibirku.

Beberapa pasang mata tampak memandang kami dengan bingung, lalu kembali berjalan melewati kami. Maklum saja, ini kan tempat umum, jadi wajar kalau permainan nakal kami menyita perhatian mereka.

....

Author POV

Abi celingukan, matanya menyapu sekitar untuk mencari sosok orang menyebalkan yang anehnya mulai dia rindukan kali ini. Tapi dari sudut manapun, batang hidung Erik tidak bisa ia temukan. Hati kecilnya mulai penasaran, kenapa sejak kemarin dia tidak melihat Erik?

"Katanya mau ke perpus," Preinan menepuk pundaknya dan seketika ia hentikan semua pencariannya.

"Ah, iya. Ke perpus, yah?" Abi bertanya.

Melihat Abi yang bertingkah aneh, Preinan mengerutkan keningnya. "Kan, kamu yang ngajak. Kok, kamu yang lupa, sih?"

"Eh? Iya, aku lagi kurang fokus. Maaf," jawab Abi sembari menggaruk tengkuknya yang tak gatal.

"Nyari apa, sih? Aku perhatiin kamu lihat ke sana kemari terus,"

Abi menggeleng cepat, dia tidak mau Preinan tahu kalau dia sedang mencari Erik. "Nggak ada. Cuma pengen lihat lihat, aja."

Preinan menaikan alisnya dengan curiga. Dia tahu kalau Abi sedang berbohong.

"Apa?"

"Jangan bohong, deh. Kamu tuh nggak jago bohongin orang," Preinan mendelik.

"Ya ya ... Aku nyari Erik. Aku cuma penasaran kenapa dia nggak kelihatan dari kemarin," Abi berterus terang.

"Erik? ... Kok, nyariin dia? Emang ada urusan apa? Atau mungkin ... Jangan bilang kalo kalian itu ...,"

"Mm, aduh ... Gimana jelasinnya, yah. Gini, deh. Kita ke kantin aja, nanti aku ceritain semua,"

Abi menyeret Preinan ke kantin, dan duduk di kursi pojok yang suasananya lumayan sepi. Dengan mengambil napas panjang, dia memantapkan hatinya untuk bicara terus terang.

Sementara Preinan hanya duduk dan memandang Abi dengan penuh tanda tanya. Dia memasang telinganya baik baik.

"Aku ... Aku sama Erik. kita ...," Abi menghela napas. "Kita berdua, pernah tidur bareng,"

Preinan membatu dengan wajah datarnya.

Apa yang baru saja dia dengar dari Abi masih terasa ambigu di kepalanya.

Lalu tiba tiba tawanya terlepas, dengan perasaan aneh di dadanya, dia pikir dia hampir saja percaya dengan omong kosong yang Abi katakan. Untungnya, dia buru buru menepis pikiran gila di kepalanya dan memandang Abi sebagai sebuah lelucon.

"Kok, ketawa?" Abi bertanya dengan bingung.

"Aduh, Abi Abi. Sumpah, aku hampir aja ketipu sama kamu. Aku kira tadi kamu ngomong serius, lho. Beneran," Preinan menggeleng.

"Ya aku serius! Kamu pikir aku becanda?"

"Udah, deh. Kayaknya kamu terlalu kelaparan. Makanya ngigo mulu. Biar aku traktir bakso, yah." Preinan mulai beranjak. Dan bermaksud membelikan semangkok bakso untuk sahabatnya. Tapi, dengan cepat Abi menarik lengannya kembali dan menyeretnya untuk duduk.

"Preinan, please. Aku tahu kamu kaget. Tapi, bisa nggak sih kamu berpikir lebih rasional? Aku tuh nggak lapar. kita kan baru makan bareng tadi, inget?"

Preinan mendadak bingung. Ia masih kesulitan menerima semua perkataan Abi. Tidur bersama? Bukankah definisinya sangat luas? Dia bahkan tidak tahu kalau Abi dan Erik sudah saling akrab, dan demi apa? Bahkan sampai sudah bermain ranjang.

Preinan menghela napas sesal, lalu dia menggeser kursi dan berdiri. "Aku nggak tahu harus ngomong apa. Aku bingung." ucapnya kikuk lalu berjalan meninggalkan Abi.

Di sana Raiga berjalan persis ke arah Preinan menuju. Raiga baru saja akan menyapa kekasihnya itu, tapi Preinan terus berjalan tanpa melihat sosok Rai yang berdiri di sebrang. Pikirannya sedang di penuhi sesuatu yang lain.

Abi menyusul, tapi sebelum mengejar Preinan, dia terlebih dulu menyapa Raiga dan sekaligus berniat untuk bertanya tentang suatu hal.

"Preinan kenapa?" tanya Rai lebih dulu saat Abi baru saja akan menyapanya.

"Mm," Abi menggeleng. "Nggak tahu,"

"Ah, mungkin dia emang nggak lihat aku aja kali, ya."

"Mungkin," balas Abi cepat. "Oh, ya. Kalo boleh tahu, Erik kemana ya? Dari kemarin aku nggak lihat dia," Abi bertanya dengan penuh keberanian.

"Erik?" Raiga terdiam sejenak. "Oh ... Kemarin katanya sih sakit, makanya nggak ke sekolah. Emang ada apa?" Raiga balik bertanya.

Abi mematung, dia tidak mungkin bilang kalau dia sedang merindukan Erik. "Nggak, cuma penasaran aja. Mm, kalo gitu aku duluan, yah," Abi buru buru pergi tanpa menunggu Raiga menyahut.

Raiga menautkan alisnya, seraya memandang punggung Abi yang menjauh. Dia bertanya tanya kenapa dua juniornya itu sangat aneh hari ini. Setelah bayangan Abi menghilang di ujung koridor, dia melanjutkan perjalanannya ke kantin.

...

Bel pulang berbunyi.

Abi dengan cepat keluar dari gerbang sekolah lalu melambaikan tangan pada taksi yang lewat di depannya. Tujuannya hanya satu, yaitu melihat keadaan Erik. Senior mesum yang paling dia benci. Sekaligus orang yang mulai dia rindukan.

Dia menekan bel beberapa kali hingga pintu apartemen akhirnya di buka. Sama seperti terakhir kali dia kemari, orang yang membukakan pintu adalah seorang wanita, namanya Emi.

"Nyari Erik, ya?" tanya Emi

Abi mengangguk.

"Erik di dalem, tuh. Masuk aja. Soalnya kakak mau langsung pergi ke luar," Emi membuka pintu lebar lebar, dan Abi dengan sedikit canggung melangkahkan kakinya ke dalam.

"Kamu di sini sampe malem nggak?" Emi kembali bertanya. "Kalo iya, biar sekalian kakak beli makanan buat kamu juga," lanjutnya sendiri.

"Mm, belum tahu," jawab Abi gugup.

"Yaudah, kakak beliin aja, deh. Kamu temenin Eriknya sebentar, yah. Sampe kakak pulang."

Abi mengangguk.

"Oke, kakak pergi dulu," Emi melirik jam tangannya sekilas lalu berjalan pergi sembari melambaikan tangannya pada Abi.

Abi menutup pintu, lalu berjalan ke dalam dengan sangat perlahan. Terlihat Erik sedang berdiri di dekat jendela sembari melipat kedua tangannya di dada. Memandang ke arah Abi yang mulai salah tingkah. Ingin rasanya kembali, namun kakinya sudah terlanjur memijak kamar Erik.

"Hai," Erik menyapa juniornya yang mematung.

Entah kenapa, Abi tiba tiba saja menyesal karena sudah mengikuti kata hatinya untuk pergi kemari. Kaki kecilnya mulai berbalik, lalu berniat keluar dari kandang buaya yang sangat menyeramkan ini. Tapi, tangan Erik lebih cepat, Erik merangkul leher Abi dari belakang dan menghentikan niat Abi untuk kabur.

"Mau kemana?" Erik berbisik di pelipis Abi.

Dada juniornya itu tiba tiba berdebar, entah gugup atau karena merasa takut, yang jelas itu membuat pipinya ikut memerah padam.

"Aku, ... Tadinya aku kira kamu masih sakit, makanya aku mau jenguk sebentar. Tapi, kayaknya udah sembuh,"

"Mm?" Erik tidak terlalu mendengarkan, dia lebih sibuk mengendus tengkuk Abi yang harum. Dengan ujung hidungnya yang menyentuh permukaan kulit, membuat Abi sebisa mungkin menahan rasa geli.

"Aku mau pulang," Abi mencoba melepaskan diri.

"Tapi, aku mau kamu tetep di sini,"

"Aku punya banyak tugas yang harus di kerjain," Abi mencoba mengelak.

Tiba tiba Erik melepaskan pelukannya, lalu membalikan tubuh Abi agar menghadap ke arahnya. "Aku bantu kerjain, gimana?" tawarnya dengan senyuman yang manis.

Abi menghela napas, lalu memberi anggukan pelan sesuai dengan kata hatinya. Meski kepalanya dengan keras menentang dan tetap bersikeras untuk pulang.

"Oke! Kamu duduk dulu di sofa, biar aku ambil minum dulu sebentar," Abi hanya mengangguk dan menurut.

Dia duduk di tempat yang Erik tunjuk, lalu mengeluarkan semua buku dari ranselnya. Sampai Erik tiba dengan baki cemilan dan dua gelas besar minuman dingin. Kemudian ia taruh di atas meja. Dan ikut duduk di samping Abi.

"Oh, iya. Bisa tolong ambilin obat nggak? Itu, di laci bawah deket kaki kamu," Erik menunjuk ke arah rak kecil yang ada di sebelah Abi. Abi mengangguk dan langsung membuka laci paling bawah.

"Yang warna merah. Potek sekalian, biar aku bisa langsung minum," titah Erik sedikit melunjak.

Abi menyipitkan matanya, dan hampir saja dia memukul kepala Erik jika saja seniornya itu tidak sedang sakit, tapi nuraninya masih berbaik hati dan memilih untuk menurut.

"Nih," Abi memberikan sebutir obat itu pada telapak tangan Erik yang terbuka.

Erik terkekeh sejenak, "Makasih," dan langsung ia teguk pil itu bersamaan minuman dingin yang ia bawa.

....

15 menit berlalu dengan biasa saja. Erik menjelaskan semua hal yang belum Abi mengerti, tapi tak jarang mereka juga mencari di internet karena wawasan Erik yang kurang memadai.

"Kok, tiba tiba gerah, yah." Erik mengibas kaos yang dia pakai.

"Nggak, ah. Biasa aja," Timpal Abi tanpa melepaskan pandangannya dari buku.

Tapi Erik kian menjadi, dia mulai membuka kaos polosnya dan mengibaskannya pada dada bidangnya yang mulai berkeringat.

"Segitu panasnya, ya?" Abi melirik.

"Aku nggak tahu. Rasanya aneh banget. Kamu, nggak salah kasih obat, kan?"

Abi merengut, "Salah apanya, sih," dia membuka laci bagian bawah lalu mengambil selembar obat berwarna merah yang Erik pinta tadi, "Yang ini, kan?" tanya Abi memastikan.

Erik tertegun sejenak, dengan cepat dia menyambar benda itu dari tangan Abi, lalu wajahnya mulai meringis.

"Ini, kan ...," Erik terbata bata.

"Ya, yang merah cuma ada itu." sahut Abi cepat,

Erik bergeser, lalu membuka laci urutan kedua dari bawah. Dan betapa terkejutnya dia saat mendapati obat flu nya ada di sana. Dengan kemasan yang hampir mirip dengan apa yang ia pegang sekarang.

"Kenapa?" Abi mulai cemas.

Erik mendelik. "Yang kamu kasih, itu ... Obat perangsang!"

...


Load failed, please RETRY

Weekly Power Status

Rank -- Power Ranking
Stone -- Power stone

Batch unlock chapters

Table of Contents

Display Options

Background

Font

Size

Chapter comments

Write a review Reading Status: C31
Fail to post. Please try again
  • Writing Quality
  • Stability of Updates
  • Story Development
  • Character Design
  • World Background

The total score 0.0

Review posted successfully! Read more reviews
Vote with Power Stone
Rank NO.-- Power Ranking
Stone -- Power Stone
Report inappropriate content
error Tip

Report abuse

Paragraph comments

Login